Keberagaman sejatinya dirayakan, bukan dipaksa. Dikenalkan, bukan diprioritaskan secara tunggal.
Ada satu resep promosi wisata kuliner yang tampaknya sedang digodok matang oleh Gubernur Sumatera Utara, Muhammad Bobby Afif Nasution. Resep ini tidak rumit: ambil seporsi semangat promosi, tambahkan sejumput nostalgia jabatan Wali Kota Medan, aduk dengan kecintaan istri terhadap drama Korea, lalu panggang hingga harum ke Korea Selatan. Hasil akhirnya? Babi Panggang Karo — alias BPK — siap ekspor budaya.
Betul. Di tengah sekian banyak kekayaan kuliner Sumatera Utara, yang dipilih Gubernur Bobby untuk dipoles jadi soft diplomacy internasional justru adalah BPK. Alasannya? Karena banyak warung BPK di Medan Tuntungan dan karena di drama Korea sering terlihat adegan memanggang daging babi. Jadi, kenapa tidak?
Kita tentu tidak ingin mengganggu selera pribadi pejabat negara. Apalagi jika selera itu terinspirasi dari layar kaca dan dapur keluarga. Namun, yang menjadi pertanyaan: benarkah dari sekian ratus jenis kuliner khas Sumut, hanya BPK yang pantas naik panggung internasional?
Sumatera Utara bukan hanya Tuntungan dan bukan cuma soal B2. Ada Ikan Arsik nan legendaris, Lontong Medan yang aromatik, Soto Medan dengan cita rasa kaya, Bihun Bebek khas Kisaran, hingga Mie Gomak yang sohor sebagai “spaghetti Batak,” itu. Sayangnya, semua hidangan ini tampaknya belum cukup menggugah selera politik promosi menantu Presiden RI ke 7 ini.
Jika kuliner adalah jendela budaya, lalu jendela macam apa yang sedang ingin dibuka Bobby? Jangan-jangan ini bukan lagi soal budaya atau pariwisata, melainkan soal personal branding yang dibumbui kecintaan keluarga terhadap serial Korea. “Saya lihat kalau istri saya nonton drama Korea, mereka lagi panggang-panggang daging babi,” kata Bobby. Dari situ lalu lahir gagasan ekspor BPK. Begitu cepat inspirasi itu datang — lebih cepat dari respons terhadap inflasi pangan lokal, mungkin.
Lebih ironis lagi, promosi besar-besaran ini datang dari gubernur provinsi dengan 66,8 persen penduduk Muslim, yang tentu saja tidak menjadikan BPK sebagai menu sehari-hari. Apakah ini bentuk keberagaman? Mungkin. Tapi apakah ini bentuk kebijaksanaan politik kuliner? Belum tentu.
Keberagaman sejatinya dirayakan, bukan dipaksa. Dikenalkan, bukan diprioritaskan secara tunggal. Di saat dunia sedang bicara soal inklusi, Gubernur Sumut justru tampak terlalu exclusive memilih satu menu untuk diorbitkan. Alih-alih menyusun mozaik rasa dari berbagai etnis dan keyakinan di Sumut, Bobby malah seperti menaruh spotlight pada satu irisan daging — yang ironisnya justru paling tidak inklusif.
Dalam teori kuliner, satu bahan utama bisa dimasak menjadi berbagai menu. Tapi dalam teori kepemimpinan, satu ide brilian bisa digoreng jadi blunder jika disajikan tanpa empati.
Jadi, Pak Bobby, kalau memang mau promosi, kenapa Anda tidak buat festival kuliner Sumatera Utara saja? Ajak semua makanan tampil bersama. BPK boleh ikut, tapi jangan jadi primadona tunggal. Kalau ingin Korea tahu tentang kita, kenalkan semuanya — dari pedasnya arsik hingga gurihnya lontong. Bukankah kepemimpinan itu soal merangkul semua rasa?
Dan kalau memang istri Anda suka nonton drama Korea, boleh jadi memang waktunya kita semua berharap episode berikutnya tidak disutradarai dari ruang makan pribadi. ***