Banyak bangsa di dunia ini terkesan enggan menemukan sejarahnya sendiri yang kemungkinan besar tak hanya disebabkan oleh ketertinggalan mereka dalam rivalitas interaktif dengan bangsa lain, tetapi juga oleh dominasi politik, ekonomi dan budaya dengan segenap konsekuensinya.
“Harmoni dalam Keragaman Budaya dan Agama di Kota Medan” adalah topik perbincangan yang ditawarkan untuk 61 orang mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia, Sabtu 10 Desember 2022 pekan lalu, di kampus UMSU, Medan. Ini menjadi bagian penting dari kegiatan “Modul Nusantara” dalam “Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka Belajar Tahun 2022” yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Republik Indonesia.
Rasanya materi pembelajaran “Modul Nusantara” ini menghendaki ekspose akademik tentang fakta-fakta kebhinnekaan, berbagai nilai khas yang dapat menjadi inspirasi, refleksi dan kontribusi dalam tataran lokal, nasional dan global. Sorotan ini kerap difahami amat simplistik oleh para tokoh, terutama elit politik. Rasa takut menelaah kenyataan-kenyataan kebhinnekaan, misalnya, menjuruskan orang untuk berbicara masalah-masalah dangkal dan hal-hal ragawi yang tak begitu bermakna. Bahkan kehbinnekaan diposisikan sebagai keniscayaan pengeliminasian keberagaman.
Lebih jauh, demi menghindari pemaparan kenyataan objektis sejarah, orang kerap menonjolkan urusan-urusan moral kecil sekaligus untuk mengenggalamkan urusan moral besar. Padahal dengan cara itu orang telah dengan sengaja mengingkari eksistensi sosial kemasyarakatan. Pengalaman ini ajeg di seluruh dunia, terutama ketika sebuah pemerintahan baru ingin mengkonstruk karakter dan identitas nasionalnya.
Tulisan ini mengetengahkan pengaruh yang diakibatkan oleh berangsur ditemukannya fakta-fakta yang secara keseluruhannya saat ini sedang dalam proses konstruksi utuh oleh para ilmuan sosial tentang Medan sebagai kota kosmpolitan yang tidak selamanya bersesuaian dengan pemahaman lama.
Berbeda dengan semangat para penguasa modal lokal, nasional dan global, fakta bahwa kota Medan sebagai “jendela” Indonesia di bagian Barat tidak selamanya menyenangkan. Banyak gesekan, baik yang mengemuka maupun yang terus terpendam di bawah permukaan telah terjadi di sini. Karena itu bagaimana Medan memupuk ketahanan sosialnya selama ini cukup menarik untuk dibahas.
Medan Kota Kosmopolitan
Di Indonesia banyak kota yang memiliki karakter kosmopolitan namun dalam penulisan sejarah barunya pasca kemerdekaan mengalami banyak distorsi. Di antara kota-kota itu malah ada yang belum terjelaskan mengapa hilang dari sejarah dan peradaban, semisal kota tua Barus (https://historia.id/kultur/articles/kisah-tanah-kuno-leluhur-barus-6aneb/page/3).
Meski usaha pelurusan sejarah telah dan akan terus dihadapkan pada kontroversi, namun kelak akan terbukti bahwa kejujuran ilmu pengetahuan tak selalu peduli dengan penyebab perasaan kontroversi dan segenap konsekuensinya. Barangkali saja sejarah adalah sesuatu yang selain acap ditulis oleh penguasa dan atau pemenang politik penuh niat subjektif, juga kerap secara dominan diselimuti oleh kadar literasi yang tak mendukung.
Selain itu mungkin sejarah juga dapat tampak terbangun sendiri seolah sebagai kekuatan unik pada kesendiriannya dalam arti hadirnya bukti-bukti baru yang menjungkirbalikkan pengetahuan lama yang tak selamanya dihasilkan oleh sebuah rencana kajian untuk itu.
Sebagai contoh, tentulah orang tak sedang berniat menuliskan sejarah, namun tak urung mengundang banyak kesadaran baru atas kesemberonoan lama ketika, misalnya, pemberian nama Batak untuk sejumlah penduduk pedalaman yang bermukim di pegunungan seperti Tapanuli, dipertanyakan mengapa tak begitu dapat menjelaskan keterkaitan atau ketidakterkaitan dengan etnis yang dijuluki sama (Batak) di banyak tempat di dunia. Kecuali dalam aspek keterkepungan yang begitu sulit oleh pendatang yang tak bersahabat dengan penduduk asli, dalam kasus ini, ternyata Batak tak dapat dikaitkan satu sama lain.
Begitulah di Bulgaria ada Batak yang dianggap, meski pun sudah beroleh bantahan seingit, korban massacre kesultanan Turki (James J. Reid, 2000; Anthony Reid, 2006; Olga Yoncheva, 2007; Petar Kostadinov, 2007; Dessislava Todorova, 2007) yang mirip dengan penggambaran para missionaris atas kekejaman apa yang mereka namakan sendiri sebagai Padri di Tapanuli. Batak juga ada di Malaysia yang bahkan dijuluki The Orang Asli of Peninsular Malaysia (Noel Jagmis, 2018) dan dalam tensi yang kurang lebih sama Batak di Filipina dikategorikan sebagai symbol keterbelakangan (Frank M.LeBar, 1977).
Tulisan ini bukanlah mengenai Batak, namun kisahnya dapat mirip dengan sejarah kota Medan yang terus hidup dalam dinamika kontroversi. Kota Medan didirikan oleh Guru Patimpus tahun 1590, dan Melayu-Karo dinyatakan sebagai son of the soil atau indigenious people (pribumi asli).
Satu hal dapat dikemukakan bahwa dalam konteks multikulturalisme semua agama dan etnis dapat hidup harmonis di sini sejak dahulu kala. Bukan tidak ada gesekan (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya). Namun Medan selalu memiliki cara merawat harmoni meski sebagiannya belum berhasil. Dapat dipastikan bahwa kedatangan penjajah dan intervensi modal menjadi salah satu pemicu dinamika yang menantang harmoni.
Meski sangat perlahan, telah banyak data baru yang secara berangsur ditemukan oleh para sejarawan yang kurang lebih menunjukkan bahwa, sebagai kota kosmopolitan kuno, Medan sudah ada bahkan sejak 5000 tahun sebelumnya (Ichwan Azhari, 2022). Temuan-temuan baru memang belum memberi hasil final dan dalam kesulitannya menghadirkan data klarifikasi yang sangat tergantung pada investasi akademik sesuai takaran pemerintah.
Bagaimana takaran pemerintah menjadi sesuatau determinan terpenting dalam klarifikasi sejarah dan terutama dalam upaya pembentukan identitas nasional? Tragedi acap pasca Perang Dunia II ini, untuk Indonesia, bisa mengambil contoh tentang konsep Nusantara. Konsep ini adalah sebuah adaptasi baru yang kemungkinan saja sarat muatan politik yang kini terus dianggap sebagai sebuah kesakralan yang pantang dikritik. Apa kata dunia ketika nama-nama yang tadinya disebut oleh para ilmuan dunia sebagi Malay (Melayu) belakangan diganti menjadi Nusantara?
Dalam The Orang Melayu and Orang Jawa in the Lands Below the Winds yang diterbitkan dalam Crise Working Paper 14, March 2005, Riwanto Tirtosudarmo memang menjelaskan bahwa istilah Nusantara itu (in context) adalah Javanese version of the Malay world (lihat hlm 3).
Berani benar mengganti Malay menjadi Nusantara ketika menerjemahkan karya Alfred Russel Wallace, The Malay Archipalago (1989), menjadi Sejarah Nusantara (2015) ketika disunting oleh Ayuninda Erdiani untuk naskah terjemahan bersama Ahmad Asnawi, Supriyanto Abdullah, H. Sutrisno?
Dengan kerangka pemahaman seperti diuraikan di atas, bagaimana gerangan mengidentifikasi harmoni dan bangunan besar untuk itu saat ini dan ke depan?
Banyak bangsa di dunia ini terkesan enggan menemukan sejarahnya sendiri yang kemungkinan besar tak hanya disebabkan oleh ketertinggalan mereka dalam rivalitas interaktif dengan bangsa lain, tetapi juga oleh dominasi politik, ekonomi dan budaya dengan segenap konsekuensinya. Mungkin patut diketengahkan fakta bahwa dalam gerakan baru yang banyak didorong oleh temuan-temuan cerdas dalam kajian post-kolonial, Karibia, misalnya, telah tergabung dalam Gerakan Reparasi Global (https://caricomreparations.org/the-global-reparations-movement/). Ini sebuah gerakan struktural yang melampaui wilayah nasional sebuah bangsa yang terbentuk terutama pasca Perang Dunia II.
Diawali dengan rujukan data penghapusan perbudakan (1830-an) yang disusul aksi serupa yang lebih luas di Amerika (1860-1880) yang menitikberatkan arti penting perjuangan keadilan untuk memperbaiki kerusakan yang diderita korban perbudakan dan keturunan mereka dan menyatakannya sebagai jenis kejahatan terhadap kemanusiaan yang paling mengerikan.
Dampaknya, reparasi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan pembebasan lainnya selama bertahun-tahun. Bahkan telah tak dapat dibantah kaitan eratnya dengan gerakan anti-kolonial, anti-imperialis, Pan-Afrika, pemulihan hak-hak sipil dan hak asasi manusia terutama selama beberapa dekade dari tahun 1930-an hingga 1990-an.
Sebagaimana Koalisi Nasional Orang Kulit Hitam untuk Reparasi di Amerika (N’COBRA), sebuah koalisi berbasis massa yang diorganisasikan dengan tujuan tunggal untuk mendapatkan reparasi bagi keturunan Afrika di Amerika Serikat diluncurkan pada bulan September 1987, di Belanda beberapa aktivis memulai gerakan untuk tujuan reparasi yang berusaha mengaudit kejahatan kolonialisme Belanda beberapa abad di Indonesia dan di Suriname.
Sekaitan dengan itu Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat telah menjadi acuan penting dalam rekognisi yang diperlukan atas komunitas dan bahkan bangsa. Tidak mudah untuk membayangkan bagaimana sebuah negara berusaha saling mendekat dengan masyarakatnya yang beragam dengan tanpa kekurangan penghargaan atas hak-hak sekecil apa pun di depan negara dan pemerintahan yang powerful dan amat kerap tak terbantahkan?
Deklarasi ini disusun sebagai sebuah resolusi dengan 23 klausa pembukaan dan 46 pasal. Pasal 1-40 menyangkut hak individu dan kolektif tertentu dari masyarakat adat; banyak di antaranya termasuk kewajiban negara untuk melindungi atau memenuhi hak tersebut. Pasal 31 menyangkut hak untuk melindungi warisan budaya serta manifestasi budaya mereka termasuk sumber daya manusia dan genetika. Pasal 41 dan 42 menyangkut peran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 43-45 menunjukkan bahwa hak-hak dalam deklarasi berlaku tanpa perbedaan kepada laki-laki dan perempuan masyarakat adat, dan bahwa hak-hak dalam Deklarasi tersebut adalah “standar minimum untuk kelangsungan hidup, martabat dan kesejahteraan masyarakat adat di dunia,” dan sama sekali tidak membatasi hak yang lebih besar. Pasal 46 membahas konsistensi Deklarasi dengan tujuan lain yang disepakati secara internasional, dan kerangka kerja untuk menafsirkan hak-hak yang dinyatakan di dalamnya.
Indonesia mungkin masih amat jauh dari langkah dan gerakan serupa, terutama karena dalam kebijakan nasionalnya masih belum selesai dari upaya penyeragaman yang diwarnai oleh hasrat dominatif yang masih belum menemukan titik kompromi aman.
Karena itu tak selayaknya mahasiswa dalam program Kampus Merdeka disuguhi informasi bias tentang sejarah, jatidiri dan cita-cita besar yang timbul tenggelam karena dinamika kebangsaan yang terhubung dengan ritme global.
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatf & Swadaya (‘nBASIS).