Scroll Untuk Membaca

HeadlinesNusantara

Utang Menggunung Kereta Cepat: Prediksi Lama Yang Jadi Nyata

Utang Menggunung Kereta Cepat: Prediksi Lama Yang Jadi Nyata
Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) atau Whoosh.
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id) : Aksi saling tolak antara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan CEO Danantara Rosan Roeslani mempertebal tumpukan polemik di proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh.

Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) tengah mengalami persoalan finansial dan beban utang yang menumpuk. Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio sudah memberi tahu Presiden RI saat itu, Joko Widodo bahwa proyek ini tak akan mendatangkan keuntungan.

“Sudah sesuai prediksi saya dari dulu, waktu saya dipanggil Presiden, saya sudah bilang proyek ini mahal sekali, tidak bisa jalan. Cuma beliau bilang bisa, ya sudah saya diam saja,” tukas Pambagio kepada waspada.id, Rabu (15/10).

Menurutnya, daripada memaksakan proyek berbiaya ratusan triliun di Pulau Jawa, lebih baik dana itu digunakan untuk membangun jaringan kereta di wilayah lain seperti Sumatera atau Kalimantan yang lebih membutuhkan akses transportasi massal.

Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Proyek pembangunan kereta cepat yang digagas langsung oleh Jokowi saat itu, akhirnya rampung melalui kerjasama antara Indonesia dan Cina, memakan biaya investasi sebesar 7,27 miliar dollar Amerika (USD 7,27 B) atau sekitar 118 triliun rupiah, dan sudah beroperasi sejak Desember 2023 lalu.

Pambagio yang kala itu sempat menjadi bagian dari Komite Kebijakan Publik Kementerian Perhubungan mengatakan bahwa awal mula proposal pembangunan kereta cepat dikerjakan oleh kerjasama pemerintah Jepang dan Indonesia.

Dalam proposalnya, pemerintah Jepang yang kala itu dibantu oleh ahli dari Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) mengajukan skema pinjaman antar pemerintah atau Government to Government (G to G) dengan tarif bunga pinjaman hanya sebesar 0,1 persen dari total pembiayaan.

“Itu kalo yang Jepang itu kan loan (pinjaman), berdasarkan bilateral agreement dengan pemerintahan Jepang. Indonesia dikasih loan itu G to G bukannya B to B. Karena G to G, jadi masuk APBN,” terang Pambagio.

JICA atau Badan Kerja Sama Internasional Jepang bersama ahli dari UI dan UGM, menurut Pambagio telah merampungkan proposal proyek kereta cepatnya.

“Lalu hitung-hitungannya temen-temen UI dan UGM yang diminta membantu proyek itu, interestnya (bunga) nya 0,1 persen kalo lebih dari 0,1 kita pasti tidak bisa bayar,” ungkap Pambagio.

Proyek Berubah Arah

Proposal Jepang sebenarnya sudah rampung dan siap dieksekusi, namun akhirnya proyek berpindah ke tangan Tiongkok.

Pambagio mengungkapkan bahwa proses perpindahan tersebut berlangsung singkat. Menurutnya, pihak Jepang sudah diminta oleh Presiden untuk menyerahkan dokumen proposal kepada pemerintah Indonesia, yang saat itu diwakili oleh Menteri BUMN Rini Soemarno.

“Proposalnya diminta oleh Pak Jokowi melalui Menteri BUMN waktu itu Bu Rini, itu proposalnya sudah jadi sudah tinggal dijalani, tapi terus diminta,” ungkap Pambagio.

Sehari sebelum penyerahan dokumen, Pambagio mengaku sempat bertemu dengan perwakilan JICA yang meminta supaya proposal tidak diserahkan ke Bappenas terlebih dahulu.

“Sebelum diberikan malamnya orang JICA minta tolong supaya proposal ini jangan diserahkan ke Bappenas, saya bilang waktunya tinggal besok, saya tidak bisa bantu. Lalu diberikanlah dokumen lengkap itu yang kemudian diubah oleh Cina,” tambahnya.

Pasca dokumen berada di tangan pihak Cina maka seketika perhitungan pun berubah, bunga naik drastis dari 0,1 persen melonjak jadi 2 persen.

Hal ini yang menurut Pambagio menjadikan proyek kereta cepat tak lagi visibel sebagai investasi jangka panjang. Karena jumlah utang yang harus dibayarkan akan jauh lebih besar ketimbang pemasukan yang didapat.

“Hasilnya jadi berbeda, jadi dua persen interestnya. Padahal harusnya 0,1 persen, kalau dinaikkan jadi 1,5 persen saja sudah pasti rugi apalagi dua persen,” sebut Pambagio.

Pada proposal dari Jepang dan Cina, Pambagio menemukan perbedaan mendasar, yang mana Jepang mengajukan sistem pinjaman antarnegara (G to G) dengan bunga 0,1 persen, sementara Cina datang dengan skema B2B atau business-to-business dengan bunga dua persen. Selisih yang besar ini membuat perhitungan ekonomi proyek menjadi tak masuk akal.

Solusi Bagi Pemerintah

Menurut Pambagio, tak ada solusi lain yang bisa diambil pemerintah saat ini selain untuk menutupi utang proyek KCIC ini.

Ia juga mengingatkan soal risiko geopolitik yang harus dihadapi, karena Cina sudah menanam modal besar di Indonesia.

“Kalau tidak kita akan ditekan oleh Cina, Lihat saja, ini geopolitiknya juga berbahaya. Karena Cina ingin ada di Natuna. Mereka membuat pelabuhan di Natuna, bagaimana ? Apa kita bisa menolak ? Kan uangnya sudah masuk ke sini,” tegas Pambagio.

Menurutnya, pemerintah harus membuat keputusan terkait siapa yang harus menangani utang KCIC, Danantara atau pemerintah dengan APBN.

“Solusinya ya di bailout, Danantara mau bayar atau pemerintah dengan APBN,” ujarnya.

Hal ini belum lagi, kata Pambagio tahun depan KCIC juga harus menganggarkan sejumlah pengeluaran besar, termasuk biaya sewa frekuensi BHP tahunan yang mencapai Rp1,3 triliun pertahun dan juga biaya perawatan (maintenance) kereta.

“Dan itu keretanya tahun depan sudah mulai masuk perawatan, ongkosnya gila. Itu akan nambah terus. Bayar listrik, bayar frekuensi, Sewa frekuensi BHP itu Rp1,3 triliun tiap tahun,” sebutnya.

Mirisnya, pemasukan KCIC tak sebanding dengan biaya yang harus ditanggung.

“Terus siapa yang bayar ? Orangnya tidak pernah penuh, tiket cuman Rp300 ribu. Dulu saya sudah bilang coba tiket itu paling tidak Rp1 juta itu. Tapi kan bakal gak ada yang naik, jadi memang sudah tidak mungkin dan jarak pendek pula, siapa yang mau ?,” imbuh Pambagio lagi.

Masalah Bukan di Proyek, Tapi di Perencanaan

Menurutnya, bukan hanya kereta cepat yang bermasalah. Hampir semua proyek infrastruktur besar di Indonesia cacat sejak perencanaan.

“Pelabuhan Patimban, Bandara Kertajati, Tol Manado-Bitung, semuanya sama. Harusnya perencanaan tidak cuma teknis, tapi juga sosial, budaya, antropologis. Itu yang selalu saya bilang ke Kementerian PUPR,” katanya.

Ketika ditanya tanggapan akhirnya, Pambagio hanya tersenyum lebar.

“Nikmatilah kepusingan ini, karena kan sudah kita kasih tau. Saya sebagai masyarakat sudah kasih tahu. Silakan diputuskan oleh menteri keuangan dan kepala danantara,” ujarnya menutup percakapan.(Id23)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE