Setiap pekan, dari perbukitan yang jauh dan sunyi di pedalaman Pidie, iring-iringan kecil sepeda motor dan mobil tua meluncur menuju Kota Sigli. Bukan untuk berdagang atau mengurus administrasi, tetapi demi satu tujuan berobat.
Di antara mereka, ada pasien cuci darah, penderita kanker, dan keluarga yang setia mendampingi. Di tengah jarak ratusan kilometer, jalan rusak, dan ancaman longsor, mereka terus bergerak meski sampai di Sigli tidak selalu berarti menemukan tempat untuk bernaung.
Mane, Geumpang, dan Tangse merupakan tiga kecamatan terjauh dari ibu kota Kabupaten Pidie. Jarak Tangse ke Sigli mencapai lebih dari 80 kilometer, sementara Geumpang dan Mane 108 kilometer, bahkan lebih menantang dengan kondisi jalan yang kerap terputus oleh longsor.
Dari total penduduk Pidie yang mencapai 448,13 ribu jiwa (2024), ribuan di antaranya bergantung pada layanan medis di RSUD Tgk Chik Ditiro Sigli dan rumah sakit pendukung lainnya. Namun hingga kini, fasilitas rumah singgah belum tersedia bagi warga pedalaman yang harus menjalani pengobatan jangka panjang.
Perjalanan Panjang yang Melelahkan
Dewi, 28 tahun, warga Mane, sudah akrab dengan rutinitas melewati jalan sempit dan rusak demi membawa orang tuanya menjalani cuci darah setiap minggu.
“Kadang kami berangkat pagi buta, tetapi tetap terlambat karena jalan tertutup longsor. Tetapi harus tetap sampai, karena cuci darah tidak bisa ditunda,” ujarnya.
Sesampainya di Sigli, perjuangan belum berhenti. Tanpa rumah singgah, Dewi sering kebingungan mencari tempat istirahat. “Kami berharap pemerintah Pidie membangun rumah singgah di dekat rumah sakit. Sekarang kami hanya menumpang di mana ada tempat,” katanya lirih.
Tidur di Lorong
Kondisi serupa dialami Fadlun, 32 tahun, warga Tangse. Ibunya menderita kanker payudara dan harus menjalani rangkaian kemoterapi serta radioterapi sebanyak 25 kali berturut-turut.
“Kami hampir setiap hari di RSUD Tgk Chik Ditiro. Karena tidak mampu menyewa penginapan, kami tidur di lorong-lorong rumah sakit atau masjid,” tuturnya.
Fadlun mengakui, untuk makan pun kadang ia dan ibunya mengandalkan belas kasihan pengunjung lain. “Rata-rata yang tidur di lorong sini dari Mane, Geumpang, Tangse. Kami sama-sama tidak punya pilihan.” katanya.
Potret Nestapa
Ikbal, 28, pemerhati sosial di Sigli, menyaksikan kenyataan ini hampir setiap hari. Ia kerap melihat pasien dan keluarga mereka tidur beralaskan tikar tipis, di samping dinding rumah sakit, di bawah tangga, atau di emper musala.
“Kadang saya menangis melihat kondisi ini. Banyak dari mereka warga kecamatan terjauh: Geumpang, Mane, Tangse, Laweung. Mereka datang bukan untuk jalan-jalan, tetapi untuk berobat. Dan sebagian besar dari keluarga kurang mampu,” ujar Ikbal.
APBK Besar, Solusi Dasar Belum Terwujud
Pidie memiliki 23 kecamatan dan 730 gampong ( desa) dengan Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten ( APBK) yang mencapai lebih dari Rp2 triliun per tahun. Menurut para pemerhati dan warga, anggaran sebesar itu seharusnya mampu menghadirkan fasilitas rumah singgah yang layak, setidaknya untuk keluarga pasien yang harus menjalani pengobatan rutin di Sigli.
Rudi, 50, tokoh masyarakat di Sigli, menegaskan bahwa kehadiran rumah singgah bukan lagi kebutuhan tambahan, melainkan keharusan.
“Dengan APBK sebesar itu, mestinya pemerintah menyediakan rumah singgah bagi masyarakatnya, terutama yang tidak mampu. Ini layanan dasar, dan sangat dibutuhkan,” pungkasnya.
Harapan dari Pedalaman
Di tengah keterbatasan, warga pedalaman Pidie tetap berangkat ke Sigli dengan harapan yang sama: sembuh. Namun mereka berharap perjalanan panjang itu tidak lagi harus dibarengi dengan tidur di lorong-lorong rumah sakit.
Di tengah bentang alam Pidie yang luas 3.184,46 km² dengan gampong gampong yang tersebar di pegunungan, sebuah rumah singgah akan menjadi “rumah sementara” bagi mereka yang kini harus berjuang dua kali: melawan penyakit, dan melawan keadaan. Semoga.
Muhammad Riza












