Pengantar Redaksi
Wawancara ini dilakukan Rabu, 24 September 2025 di Medan, menyusul kebijakan Pemprov Sumut yang tidak melanjutkan proyek jalan Hutaimbaru–Sipiongot (Paluta) dalam Perubahan APBD (P-APBD) 2025. Keputusan ini diambil setelah OTT KPK yang menjerat Kadis PUPR Sumut Topan Obaja Putra Ginting terkait dugaan korupsi proyek jalan. Sementara itu, pemerintah provinsi telah menyampaikan Ranperda P-APBD 2025 ke DPRD dengan nilai sekitar Rp12,54 triliun. Untuk memahami implikasinya, Waspada.id mewawancarai Elfenda Ananda, peneliti FITRA Sumut, yang baru merilis catatan analisis RPAPBD 2025.
Ini petikannya:
Waspada.id
Pertama, apa inti temuan Anda soal P-APBD Sumut 2025 dan kaitannya dengan proyek jalan Sipiongot?

Elfenda Ananda
Intinya, P-APBD 2025 tidak lagi melanjutkan proyek Hutaimbaru–Sipiongot karena statusnya dalam sorotan hukum pasca OTT KPK atas kasus proyek jalan. Itu konfirmatif dari sisi kebijakan sektoral. Di sisi fiskal, belanja modal kita justru dipangkas tajam. Dari semula Rp2,298 triliun (Pergub 37/2024) menjadi Rp1,626 triliun di rancangan perubahan—turun Rp672,57 miliar atau -29%. Yang paling besar terpotong adalah belanja jalan, irigasi, dan jaringan: kini Rp699,25 miliar, berkurang Rp551,16 miliar (-44%) dibanding ketetapan awal, atau -49% dibanding angka di Pergub 25/2025. Ini indikasi bahwa penyesuaian pasca-OTT berimbas langsung ke portofolio infrastruktur jalan.
Waspada.id
Sebelum masuk ke angka-angka lain, apa duduk perkara pergeseran anggaran lewat Pergub yang Anda kritik?
Elfenda Ananda
Ada enam kali pergeseran melalui Pergub: No.6, 7, 16, 23, 24, dan 25 Tahun 2025. Pergub 6–7 disusun era Pj Gubernur Fatoni; Pergub 16/23/24 era Gubernur Bobby Nasution. Lima Pergub pertama dasarnya Lampiran Permendagri 77/2020 Bab VI huruf D angka 1 huruf h—boleh geser sebelum Perubahan APBD jika ada kondisi mendesak atau perubahan prioritas (mis. Inpres 1/2025 soal efisiensi). Pergub 25/2025 berbeda: ia bertumpu pada Bab II huruf D angka 4 huruf k yang mengatur Belanja Tidak Terduga (BTT) untuk situasi darurat, bukan sekadar “mendesak”. Sementara Ranperda P-APBD 2025 sendiri tidak menarasikan adanya kebutuhan mendesak sebagaimana PP 12/2019 Pasal 48 & 55. Jadi secara normatif, landasan hukum Pergub 25 sulit dipertahankan jika konteksnya bukan darurat—apalagi situasi pasca-OTT membuat pemerintah tak berani melanjutkan skema tersebut.

Waspada.id
Apakah itu berarti pergeseran-pergeseran sebelumnya terlalu memaksakan belanja jalan?
Elfenda Ananda
Kecenderungannya ya. Jejak angkanya terlihat: pada Pergub 7/2025 (era Pj Gub) belanja jalan/irigasi/jaringan Rp669,92 miliar. Melonjak tajam di Pergub 25/2025 menjadi Rp1,365 triliun (naik 104%), lalu dipotong lagi di dokumen perubahan menjadi Rp699,25 miliar. Ini inkonsisten dan menunjukkan agenda pembesaran belanja jalan yang kemudian direm setelah kasus hukum mencuat. Dari sisi tata kelola, ini mengabaikan mekanisme perencanaan—Musrenbang, RPJMD, RKPD—yang mestinya menjadi rel APBD. Enam kali pergeseran lewat Pergub, di luar pengecualian Inpres 1/2025, jelas kontradiktif dengan UU 25/2004 (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) dan UU 17/2003 (Keuangan Negara).
Waspada.id
Bagaimana gambaran besar pendapatan–belanja pada draf perubahan tahun ini?
Elfenda Ananda
Pendapatan di RPAPBD 2025 diproyeksikan Rp12,543 triliun, turun Rp699,17 miliar dari ketetapan sebelumnya Rp13,243 triliun. Penurunan terbesar dari PAD yang terkoreksi Rp832,57 miliar—terutama pajak daerah minus Rp760,92 miliar. Ada kenaikan kecil di retribusi (+Rp20 miliar) dan hasil pengelolaan kekayaan daerah (+Rp10,15 miliar). Transfer pusat turun Rp161,15 miliar. Pertanyaannya, kenapa pajak daerah turun sedalam itu padahal 2025 sudah di penghujung tahun anggaran? Ini mengindikasikan akurasi perencanaan dan manajemen kinerja pajak bermasalah.
Di belanja, total direncanakan Rp12,505 triliun, turun Rp794,41 miliar (-6%) dari Rp13,300 triliun. Pemotongan terbesar di belanja modal—dan di dalamnya, jalan/irigasi/jaringan paling tajam. Bila pembangunan jalan dikelola tanpa korupsi, justru belanja modal mestinya jadi instrumen utama layanan publik, bukan yang paling dikorbankan.

Waspada.id
Anda juga mengkritik ketidaksinkronan antara prioritas Gubernur dan politik anggaran. Bisa dijelaskan?
Elfenda Ananda
Di dokumen, prioritasnya: Kesehatan (UHC), Infrastruktur merata, Ekonomi (bioindustri & pariwisata global), Pertanian, Pendidikan (listrik & internet dua tahun). Tapi di Lampiran 5 RPAPBD 2025, Belanja fungsi Ekonomi justru dipangkas dari Rp1,815 triliun (13,65%) menjadi Rp1,107 triliun (8,85%) (-Rp708,11 miliar). Kesehatan naik tipis dari 3,38% ke 3,70%, namun esensi UHC—yakni pembiayaan PBI BPJS—tidak otomatis menguat; tambahan justru tersebar ke belanja modal/operasi fasilitas umum. Lingkungan hidup malah turun dari 0,12% ke 0,08%. Jadi ada retorika yang tidak match dengan alokasi riil.
Waspada.id
Bagaimana dengan pos “lain-lain pendapatan yang sah” dari hibah yang melonjak?
Elfenda Ananda
Data realisasi menunjukkan hibah hanya Rp6,3 miliar (2024) dan Rp80,2 miliar (2023), tapi target 2025 dipatok Rp354,5 miliar—naik Rp294,5 miliar dari target lama Rp60 miliar. Ini over-optimistic dan berisiko shortfall di akhir tahun. Target pendapatan harus punya basis perhitungan yang kuat, bukan asal naik.
Waspada.id
Apa catatan Anda soal pembiayaan dan BUMD?
Elfenda Ananda
Selama ini pembiayaan kerap diarahkan ke penyertaan modal BUMD. Efek negatifnya, ketergantungan berulang tanpa kemandirian. BUMD rawan jadi alat politik penempatan kepentingan. Ke depan, penyertaan modal harus berbasis kinerja yang terukur dan exit strategy yang jelas.
Waspada.id
Kembali ke proyek Sipiongot, apa pelajaran kebijakan dari penghentian ini?
Elfenda Ananda
Pertama, due process dan governance tidak bisa dinegosiasikan. Setelah OTT KPK dan penetapan tersangka, proyek yang terkait sorotan hukum patut dihentikan dulu; itu dilakukan di Sipiongot. Kedua, perencanaan infrastruktur tidak boleh didorong lewat pergeseran ad hoc—apalagi menggunakan BTT yang notabene untuk darurat, bukan “mendesak”. Ketiga, transparansi: publik perlu tahu kriteria prioritas, indikator manfaat, dan audit value for money atas proyek jalan strategis.
Waspada.id
Apa tiga rekomendasi kunci Anda?
Elfenda Ananda
(1) Kementerian Dalam Negeri perlu ekseminasi atas Pergub 6/7/16/23/24/25/2025, agar jejak kebijakan anggaran tidak “dihapus” hanya dengan memangkas belanja modal di P-APBD 2025.
(2) Pengawasan PAD—terutama pajak kendaraan bermotor dan BBM—harus diperketat. DPRD wajib mengoptimalkan fungsi budget oversight.
(3) Sinkronkan prioritas–anggaran: jangan over-claim UHC, pendidikan gratis, atau dorongan ekonomi jika pagu fungsi justru turun. Kredibilitas fiskal ditentukan oleh koherensi antara janji dan angka.
Waspada.id
Terakhir, apa pesan untuk publik?
Elfenda Ananda
Publik perlu mengawal proses pembahasan P-APBD 2025 di DPRD—pahami angka-angka, tanyakan rasionalnya, dan dorong agar perubahan bukan sekadar memadamkan api kasus hukum, tetapi memperbaiki tata kelola. APBD itu kontrak sosial, bukan ruang trial-and-error politik anggaran. []