JAKARTA (Waspada): Pengungsi luar negeri yang datang ke Indonesia masih belum mendapatkan pelayanan terbaik. Padahal, Indonesia menjadi negara transit yang paling sering didatangi oleh pengungsi luar negeri, khususnya dari Afghanistan, Myanmar, Irak dan beberapa negara lain.
Beberapa hak-hak dasar seperti mendapatkan pendidikan, mengakses kesehatan, dan bekerja masih belum bisa didapatkan oleh para pengungsi dari luar. Lebih jauh lagi, para pengungsi asing dilarang meninggalkan tempat penampungan, yang sejatinya itu merupakan hak untuk mobilitas (freedom of movement). Kondisi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan justru menimbulkan masalah kemanusiaan baru.
“Tujuan utama para pengungsi untuk meninggalkan negara asalnya adalah untuk mencari keselamatan, keamanan, perlindungan, dan kehidupan yang layak, khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. Namun, berada di Indonesia masih jauh panggang dari api,” ujar Koordinator Kemanusiaan Yayasan Geutanyoe, Nasruddin, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (3/6).
Berdasarkan data lembaga pengungsi dunia, UNHCR, sedikitnya ada 14.000 orang pengungsi dari luar negeri yang teregistrasi berada di Indonesia.
Para pengungsi tersebar di beberapa titik seluruh Indonesia, khususnya ditempatkan di Rumah Detensi Imgrasi (Rudemim) atau akomodasi yang disiapkan oleh International Organisation of Migration IOM.
Beberapa faktor utama yang mendorong para pengungsi meninggalkan negaranya adalah perang, persekusi terhadap etnis tertentu, dan konflik horizontal.
Nasruddin menambahkan, beberapa tantangan yang masih terus dialami oleh pengungsi yang datang ke Indonesia. Paling utama adalah terkait ijin pendaratan, penetapan lokasi pengungsian, keamanan para pengungsi juga para sukarelawan.
“Apa yang terjadi di lapangan sangat membutuhkan perhatian kita semua. Para pengungsi ini seringkali mendapat penolakan bahkan tak diijinkan mendarat,” kata Nasruddin.
Koordinator Advokasi Yayasan Geutanyoe, Al Fadhil mengatakan, sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, pemerintah Indonesia harus melihat masalah pengungsi ini dalam kerangka kemanusiaan, alih-alih menggunakan kacamata hukum formal.
Pertama, pengungsi yang datang sering kali dalam kondisi yang buruk dan memprihatinkan. Bagi pengungsi Rohingya, untuk berhasil keluar dengan selamat dari negara asalnya sudah menjadi sebuah pencapaian.
Untuk memperoleh dokumen keimigrasian yang lengkap merupakan hal yang tidak mungkin dipenuhi.
“Dengan sendirinya mereka menjadi undocumented immigrant,” tandas Fadhil.
Kedua, para pengungsi membutuhkan akses terhadap Kesehatan dan Pendidikan yang layak, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Hal tersebut sangat sulit dilakukan karena keterbatasan dokumen yang dimiliki pengungsi.
“Di satu sisi, ini merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi,” imbuhnya.
Ketiga, sebagai manusia, para pengungsi perlu untuk mendapatkan penghasilan untuk membiayai kehidupan sehari-hari, serta pekerjaan merupakan perwujudan eksistensi yang mendefinisikan siapa manusia tersebut.
“Kerangka hukum formal belum mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut, sebaliknya, nilai-nilai hak asasi manusia menjadi sebuah titik berangkat yang tepat untuk bisa menyelesaikan tantangan tersebut,” ungkap Fadhil.
Meski belum meratifikasi
Konvensi International Tahun 1951 Tentang Pengungsi, tapi Indonesia punya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Hal itu merupakan upaya yang baik dari Pemerintah Indonesia untuk menangani masalah pengungsi dari luar negeri.
Namun, Peraturan Presiden tersebut belum menjawab tantangan secara komprehensif dan dibutuhkan penguatan nilai-nilai hak asasi manusia dalam prinsip penerapanya.
“Karenanya, kami mengajak semua kalangan untuk duduk bersama mendiskusikan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam isu pengungsi luar negeri,” pungkas Fadhil.(J02)