Tidak ada gelas dan piring yang pecah. Para penggembira dan para pedagang yang mengisi stand Musywil pun tak akan tahu sama sekali, bahkan juga para jurnalis yang berseliweran. Seseorang mungkin berani memastikan Musywil tak identik ketakberintegritasan Pemilu…
Musyawarah Wilayah (Musywil) ke-13 Muhammadiyah Sumatera Utara telah usai setelah menetapkan putusan-putusan penting, termasuk program kerja 5 tahun dan 13 orang formatur. Setelah melewati sedikit ketegangan, 2 dari formatur terpilih (Hasyimsyah Nasution dan Ihsan Rambe) disepakati sebagai Ketua dan Sekretaris.
Menghitung hari-hari pasca Musywil, barangkali satu agenda telah selesai, yakni membagi jabatan-jabatan tersedia dalam struktur organisasi dan membuat uraian tugasnya. Selanjutnya adalah proses rekrutmen untuk badan-badan pembantu pimpinan dan mentanfidzkan hasil musywil.
Mungkin ada diskusi yang cukup alot. Apakah perlu penambahan personal pimpinan dengan dua pertimbangan. Pertama, adanya figur dengan keahlian amat dibutuhkan yang tak beroleh suara cukup dalam pemilihan. Kedua, komitmen. Bahwa dalam ketakpastian terpilih atau tidak selama “masa kampanye” cukup panjang yang sama sekali tak diatur, kerap sebuah kaukus mengikat janji. Siapa yang lolos akan memperjuangkan status anggota tambahan bagi “konco” tak terpilih.
Tetapi tak jarang janji tinggal janji, terutama karena kepemimpinan kolektif-kolegial yang baru terbentuk tak dapat diyakinkan untuk maksud itu. Atau dapat juga yang terorbit bukan orang yang merasa dijanjikan untuk itu. Apa pun itu, penambahan anggota pimpinan adalah sebuah keluarbiasaan yang difahami.
Mempertahankan Khittah
Berdasarkan pengalaman Muhammadiyah, perjuangan politik melalui partai memiliki manfaat strategis dan sekaligus berdampak buruk bagi gerakan. Oleh karena itu Muhammadiyah melepaskan gerakannya dari politik praktis dan partai. Muhammadiyah tak hanya akan tetap gigih mengemban misi alʿamr bi-l maʿrūf wa-n nahy ʿan al munkar serta aktif dan konstruktif dalam program pembangunan sesuai strategi dasar atau khittah organisasi (Haedar Nashir dkk, 2019).
Muhammadiyah akan terus menjawab kondisi kritis yang dialami bangsa dan negara. Akomodatif dengan bersikap proporsional dan netral dalam setiap memulai kerjasama, rasional beradaptasi dengan perkembangan politik, dan bersikap kritis terhadap kekuasaan.
Elit Muhammadiyah yang mendirikan partai atau aktif dalam politik praktis tidak boleh melakukan aktivitasnya atas nama organisasi. Harus ada kesadaran sebagai kader yang tulus mengemban misi Muhammadiyah dalam mewujudkan politik yang bermanfaat bagi umat, bangsa dan negara. Mereka wajib menginspirasi kemajuan dakwah pada rezim manapun.
Narasi Haedar Nashir dkk di atas bukan hal baru karena banyak kajian terdahulu telah menjelaskan keperiadaan itu. Misalnya, The Muhammadijah: A Study of an Orthodox Islamic Movement in Indonesia (Federspiel, 1970); The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Noer, 1978); The Muhammadiyah: An Islamic Reform Movement in Twentieth Century Java (Jainuri, 1981); The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town (Nakamura, 1983); Modern Islamic Thought in Indonesia (‘Ali, 1984); Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Alfian, 1989); Purifying the Faith: The Muhammaijah Movement in Indonesian Islam (Peacock 1992); Islamic organizations and electoral politics in Indonesia: the case of Muhammadiyah (Jung, 2014); dan banyak lagi yang lain.
Tantangan Muhammadiyah selalu berat, sejak berdiri. Memotret masa-masa awal usianya, dalam Insulinde: Schetsen Van Landen Volk Van Nederlandsch O.-Indië, D.Wouters (1924) mengisahkan semangat gerakan Muhammadiyah itu modern. Berbeda dengan masa sebelumnya, [tampak seolah] tidak terlalu menekankan fikih…., menentang takhayul….. dan membela tauhid.
Mengingkari otoritas mengikat para pemimpin agama kuno meski tetap menghormatinya sembari melancarkan anjuran mengadopsi ajaran Al-Qur’an dan ajaran otentik Nabi sebagai pedoman hidup. Kaum konservatif religius menuduh organisasi ini menghancurkan fondasi Islam yang telah dibangun. Juga menegaskan gerakan ini tidak puas dengan sikap netral dalam perjuangan negara, dan tak segan-segan marah kepada kemunafikan Persatuan.
Catatan penting lainnya dari D.Wouters ialah tentang Kongres Islam Umum Pertama November 1922 yang untuk pertama kalinya mobilisasi berbagai kelompok Islam dipertemukan untuk membahas perkembangan Islam. Muhammadiyah memberikan program definitif pendidikan dasar dan pendidikan tinggi pada kongres ini.
Haji Agus Salim menggunakan kesempatan ini untuk membicarakan topik favoritnya, yakni ukhuwah dan signifikansinya yang besar sebagai satu kekuatan politik internasional. Sesuatu yang diulanginya pada kongres bulan Februari 1923. Karakter pergolakan khilafah yang dilakukan oleh para negarawan sejagat mulai terlihat di kalangan Muslim Jawa dan Haji Agus Salim persuasif mengusulkan resolusi pengangkatan Khalifah dengan otoritas spiritual.
Kongres menyetujui resolusi itu dengan mudah yang sekaligus menandakan sebuah pertanda sentimen pro-Islam yang dimodernisasi telah mendapat dukungan di Jawa. Bukan dalam arti pewartaan Perang Suci, yang secara tidak adil terus-menerus dikapitalisasi menakut-nakuti pikiran Eropa, tetapi dalam arti solidaritas semua Muslim sebagai badan politik agama yang ideal dengan pemimpin alami yang sah, Khalifah. Tak ada alasan mempersoalkan Khilafah jika Vatikan adalah institusi yang sama untuk agama yang berbeda. Lebih dari itu, sebagian besar dunia Islam berada dalam posisi melawan hukum, dalam tunduk kepada otoritas asing dari kalangan non-Muslim yang menjajah mereka.
Di samping gerakan-gerakan Islam yang ketat, ada kelompok-kelompok yang memperjuangkan kebangkitan budaya Jawa kuno. Berawal dan berlanjut terutama di Vorstenlanden (wilayah Kepangeranan, Praja Kejawen), yang di sana, di istana pangeran-pangeran pribumi, sisa-sisa budaya, sastra, musik, tari, dan wayang Jawa yang masih ada, yang memainkan peran sangat besar, dan mistisisme teosofis-filosofis semu beroleh obsesi besar pelestarian.
Bangsawan yang lebih tinggi dan orang-orang dari pendidikan Barat mendukung upaya ini karena beberapa alasan. Mereka tidak pernah benar-benar memutuskan hubungan dengan lingkungan lama mereka dan dorongan hidup baru di sekitar mereka telah membuat mustahil bagi mereka untuk melestarikan hanya tradisi lama dengan cara keras kepala sebelumnya. Kelas kedua di antara kalangan ini ternyata di sini menemukan kesempatan alami untuk menegaskan kesadaran diri sebagai anggota ras dengan masa lalu yang dipandang bermartabat dan peradabannya sendiri.
Sangat disadari pula kembalinya budaya kuno ini merupakan tanggapan dari orang-orang yang telah kehilangan hampir semua kepercayaan pada diri mereka sendiri di bawah keterkejutan yang luar biasa dari kekuatan dan peradaban Barat. Dalam upaya ini mereka sangat didukung oleh sekelompok kecil orang Eropa.
Nurani Kader
Lalu apa yang salah ketika kini cukup banyak kader bertengger pada kekuasaan eksekutif dan legislatif untuk semua tingkatan, justru seolah tak setia kepada Muhammadiyah, kepada bangsa, kepada negara dan bahkan ikut andil menciptakan kesengsaraan? Tagihan apa yang dapat ditujukan kepada mereka untuk memperbaiki kondisi negara-bangsa?
Muhammadiyah telah cukup kecewa dan terus melakukan jihad dengan menggugat berbagai undang-undang yang bertentangan dengan ideologi, kepentingan bangsa berdaulat dan konstitusi (UU SDA, UU Migas, UU Ormas, UU Rumah Sakit, UU Cipta Kerja, UU tentang Rumah Sakit, dan kini giliran RUU Kesehatan yang sudah masuk Prolegnas Prioritas 2023.
Nurani Politisi Muhammadiyah dan seluruh warga hari ini pantas disegarkan kembali. Sebuah Muhammadiyah yang tidak mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah Indonesia bukanlah Muhammadiyah yang sebenarnya, kata Ahmad Syafii Ma’arif (2018).
Charles Kurzman dalam Modernist Islam, 1840-1940: A Sourcebook (Oxford University Press, 2002), mengingatkan ucapan pendiri Muhammadiyah: Kebanjakan pemimpin-pemimpin beloem menoejoe baik dan enaknja segala manoesia; baroe memerloekan kaoemnja. Kaoemnja poen tiada diperdoelikan. Djika badannja sendiri jang soedah mendapat kesenangan, pada perasaannja soedah berpahala, soedah dapat sampai maksudnja.
Apa sebenarnya yang terjadi? Barangkali ucapan penting lainnya dari pendiri Muhammadiyah ini teramat penting untuk diresapkan: Sebenarnja, beberapa dari mereka [pemimpin itoe] hanja memikirkan diri mereka sendiri, toeboeh mereka sendiri, dan kehidoepan mereka sendiri. Jika toeboeh mereka mendapatkan apa jang mereka boetoehkan dan merasa kenjang, mereka merasa mendapatkan pahala dari Toehan, dan mereka pertjaja bahwa mereka telah mentjapai toejoean mereka. Hal sematjamm ini sangat oemoem di masjarakat kita sehingga organisasi dan komoenitas jang [para pemimpin] sediakan terpetjah mendjadi banjak bagian; bahkan ke kondisi semoela sebeloem para pemimpin tiba. Hati mereka begitoe berat [ketika mereka menjadari bahwa mereka beloem berhasil].
Penutup
PP Muhammadiyah dan PP Aisyiyah sama-sama hadir dan berpidato amat menyejukkan di Alaman Bolak Kota Padangsidimpuan. Perhelatan ini telah amat dinanti seluruh warga selama 2 tahun penundaan. Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi hadir dan memberi pidato ukhuwah yang sangat bersemangat. Bersama isteri dan rombongan, Gubernur memberi banyak isyarat. Tak hanya melalui narasi dari mimbar, tentang harapannya kepada seluruh warga Muhammadiyah dalam partisipasi aktif untuk pembangunan yang penuh tantangan di daerah yang dipimpinnya.
Bagi orang yang amat cermat akan terasa begitu sulit untuk berpura-pura tak merasakan persaingan kurang sportif dan aroma keras tahun politik yang semakin mendekati even Pemilu 2024 di arena Musywil. Operasi-operasi senyap mencengangkan memang lebih dirasakan oleh hanya para pemilik suara, bahkan jauh sebelum hari pemilihan.
Tidak ada gelas dan piring yang pecah. Para penggembira dan para pedagang yang mengisi stand Musywil pun tak akan tahu sama sekali, bahkan juga para jurnalis yang berseliweran. Seseorang mungkin berani memastikan Musywil tak identik ketakberintegritasan Pemilu yang selalu dikeluhkan oleh Muhammadiyah itu. Tetapi adakah cara jitu untuk memastikan kesimpulan itu benar? Jadilah tauladan !!!!!
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).