Oleh Shohibul Anshor Siregar
Masa depan demokrasi Indonesia setelah populisme Joko Widodo akan sangat bergantung pada upaya untuk memperbaiki kelembagaan demokrasi yang ada.
Populisme adalah fenomena politik global yang terus berkembang dan memengaruhi banyak negara, termasuk Indonesia. Populisme sering dikaitkan dengan sentimen anti-kemapanan dan anti-politik, digunakan untuk menggambarkan politisi atau gerakan yang mengklaim membela rakyat kecil melawan elite yang korup dan mementingkan diri sendiri. Di Indonesia, populisme menjadi bagian integral dari gaya kepemimpinan Presiden Joko Widodo, yang dikenal dengan pendekatan blusukan dan kedekatannya dengan masyarakat.
Menurut Mudde dan Rovira Kaltwasser (2017), populisme adalah ideologi yang mendasarkan diri pada oposisi antara “rakyat” dan “elit”. Di satu sisi, populisme dapat memperkuat demokrasi dengan memobilisasi kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan, namun di sisi lain, populisme juga berpotensi merusak demokrasi liberal dengan menekan pluralisme dan hak-hak minoritas. John Stuart Mill (1859) dalam On Liberty memperingatkan tentang bahaya “tirani mayoritas” yang muncul ketika populisme mengabaikan batasan konstitusional yang melindungi hak-hak individu.
Populisme Joko Widodo berbasis pada citranya sebagai pemimpin rakyat yang berasal dari luar elite politik. Gaya blusukan, atau kunjungan langsung ke lapangan, membantunya membangun kedekatan dengan masyarakat, dan retorikanya yang menekankan perjuangan rakyat kecil melawan elite korup memberikan warna populis pada kepemimpinannya. Program-program seperti pembangunan infrastruktur, Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) adalah contoh dari kebijakan populis yang diusungnya untuk menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat.
Meskipun populisme Joko Widodo mendongkrak popularitasnya, ia tidak lepas dari kritik. Sebagian pengamat menilai bahwa dukungan politik dan ekonomi yang diterimanya dari oligarki dan elite bisnis membuat retorika anti-elite yang sering ia gunakan menjadi tidak konsisten. Selain itu, proyek infrastruktur yang besar-besaran dinilai lebih menguntungkan pengusaha besar daripada rakyat kecil. Kritik lainnya terkait dengan pembatasan ruang kebebasan sipil selama masa kepemimpinannya, termasuk dalam pengelolaan protes dan kontrol terhadap media.
Populisme Joko Widodo telah memperkuat suara mayoritas dan menciptakan ilusi kedekatan dengan rakyat. Namun, seperti yang diperingatkan oleh Mudde dan Rovira Kaltwasser, populisme dapat menjadi ancaman bagi demokrasi liberal. Di Indonesia, tantangan pasca-populisme Joko Widodo akan terletak pada bagaimana institusi demokrasi dapat mengatasi potensi erosi pluralisme dan hak-hak minoritas yang telah terabaikan dalam upaya memobilisasi dukungan mayoritas.
Kemarahan rakyat terhadap Joko Widodo yang muncul belakangan ini sebagian besar bersumber pada praktik populisme yang dianggap menyesatkan. Pada awal kepemimpinannya, Joko Widodo dipandang sebagai pemimpin populis yang dekat dengan rakyat, terutama karena citranya yang sederhana dan kebiasaan blusukan. Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai kebijakan dan tindakan politiknya memunculkan kekecewaan yang akhirnya melahirkan kemarahan rakyat.
Joko Widodo memanfaatkan retorika populis yang menekankan pada keberpihakan terhadap rakyat kecil, khususnya dalam melawan elite politik dan ekonomi. Namun, banyak pengamat dan masyarakat yang merasa bahwa janji populisme Joko Widodo tidak sepenuhnya terealisasi. Salah satu kritik terbesar adalah proyek pembangunan infrastruktur besar-besaran yang lebih banyak menguntungkan kelompok bisnis dan elite ekonomi, sementara dampaknya terhadap rakyat kecil seringkali tidak sesuai dengan harapan.
Banyak yang merasa bahwa Joko Widodo hanya menggunakan retorika populis untuk mendapatkan dukungan, namun dalam praktiknya, kebijakan-kebijakan tersebut tidak cukup berfokus pada pemerataan kesejahteraan. Ketika rakyat mulai menyadari adanya kesenjangan antara janji populis dan kebijakan nyata, kekecewaan ini semakin menguat.
Kemarahan rakyat juga dipicu oleh fakta bahwa Joko Widodo, meskipun mengklaim diri sebagai pemimpin rakyat biasa yang melawan elite, ternyata menerima dukungan kuat dari kalangan oligarki dan elite bisnis. Banyak kebijakan pemerintah yang justru menguntungkan kelompok-kelompok ini, yang semakin menguatkan persepsi bahwa Joko Widodo tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat.
Hubungan yang kuat antara pemerintah dan elite ekonomi ini menciptakan kesan bahwa Joko Widodo hanya memanfaatkan populisme sebagai alat politik, namun tetap beroperasi dalam sistem oligarki yang mendominasi ekonomi Indonesia. Hal ini akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan rakyat yang mulai melihat bahwa populisme yang dijalankan hanya menjadi alat pencitraan tanpa perbaikan signifikan bagi kehidupan mereka.
Kemarahan rakyat juga dipicu oleh langkah-langkah pemerintah Joko Widodo yang dianggap membatasi kebebasan sipil, seperti penanganan demonstrasi dan kontrol terhadap media. Selama masa kepemimpinannya, terjadi beberapa insiden di mana kritik terhadap pemerintah disikapi dengan tindakan represif. Hal ini menciptakan kekhawatiran bahwa di balik citra populis yang inklusif, terdapat kecenderungan otoritarian yang semakin nyata.
Sebagai pemimpin yang awalnya mendapatkan dukungan karena pendekatan yang dianggap demokratis dan inklusif, tindakan represif ini menimbulkan rasa dikhianati di kalangan rakyat. Mereka yang sebelumnya mendukung Joko Widodo karena janji-janji populisnya kini merasa bahwa kebebasan mereka untuk menyuarakan ketidakpuasan justru dibatasi.
Kemarahan rakyat semakin intens ketika mulai muncul krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Joko Widodo. Banyak yang merasa bahwa janji populisme Joko Widodo hanyalah sebuah strategi untuk memenangkan kekuasaan, namun pada akhirnya pemerintahan ini tidak berbeda jauh dari yang sebelumnya dalam hal keberpihakan pada oligarki dan pengabaian terhadap hak-hak rakyat kecil.
Krisis kepercayaan ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berkembang seiring waktu ketika masyarakat mulai melihat dampak kebijakan-kebijakan Joko Widodo yang tidak sepenuhnya memihak kepada mereka. Realitas populisme yang menyesatkan ini baru disadari oleh sebagian besar rakyat setelah melihat ketidakseimbangan antara retorika populis dan tindakan nyata.
Kemarahan rakyat terhadap Joko Widodo mencerminkan kekecewaan terhadap praktik populisme yang menyesatkan. Meskipun Joko Widodo berhasil mendapatkan dukungan awal dengan janji-janji populis, kenyataan kebijakan yang lebih memihak oligarki, pembatasan kebebasan sipil, dan ketidaksesuaian antara janji dan kenyataan akhirnya memicu kemarahan yang baru dirasakan belakangan ini. Populisme yang awalnya menjadi kekuatan Joko Widodo kini menjadi sumber frustrasi bagi rakyat yang merasa dikhianati.
Indonesia dihadapkan pada tantangan penting pasca populisme Joko Widodo, termasuk konsolidasi demokrasi, pemulihan ruang kebebasan sipil, dan keberlanjutan pembangunan ekonomi. Pemimpin masa depan harus mampu memperkuat lembaga-lembaga demokrasi dan menjalankan pemerintahan yang lebih inklusif, tanpa hanya bergantung pada populisme untuk mendapatkan dukungan. Tantangan global, seperti perubahan iklim dan disinformasi, juga akan menjadi faktor penting dalam menentukan arah Indonesia di masa depan.
Populisme Joko Widodo memang telah memberikan dampak signifikan bagi politik Indonesia, dengan beberapa sisi positif dan negatif yang harus diperhatikan. Di satu sisi, Joko Widodo mampu memobilisasi dukungan luas melalui pendekatan populisnya yang menekankan kedekatan dengan rakyat serta program-program yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat. Namun, di sisi lain, populisme ini juga memunculkan tantangan besar bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia. Selain itu, populisme Joko Widodo berperan sebagai alat mobilisasi sosial yang mampu membangkitkan partisipasi politik di kalangan masyarakat yang selama ini teralienasi dari proses politik.
Populisme sering kali mengedepankan kehendak mayoritas dan dapat mengabaikan hak-hak minoritas, yang merupakan pilar utama demokrasi liberal. Dalam hal ini, retorika populis yang menekankan “rakyat” melawan “elit” berisiko memecah belah masyarakat dan mengikis pluralisme.
Populisme Joko Widodo juga menimbulkan kekhawatiran terkait erosi kelembagaan demokrasi. Kritik terhadap penanganan kebebasan sipil, terutama dalam kasus penanganan protes dan kebijakan media, menunjukkan bahwa populisme dapat membatasi kebebasan berekspresi dan memperlemah lembaga-lembaga demokrasi yang independen. Langkah-langkah represif yang diambil oleh pemerintah untuk mengontrol media dan menekan suara kritis telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi kemunduran demokrasi di Indonesia.
Masa depan demokrasi Indonesia setelah populisme Joko Widodo akan sangat bergantung pada upaya untuk memperbaiki kelembagaan demokrasi yang ada. Peningkatan transparansi dalam pemerintahan dan kebijakan yang lebih inklusif serta akuntabel menjadi kunci penting untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tidak hanya mengakomodasi kehendak mayoritas, tetapi juga melindungi hak-hak individu dan kelompok minoritas.
Selain itu, reformasi kelembagaan harus menjadi prioritas untuk memperkuat checks and balances antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan memperbaiki kelembagaan ini, Indonesia dapat mencegah potensi dominasi kekuasaan di tangan satu pihak serta menjaga keberlangsungan demokrasi yang inklusif dan pluralis.
Populisme Joko Widodo memberikan dampak yang kompleks bagi politik Indonesia. Di satu sisi, populisme ini berhasil memobilisasi rakyat dan memberikan manfaat nyata melalui kebijakan populis. Namun, di sisi lain, populisme ini juga memunculkan tantangan besar bagi demokrasi, khususnya terkait perlindungan hak-hak minoritas, pluralisme, dan kebebasan sipil. Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada reformasi kelembagaan, transparansi, dan upaya untuk memperkuat kembali prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif dan pluralis.
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).











