JAKARTA (Waspada): Sebanyak 110 warga negara Indonesia (WNI) yang terjebak konflik bersenjata di Sudan dievakuasi oleh tim evakuasi TNI dari Port Sudan menuju Jeddah, Arab Saudi.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau) Marsekal Pertama (Marsma) TNI Indan Gilang Buldansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis, menyampaikan 110 WNI itu tiba di Jeddah, Rabu (26/4).
“Para WNI yang terdiri atas laki-laki, perempuan, dan anak-anak, diterbangkan menumpang pesawat Boeing 737 A-7305 TNI Angkatan Udara dari Kota Port Sudan menuju posko evakuasi di Jeddah, Arab Saudi,” kata Kadispenau.
Dia menjelaskan 110 WNI itu masuk dalam rombongan evakuasi tahap kedua yang sebelumnya diangkut dari ibu kota Sudan, Khartoum, menuju Port Sudan melalui jalur darat.
Dari posko evakuasi di Jeddah, ratusan WNI itu dijadwalkan pulang ke tanah air menumpang pesawat komersial.
“Sementara pesawat (TNI AU) A-7305 akan berada di Jeddah untuk melaksanakan evakuasi lanjutan,” kata dia.
Tim evakuasi dari TNI, dipimpin oleh Kolonel Pnb Noto Casnoto, dan terdiri atas 39 prajurit yang merupakan kru pesawat, personel Satbravo 90 Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU, dokter, psikolog, BAIS TNI, Puspen TNI, dan mereka turut didampingi oleh staf Kementerian Luar Negeri RI.
Rombongan itu berangkat menuju Sudan pada Selasa pagi (25/4).
Dalam rekaman video yang disiarkan di media sosial resmi TNI AU, sejumlah prajurit dari Satbravo 90 Kopasgat TNI AU mengawal dan menjaga rombongan WNI yang hendak dievakuasi ke Jeddah. Para prajurit itu juga sigap memapah WNI yang kesulitan berjalan dan naik anak tangga menuju pesawat.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi saat jumpa pers virtual, Rabu (26/4), mengumumkan total ada 897 WNI yang telah dievakuasi dalam dua tahap dari Khartoum. Dari jumlah itu, 557 WNI telah berada di Jeddah, untuk melanjutkan perjalanan pulang ke tanah air.
Konflik bersenjata pecah di Sudan sejak 15 April antara militer Sudan (SAF) dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF). Ketegangan mulai muncul saat ada upaya melebur RSF menjadi bagian dari militer Sudan.
Pertempuran terjadi sebagian besar di ibu kota Sudan, Khartoum, dan meluas ke wilayah sekitar. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan akibat konflik bersenjata itu lebih dari 400 orang meninggal dunia, dan lebih dari 4.000 warga luka-luka.
Di Sudan, Kementerian Luar Negeri mencatat ada 1.209 WNI yang menetap, tetapi hanya 937 yang berhasil dikontak oleh KBRI Khartoum. Dari jumlah itu, 897 WNI ikut evakuasi pemerintah, sementara 15 WNI memilih evakuasi secara mandiri.
Kemudian, 25 WNI lainnya memutuskan tidak ikut evakuasi karena alasan keluarga.
WHO Sambut Gencatan Senjata Di Sudan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyambut baik disepakatinya gencatan senjata di Sudan, dan mendesak pihak-pihak yang berkonflik untuk sepenuhnya menghormati gencatan senjata tersebut.
“Pertumpahan darah yang kita lihat selama 10 hari terakhir di Sudan memilukan,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Ghebreyesus dalam pengarahan pers pada Rabu (26/4).
Menurut dia, kekerasan yang berlangsung selama pertempuran antara tentara Sudan dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Khartoum dan sekitarnya, sangat merugikan sektor kesehatan.
Pada Senin (24/4), kedua pihak menyepakati gencatan senjata selama tiga hari untuk menghentikan kekerasan yang meningkat di negara Afrika Timur itu.
Tedros memperkirakan lebih banyak kematian akan disebabkan oleh wabah, kurangnya akses ke makanan dan air, serta gangguan terhadap layanan kesehatan penting, termasuk imunisasi.
“WHO memperkirakan bahwa seperempat nyawa yang hilang sejauh ini seharusnya bisa diselamatkan dengan adanya akses ke pengendalian pendarahan dasar… tetapi paramedis, perawat, dan dokter tidak bisa mengakses warga sipil yang terluka, begitu pun sebaliknya, warga sipil tidak bisa mengakses layanan kesehatan,” ujar Tedros.
Di Ibu Kota Khartoum, kata dia, tercatat 61 persen fasilitas kesehatan tutup dan hanya 16 persen yang bisa beroperasi normal.
Dia menyebut banyak pasien penderita penyakit kronis seperti ginjal, diabetes, dan kanker tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan atau mendapatkan obat yang mereka butuhkan.
Selain itu, diperkirakan 24.000 perempuan akan melahirkan dalam beberapa pekan ke depan tanpa akses ke layanan ibu hamil dan melahirkan.
Tedros pun mengungkapkan bahwa 50.000 anak sangat berisiko karena program gizi ditangguhkan.
Pemadaman listrik membuat beberapa stok darah yang tersisa di Bank Darah Pusat terancam tidak dapat digunakan.
WHO mencatat delapan kematian akibat 16 serangan terhadap sektor kesehatan di Sudan.
Saat menyampaikan keprihatinannya atas laboratorium kesehatan masyarakat yang diduduki oleh salah satu pihak dalam konflik di Sudan, Tedros memperingatkan bahwa mereka yang menguasai laboratorium tersebut bisa secara tidak sengaja terpapar patogen yang tersimpan di dalamnya.
Sementara tentang staf WHO di Sudan, dia mengatakan bahwa mereka telah dipindahkan ke lokasi yang aman, tetapi badan kesehatan PBB itu berencana melanjutkan operasinya sebaik mungkin.
Sedikitnya 459 korban tewas dan 4.072 terluka akibat konflik bersenjata selama berminggu-minggu di Khartoum, kata perwakilan WHO dari Sudan pada Selasa (25/4).
Konflik tersebut dipicu ketidaksepakatan antara militer dan kelompok paramiliter atas reformasi keamanan militer Sudan.
Reformasi mengharapkan partisipasi penuh RSF dalam militer, yang menjadi salah satu isu utama dalam negosiasi oleh pihak internasional dan regional untuk transisi ke pemerintahan sipil demokratis di Sudan.(ant)
Sumber: Anadolu