Oleh Tribuana Said
Namun empat tahun setelah mengukir nama Palangkaraya dalam buku sejarah, BK sendiri mencabut statusnya sebagai calon Ibukota setelah Jakarta
Palangkaraya pilihan Sukarno Presiden pertama yang ingin memindahkan Ibu kota negara ke Kalimantan adalah Sukarno (Bung Karno) Presiden kedua adalah Joko Widodo (Jokowi). Bung Karno (BK) mengutarakan gagasannya pada tahun 1957, dua belas tahun setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Ketika mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada akhir Perang Dunia II. BK dan bapak- bapak pendiri bangsa serta para tokoh perjuangan lainnya tidak menghadapi situasi harus segera memilih tempat lain sebagai ibukota atau pusat pemerintahan. Dan upacara proklamasi itu sendiri terlaksana tanpa hambatan.
Saat-saat mencekam muncul sebelumnya ketika sekelompok pemuda menginapkan BK sekeluarga dan Bung Hatta di Rengasdengklok para Proklamator kembali ke Jakarta, rapat dengan para tokoh gerakan bawah tanah membahas teks Proklamasi dan kapan diumumkan. Seandainya rencana kegiatan itu bocor dan beritanya sampai ke markas besar militer Inggris sekutu waktu itu (Sri Lanka). Tentara Jepang di Jawa yang diwajibkan menjaga status quo niscaya langsung diperintahkan untuk menggagalkan proklamasi Indonesia merdeka.
Seperti diketahui 15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan kalah perang. Tetapi baru pada 2 September Jepang menandatangani perjanjian menyerah dengan Panglima pasukan Amerika Douglas MacArthur mewakili pihak sekutu.
Tak lama setelah 17 Agustus, begitu pasukan Inggris sekutu tiba di Indonesia dari Sri Lanka, Australia dan lain-lain, membawa aparat kolonial Belanda, barulah timbul insiden-insiden kekerasan terhadap para pejuang dan pers pendukung Proklamasi/Republik. Pertempuran 10 November berkobar di Surabaya antara Laskar Rakyat dan Pasukan Inggris Sekutu, menyusul kemudian giliran Belanda melancarkan dua agresi militer terhadap Republik (pertama 21 Juli 1947, kedua 19 Desember 1949).
Di tengah pecahnya Revolusi Indonesia dan Perang Kemerdekaan antara 1945-1949, kedudukan pusat pemerintahaan Republik sempat pimdah ke Yogyakarta (sejak Januari 1946), lalu ke Bukittinggi (pusat penyelengara Pemerintahaan Darurat RI,22 Des 1948-13 Juli 1049), sebelumke Yogyakarta, dan terakhir kembali ke Jakarta.
Pada tahun 1957 bertepatan peresmian provinsi Kalimantan Tengah dan peletakkan batu pertama pembangunan Palangkaraya, BK hanya menyebut satu nama calon pengganti Jakarta, Palangkaraya. Seorang revolusioner lulusan teknik sipil Institut Teknologi Bandung, yang menyebut dirinya ‘tukang Insinyur’ karena sempat mencari nafkah dengan membantu kawan-kawan seperjuangan. BK tentu cukup terampil untuk menggambarkan bagaimana kelak membangun Palangkaraya sebagai Ibukota bangsa merdeka setelah ratusan tahun dieksploitasi rezim penjajah (contoh=pengusaha asing pemegang konsensi tanah dengan menjadikan sebagian kuli-kuli perkebunan). Apalagi kemerdekaan direbut melalui revolusi, perang dan diplomasi internasional, yang cukup menggemparkan jagat pasca-Perang Dunia II.
Di sisi lain kota tersebut mengusik rasa dan visi seninya tentang alam Kalimantan yang indah. Baru tahun sebelumnya berkunjung ke Washington DC ibukota Amerika Serikat, BK mungkin membayangkan tepian Sungai Kahayan yang membelah Palangkaraya kelak ditata bak Sungai Potomac menyusuri Negara Bagian Maryland, atau merujuk romantisisme sungai-sungai cantik lintas Eropa seperti Danube dan Rhine.
Sebagian calon pengganti Jakarta, Palakaraya dipilih karena diyakini praktis bebas dari ancaman gempa bumi, tsunami, banjir dan gunung api. Terlentak di tengah pulau besar yang dulu dikenal bernama Bomeo, diapit tiga provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dan beberapa jam dengan mobil ke Laut Jawa di Selatan, ibukota Kalteng tersebut menempati posisi strategis untuk menjadi pusat komando politik dan ekonomi nasional.
Namun empat tahun setelah mengukir nama Palangkaraya dalam buku sejarah, BK sendiri mencabut statusnya sebagai calon ibukota setelah Jakarta. Melalui Dekrit Presiden Nomor 2 Tahun 1961, kemudian diperkuat dengan UU Nomor 10 Tahun 1964, BK menetapkan Jakarta secara defakto dan dejure sebagai ibukota Indonesia. Berikutanya pada tahun 1966 status dan wilayah Jakarta dan sekitarnya resmi menjadi Daerah Khusus Ibu Jota (DKI) Jakarta.
Keputusan politik dan hukum tersebut di tengah sejumlah krisis politik dan ekonomi nasional (antara lain wakil presiden Hatta mengundurkan diri, 1956; dua percobaan kudeta gagal, perusahaan Belanda dinasionalisasi warga negara diusir, 1957; pemberontakan PRRI-Pemesta 1958 kegagalan dan pembubaran konstituante serta keluarnya dekrit presiden kembali ke UUD 1945, 5 juli 1959; pemutusan hubungan deplomatik dengan Belanda, dengan devaluasi mata uang Rupiah, Partai Masyumi dan PSI dibubarkan, 1960) pasti melatari sikap sang pemimpin revolusioner terkait situasi negara dan masyarakat antara 1950-an dan 1960-an yang baginya perlu disadarkan dengan simbol-simbol perjuangan di sejumlah titik ibukota Republik. Dan simbol-simbol itu (berupa berbagai monumen, tugu, bangunan megah) lebih cocok segera didirikan di Jakarta. Tidak di Palangkaraya.
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam antar lain mengatakan simbol-simbol itu untuk menyambut peran Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 1962. Tambah bagus lagi, sebab pesan dari simbol-simbol itu bisa untuk internal Indonesia dan seluruh Asia, bahkan sekaligus sejagad.
Satu pesan internal lain tamat sudah cerita Palangkaraya dielus sebagai calon Ibukota NKRI. Kini pencalonan Palangkaraya dan ambisi BK pun tinggal kenangan. Namun pemindahan ibukota tetap mendesak katakanlah Jakarta adalah masalah kunci selama ibukota Republik masih di sini dan juga solusi kunci jika ibukota dipindahkan. Tentu predikatnya sebagai Kota Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tetap penting sebagai mahkota perjuangan panjang bangsa yang wajib dihayati dan diperingati dari generasi ke generasi. Sementara segala upaya untuk mencapai cita-cita kemerdekaan sebagaimana digariskan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 adalah tugas patriotik segenap anak bangsa.


Statistik Berbicara
Sebelum dan setelah Jokowi di mimbar peringatan Proklamasi mengumumkan secara definitif akan memindahkan ibukota, kemudian secara pesifik memilih Kalimantan Timur sejumlah politisi pakar dan media menyampaikan pernyataan-pernyataan kritik dan atau oposisi.
Memang tidak dapat dihindari secara memindahkan ibukota dari Jakarta keluar Jawa akan memicu banyak diskusi mengenai plus minusnya. Dalam tulisan ini fokusnya adalah fakta-fakta (atau data) agak menakutkan meliputi daftar isu dan masalah nyata yang menuntut pengambilan keputusan segera pindah ke Kalimantan. Paling atas adalah dampak kepadatan penduduk di Jakarta dan kota-kota besar di Jawa, seiring pesannya pembangunan di pulau relatif kecil ini dengan jumlah penduduk yang tidak sepadan.
Sejak beberapa tahun lalu kalangan pemerintah sudah merilis angka-angka paling akhir melalui Menteri PPN Kepala Bapenas, Bambang Brodjonegoro. Sebagai pendahuluan, penafsiran atas tabel 1 yang menggambarkan realitas Indonesia seyogianya mendorong kesadaran dan keyakinan kita bahwa pada intinya pembangunan separuh abad terakhir telah menimbulkan (resultan negatif) antara Jawa dan luar Jawa, dengan fakta-fakta serta data ketimpangan, pemborosan, pemerosotan, stagnasi dan sebagainya.
Dalam Tabel 1 dan Tabel 2 Jakarta (termasuk daerah-daerah penyanggah) dan semua provinsi-provinsi di Jawa di kelompokan sebagai satu kesatuan, dengan jumlah penduduk sebesar 145.013.573 jiwa dan luas wilayah terhadap Indonesia sebesasr 7 persen, mencatat kontribusi ekonomi terhadap Produk Domistik Bruto (PDB) sebesar 58,49 persen.
Sementara luar Jawa (Sumatera + Sulawesi + Kalimantan + Bali & Nusa Tenggara + Maluku & Papua) dengan penduduk berjumlah 110.168.571 jiwa dan luas wilayah 93 persen mencatat kontribusi ekonomi terhadap PDB sebesar 41,51 persen (Table2). Tidak terlalu jauh dibawah Pulau Jawa.
Khusus luar Jawa, dan tidak termasuk Sumatera, Kalimantan digabung dengan wilayah-wilayah Indonesia Timur sebagai satu kesatuan, dengan penduduk berjumlah 54.967.819 jiwa dan luas wilayah 68 persen serta kontribusi ekonomi terhadap PDB 19,85 persen, hampir menyamai Sumatera. Tetapi disandingkan dengan Jawa, wilayah Kalimantan + Indonesia Timur jelas tertinggal jauh dalam kontribusi ekonomi terhadap PDB (Jawa 58,49 persen vs. Kalimantan + Indonesia Timur 19,85 persen) (Lihat Tabel 1). Demikian angka-angka berbicara.
Penulis adalah tokoh pers Nasional













Dalam berbagai kesempatan, seperti saat menyampaikan RAPBN 2020 di depan DPR RI, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan alasan-alasan dan visi di balik rencana pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan.
Desentralisasi Ekonomi: Pemindahan ibu kota ini diharapkan mendorong pemerataan dan pertumbuhan ekonomi di luar Jawa, kata Jokowi. Masalah pemerataan ekonomi Indonesia berakar jauh pada sistim, sejarah, budaya dan orientasi politik kolonialistik yang tidak dikoreksi.
Modernisasi dan Kemajuan: Ibu kota baru dirancang sebagai simbol identitas dan kemajuan bangsa dengan konsep modern, smart, dan green city yang menggunakan energi terbarukan, kata Jokowi. Modernisasi bukan gedung dan sarana fisik, lebih dari itu pangkal modernisasi adalah nilai dan cara berfikir dalam menopang sebuah peradaban.
Pembiayaan: Pemindahan ibu kota direncanakan untuk meminimalkan penggunaan APBN dan mengandalkan partisipasi swasta, BUMN, serta skema Kerja sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), kata Jokowi. Belakangan terbukti tidak demikian.
Akhirnya sangat terkesan motif utama yang tak dikemukakan adalah proyekisme melalui pengemasan (kemas) warisan (legacy) yang sama sekali tidak pantas.
Ketidakmasukakalan Terapi untuk Masalah yang Berbeda: Mengatasi ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa tidak terletak pada pemindahan ibu kota. Menemukan cara terbaik tentu tidak sama dengan membuat daftar keinginan. Sebagai contoh, kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan pendidikan telah memaksa orang dari luar Jawa berbondong dari seluruh daerah. Proses pemiskinan daerah ini sekaligus mengabadikan kesenjangan. Pemerintah merasa benar bahwa jika mau pintar pergilah ke UI, UGM, UNAIR, ITB dan perguruan tinggi besar di Jawa. Daerah tak beroleh hak untuk fasilitas serupa itu, selamanya.
Memindahkan ibu kota tidak otomatis menyelesaikan masalah kepadatan di Jakarta. Masalah seperti banjir, kemacetan, dan polusi udara membutuhkan solusi langsung seperti perbaikan infrastruktur dan manajemen kota yang lebih baik.
Motif Legacy yang Tidak Pantas: Jokowi lebih berfokus pada menciptakan warisan (legacy) dengan proyek megah ini daripada mengatasi masalah yang lebih mendesak dan relevan bagi masyarakat Indonesia.
Dalam konteks sejarah, pemindahan ibu kota sering dilihat sebagai langkah simbolis yang bertujuan untuk mengabadikan nama pemimpin yang melakukannya. Ini fokus yang salah jika prioritas utama adalah kesejahteraan rakyat.
Dampak Lingkungan dan Sosial: Pemindahan ibu kota ke Kalimantan akan menyebabkan deforestasi dan kerusakan lingkungan yang signifikan. Paradoksnya Jokowi tetap berucap konsep green city.
Proses pembangunan dan migrasi besar-besaran ke Kalimantan dapat menimbulkan masalah sosial dan budaya, termasuk potensi konflik dengan masyarakat adat setempat.
Efisiensi dan Manajemen Proyek: Kemampuan pemerintah sangat rendah dalam mengelola proyek besar ini, apalagi yang dituntut ialah cara efisien dan bebas dari korupsi. Pengalaman sebelumnya dengan proyek infrastruktur besar menunjukkan adanya risiko keterlambatan dan pembengkakan biaya.
Jika demikian, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan, adalah proyek besar dengan visi yang ambisius dengan banyak masalah. Langkah ini bukan solusi untuk ketimpangan dan kepadatan yang dihadapi Indonesia.
Dulu, di Sumatera Utara, ada contoh sebuah gedung yang dinyatakan sebagai Kantor Gubernur oleh Gubernur yang masa jabatannya akan berakhir. Pembangunannya diburu.
Gedung itu tetap dapat digunakan, tetapi tidak sebagai kantor Gubernur. “Karya” Jokowi juga bisa diperlakukan sama
Dalam berbagai kesempatan, seperti saat menyampaikan RAPBN 2020 di depan DPR RI, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan alasan-alasan dan visi di balik rencana pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan.
Desentralisasi Ekonomi: Pemindahan ibu kota ini diharapkan mendorong pemerataan dan pertumbuhan ekonomi di luar Jawa, kata Jokowi. Masalah pemerataan ekonomi Indonesia berakar jauh pada sistim, sejarah, budaya dan orientasi politik kolonialistik yang tidak dikoreksi.
Modernisasi dan Kemajuan: Ibu kota baru dirancang sebagai simbol identitas dan kemajuan bangsa dengan konsep modern, smart, dan green city yang menggunakan energi terbarukan, kata Jokowi. Modernisasi bukan gedung dan sarana fisik, lebih dari itu pangkal modernisasi adalah nilai dan cara berfikir dalam menopang sebuah peradaban.
Pembiayaan: Pemindahan ibu kota direncanakan untuk meminimalkan penggunaan APBN dan mengandalkan partisipasi swasta, BUMN, serta skema Kerja sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), kata Jokowi. Belakangan terbukti tidak demikian.
Akhirnya sangat terkesan motif utama yang tak dikemukakan adalah proyekisme melalui pengemasan (kemas) warisan (legacy) yang sama sekali tidak pantas.
Ketidakmasukakalan Terapi untuk Masalah yang Berbeda: Mengatasi ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa tidak terletak pada pemindahan ibu kota. Menemukan cara terbaik tentu tidak sama dengan membuat daftar keinginan. Sebagai contoh, kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan pendidikan telah memaksa orang dari luar Jawa berbondong dari seluruh daerah. Proses pemiskinan daerah ini sekaligus mengabadikan kesenjangan. Pemerintah merasa benar bahwa jika mau pintar pergilah ke UI, UGM, UNAIR, ITB dan perguruan tinggi besar di Jawa. Daerah tak beroleh hak untuk fasilitas serupa itu, selamanya.
Memindahkan ibu kota tidak otomatis menyelesaikan masalah kepadatan di Jakarta. Masalah seperti banjir, kemacetan, dan polusi udara membutuhkan solusi langsung seperti perbaikan infrastruktur dan manajemen kota yang lebih baik.
Motif Legacy yang Tidak Pantas: Jokowi lebih berfokus pada menciptakan warisan (legacy) dengan proyek megah ini daripada mengatasi masalah yang lebih mendesak dan relevan bagi masyarakat Indonesia.
Dalam konteks sejarah, pemindahan ibu kota sering dilihat sebagai langkah simbolis yang bertujuan untuk mengabadikan nama pemimpin yang melakukannya. Ini fokus yang salah jika prioritas utama adalah kesejahteraan rakyat.
Dampak Lingkungan dan Sosial: Pemindahan ibu kota ke Kalimantan akan menyebabkan deforestasi dan kerusakan lingkungan yang signifikan. Paradoksnya Jokowi tetap berucap konsep green city.
Proses pembangunan dan migrasi besar-besaran ke Kalimantan dapat menimbulkan masalah sosial dan budaya, termasuk potensi konflik dengan masyarakat adat setempat.
Efisiensi dan Manajemen Proyek: Kemampuan pemerintah sangat rendah dalam mengelola proyek besar ini, apalagi yang dituntut ialah cara efisien dan bebas dari korupsi. Pengalaman sebelumnya dengan proyek infrastruktur besar menunjukkan adanya risiko keterlambatan dan pembengkakan biaya.
Jika demikian, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan, adalah proyek besar dengan visi yang ambisius dengan banyak masalah. Langkah ini bukan solusi untuk ketimpangan dan kepadatan yang dihadapi Indonesia.
Dulu, di Sumatera Utara, ada contoh sebuah gedung yang dinyatakan sebagai Kantor Gubernur oleh Gubernur yang masa jabatannya akan berakhir. Pembangunannya diburu.
Gedung itu tetap dapat digunakan, tetapi tidak sebagai kantor Gubernur. “Karya” Jokowi juga bisa diperlakukan sama.