Scroll Untuk Membaca

Headlines

Nota Diplomatik Saudi Soal Haji Viral di Medsos, Ini Penjelasan Kemenag

Nota Diplomatik Saudi Soal Haji Viral di Medsos, Ini Penjelasan Kemenag
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief saat memberi keterangan pers dari Madinah, Jumat (20/6).
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Kementerian Agama (Kemenag) menanggapi dsn memberi penjelasan terperinci soal beredarnya nota diplomatik dari Duta Besar Arab Saudi di Jakarta terkait catatan penyelenggaraan haji 1446 H/2025 M yang kini beredar luas di media sosial.

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief mengatakan hal itu terkait dinamika penyelenggaraan ibadah haji yang sudah terselesaikan dan disampaikan penjelasannya kepada Kementerian Haji Arab Saudi.

Nota Diplomatik itu terbit pada 16 Juni 2025. Nota Diplomatik itu sejatinya menjadi catatan tertutup yang hanya ditujukan pada tiga pihak, yaitu Menteri Agama dan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, serta Direktur Timur Tengah pada Kementerian Luar Negeri.

“Ada beberapa isu yang menjadi catatan dan tantangan saat masa operasional. Alhamdulillah sebagian besar sudah bisa kita atasi di lapangan dan kita sampaikan penjelasannya kepada otoritas setempat. Surat tersebut berbicara tentang apa yang kita lakukan sejak dua sampai empat minggu lalu, yang tetap dimasukkan sebagai catatan untuk perbaikan oleh penyelenggara haji,” sebut Hilman Latief lewat keterangan pers diterima di Jakarta, Sabtu (21/6/2025).

“Kami ucapkan terima kasih kepada Kerajaan Arab Saudi, khususnya Kementerian Haji dan Umrah yang bahu-membahu bersama kami, misi Haj Indonesia , untuk menyelesaikan berbagai masalah yang muncul di lapangan,” sambungnya.

Hilman Latief menjelaskan lima hal pokok terkait dinamika haji yang sudah diselesaikan dan tercakup dalam nota diplomatik Dubes Saudi di Jakarta. Pertama, masalah koherensi data jamaah, baik yang masuk dalam E-Haj, Siskohat Kementerian Agama, dan manifest penerbangan. Dalam data tersebut, ditemukan ada beberapa nama jamaah yang berbeda-beda antara manifest dan jamaah yang ikut terbang dalam pesawat.

“Alhamdulillah bisa kita tangani pada awal Mei di mana dalam satu pesawat ternyata ada beberapa jamaah yang berbeda Syarikah,” sebut Hilman.

Menurut Hilman, problem ini muncul dan tidak bisa dilepaskan dari kondisi di lapangan, termasuk di embarkasi. Pada proses pemvisaan, ada beberapa nama yang batal berangkat karena beberapa sebab sehingga harus diganti. Tidak jarang proses pembatalan ini juga berlangsung secara tiba-tiba, baik karena batal karena sakit, meninggal atau sebab lainnya.

“Ini sempat ramai, lalu kami jelaskan. Kami tentu tidak bisa juga membiarkan pesawat itu kosong karena ada orang yang sakit atau meninggal. Ketika teman-teman di lapangan masih memungkinkan untuk bisa mengganti, maka mereka akan menggantikan dengan penumpang berikutnya,” papar Hilman.

“Akan hal ini, rekonsiliasi data setiap hari dan setiap malam dilakukan oleh tim Penyelenggara Haji dan Umrah atau misi haji Indonesia melalui Kantor Urusan Haji, dengan Kementerian Haji dan Syarikah. Kita bahu-membahu setiap hari untuk melakukan konsolidasi. Itu sudah selesai dan alhamdulillah lancar sebagaimana saat ini jemaah juga sudah bisa kembali ke Tanah Air,” sambungnya.

Kedua, terkait pergerakan jamaah yang berangkat pada gelombang I dari Madinah ke Makkah. Di Madinah, jamaah haji dari satu penerbangan ditempatkan pada satu hotel. Namun, ketika akan diberangkatkan ke Makkah, konfigurasinya harus berbasis Syarikah. Sementara ada kondisi konfigurasi sebagian kelompok kecil jamaah yang berbeda-beda Syarikah. Mereka ini sementara tinggal dulu di Madinah.

“Ditjen PHU atau Misi Haji Indonesia menyediakan transportasi sendiri. Ada yang memakai mobil lebih kecil atau mini-bus atau mobil yang lain. Inilah yang disebut dalam surat tersebut sebagai memberangkatkan tidak sesuai dengan prosedur,” jelas Hilman.

“Kita sudah komunikasikan itu ke Kementerian Haji. Kita sudah sampaikan ke Syarikahnya. Jadi itu sudah disepakati. Tidak mungkin kita membawa orang dari Madinah ke Makkah tanpa ada kesepakatan dari lembaga terkait, Kemenhaj maupun Syarikah,” lanjutnya.

Ketiga, terkait penempatan jamaah pada hotel di Makkah. Dijelaskan Hilman Latief, mayoritas jemaah haji Indonesia tinggal di hotel masing-masing sesuai syarikahnya. Tujuannya, untuk mengamankan jemaah saat pergerakan ke Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Namun, ada sejumlah jamaah yang terpisah dan berharap bisa bergabung dengan kloter besarnya, meski syarikahnya berbeda. Ada di antara jamaah yang memberi tahu kepindahan hotel mereka, tapi ada juga yang tidak memberitahu, baik kepada Kasektor maupun Ketua Kloternya.

“Ini yang disebut sebagai penempatan yang tidak sesuai. Tapi kami sampaikan dan itu menjadi bahan diskusi kami setiap hari dengan Kementerian Haji dan Syarikah penyedia layanan. Termasuk penggabungan suami istri, lansia dan pendampingnya. Jadi kalau mayoritas jamaahnya menempati hotelnya dengan benar sesuai dengan Syarikahnya,” tegas Hilman. Kepindahan hotel untuk penggabungan jemaah (khususnya yg memiliki ikatan keluarga) tersebut juga dibolehkan.

“Tugas dan fungsi kita sebagai penyelenggara haji adalah menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di lapangan. Alhamdulillah dengan koordinasi dan dukungan pemerintah Saudi yang solid dan baik, semua bisa teratasi, termasuk pada saat puncak haji,” ucapnya lagi.

Keempat, terkait kesehatan jemaah. Hal ini menurut Hilman, sudah dibahas sejak awal, bahwa jumlah jamaah haji Indonesia yang lansia dan risiko tinggi cukup tinggi. Ini didiskusikan sejak awal karena ada kekhawatiran dari Pemerintah Saudi, jumlah jamaah yang wafat di 2025 melebihi tahun lalu. Sehingga, jamaah lansia dan risti harus dijaga dengan baik oleh group dan pendampingnya.

“Ini juga menjadi catatan peringatan bagi mitra kita di KBIHU dan para pembimbing untuk jangan terlalu memaksakan ibadah sunah terlalu sering, terlalu banyak, kepada jamaah dengan kondisi khusus (lansia/risti) semacam itu. Ini kan masih terjadi, jadi masih masuk catatannya dalam Nota Diplomatik,” kata Hilman.

“Harapan dari Kemenhaj Arab Saudi melalui Nota Diplomatik itu adalah proses seleksi jemaah lebih ketat. Kalau berat dengan penyakit tertentu tidak berangkat, termasuk yang harus cuci darah. Pesan ini luas, termasuk untuk keluarga jamaah agar jangan merelakan anggota keluarga dengan kondisi yang berat harus pergi ke sini, sementara medan pelaksanaan haji begitu berat yang harus dijalani,” sambungnya.

Kelima, penyembelihan hewan dam. Dijelaskan Hilman, mayoritas jemaah Indonesia melaksanakan haji Tamattu’, sehingga harus membayar dam. Untuk penyembelihan dam, Kemenag sudah menyampaikan kepada Kementerian Haji bahwa di Indonesia ada dua skema. Pertama, melalui Adahi, perusahaan penyembelihan dan pengelolaan hewan yang diserahi mandat oleh Kerajaan untuk mengelola kurban dan hadyu.

“Kita sudah berdiskusi banyak tentang itu. Kami juga sampaikan kebijakan kita sejak sebulan yang lalu kepada Kerajaan, bahwa di Indonesia masih ada yang memungkinkan untuk menyembelih dam di Tanah Air melalui Baznas,” sebut Hilman.

“Kita sudah menyampaikan pesan ini kepada seluruh jamaah untuk bisa menggunakan platform hadyu dari Adahi. Tapi ini tidak mudah karena kewajiban itu muncul belakangan, sementara banyak masyarakat Indonesia melalui para pembimbing KBIH dan lain lain sudah terlanjur berkomitmen dengan RPH (Rumah Potong Hewan), ada juga yang belanja ke pasar sendiri beli kambingnya, atau mitra dari mukimin. Sementara tahun ini Saudi begitu keras melarang hal tersebut,” ucap Hilman.

“Mungkin di situ ada masalah lain, misalnya harga terlalu tinggi melalui Adahi. Kita sampaikan pada Kerajaan,” sambungnya.

Terkait kontrak dengan Adahi, Hilman menjelaskan bahwa rancangan kontrak sudah ditandatangani pihak KUH. Namun, pihak Adahi belum menandatangani karena masih meminta kepastian jumlah kambing yang akan disembelih.

“Kita sudah tahu fakta dan situasinya di KBIHU dan para pembimbing ibadah haji yang sudah terlanjur menbuat kesepakatan dengan pihak
lain non Adahi, sehingga kita tidak bisa dipastikan berapa orang yang akan menyembelih melalui Adahi,” paparnya.

Kedepannya, masalah hadyu itu sudah harus menjadi bagian dari kebijakan pembiayaan, sehingga kalau voluntary tetap kita tidak bisa melakukan kontrak.

Hilman berharap penjelasan ini bisa menyelesaikan kehebohan atas Nodip yang sebetulnya telah diselesaikan bersama dengan Kementerian Haji sejak sebelum puncak haji.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE