JAKARTA (Waspada.id): Woman Action Forum (WAF) mendokumentasikan sebanyak 2.564 kekerasan berbasis gender di Sindh, Pakistan, dalam kurun waktu tiga tahun.
Sepanjang tahun 2021 dan 2023, WAF menyebut ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat, mulai dari kekerasan rumah tangga dan pernikahan paksa hingga “honour killing”. WAF sendiri terlibat dalam sekitar 70 persen kasus, memperlihatkan bagaimana beban advokasi lebih banyak dipikul masyarakat sipil ketimbang negara.
Women Action Forum (WAF) di Hyderabad baru-baru ini merilis laporan bertajuk “Counting the Wounds,” yang menyingkap kenyataan suram sepanjang periode 2021-2024 meski telah puluhan tahun ada advokasi, janji reformasi, dan sesekali gelombang kemarahan publik.
Apa yang tampak bukan sekadar catatan kekerasan, tetapi juga catatan kesunyian mengingat banyak kasus lain tak pernah dilaporkan karena rasa takut, stigma, atau tekanan keluarga. Jika ribuan kasus bisa dihimpun oleh satu lembaga di satu provinsi, maka skala nasionalnya sulit dibayangkan.
Perempuan tanpa perlindungan
Laporan itu menegaskan bahwa perempuan di Sindh, dan Pakistan secara umum, tetap merasa tak terlindungi. Undang-undang ada di atas kertas, tapi penerapannya lemah dan sering tersandung struktur patriarki dalam kepolisian dan peradilan.
Bagi banyak perempuan, melapor justru berarti menghadapi pengabaian, menyalahkan korban, bahkan permusuhan. Minimnya dukungan institusional membuat mereka nyaris mustahil keluar dari siklus kekerasan atau menolak pernikahan paksa. Negara pun gagal menyediakan perlindungan dasar, mulai dari rumah aman, bantuan hukum, hingga mekanisme perlindungan efektif.
Laporan WAF menyoroti peran kepolisian yang kerap salah menangani kasus, mengabaikan bukti, bahkan berpihak pada pelaku. Masalah ini bukan sekadar ketidakmampuan, melainkan cermin dari bias patriarki yang mengakar, di mana kekerasan terhadap perempuan dianggap urusan keluarga.
Alih-alih melindungi, penegak hukum justru memperkuat siklus kekerasan. Dengan kecilnya kemungkinan pelaku dihukum, sistem peradilan berubah menjadi alat pembiaran, bukan pencegah.
Keluarga sebagai pelak
Temuan paling mencengangkan: dalam 90% kasus, pelakunya adalah anggota keluarga korban sendiri. Angka ini meruntuhkan anggapan bahwa rumah adalah tempat aman. Bagi banyak perempuan, ancaman datang dari ayah, saudara laki-laki, suami, atau sepupu.
Honour killing memperlihatkan kenyataan pahit ini. Perempuan yang dituduh mencoreng kehormatan keluarga-karena memilih pasangan sendiri, mencari kemandirian, atau sekadar terlihat bersama pria-sering dibunuh oleh kerabat dekat.
Ketika keluarga menjadi pelaku, polisi enggan turun tangan karena menganggapnya masalah pribadi. Komunitas pun kerap membela pelaku atas nama kehormatan. Hasilnya, budaya impunitas yang menjerat perempuan makin sulit dipatahkan.
Ribuan kasus di Sindh menunjukkan bukan hanya tragedi individu, tapi juga kegagalan sistemik. Organisasi masyarakat sipil terus bersuara, media sesekali menyoroti kasus, tapi kondisi mendasar tetap tak berubah.
Budaya yang mengagungkan kendali laki-laki dan kepatuhan perempuan masih mengakar. Institusi perlindungan tetap lemah. Hukum ada, tapi pelaksanaannya timpang. Karena itu, kekerasan berulang tiap tahun, dengan alasan lama yang terus dipakai.
Meski laporan WAF berfokus pada Sindh, masalah ini mencerminkan krisis nasional. Kekerasan berbasis gender muncul di berbagai bentuk: konversi paksa, serangan asam, pemerkosaan, hingga kekerasan domestik.
Pakistan menempati posisi bawah dalam indeks kesetaraan gender global, mencerminkan diskriminasi yang meluas. Honour killing menjadi wajah paling ekstrem. Walau dikecam dunia dan dilarang undang-undang, ratusan perempuan tetap dibunuh setiap tahun. Banyak keluarga memanfaatkan celah hukum untuk mengampuni pelaku yang masih kerabat.
Krisis ini bukan hanya soal korban individu. Kekerasan terhadap perempuan mengguncang komunitas, memperpanjang kemiskinan, dan menghambat kemajuan sosial. Masyarakat yang separuh populasinya hidup dalam ketakutan tak bisa mengklaim keadilan atau stabilitas.
Laporan “Counting the Wounds” memberi nama yang tepat. Setiap kasus adalah luka-bagi korban maupun bagi nurani kolektif bangsa. Ribuan luka yang tercatat dalam tiga tahun menunjukkan krisis yang tak mereda, bahkan cenderung meningkat.
Tanpa kemauan politik untuk melindungi perempuan, tanpa akuntabilitas bagi pelaku, dan tanpa perubahan budaya untuk menantang kekerasan atas nama kehormatan, siklus ini akan terus berulang. Nama korban berganti, tapi polanya tetap sama.
Dokumentasi WAF bukan sekadar laporan, melainkan dakwaan terhadap masyarakat yang membiarkan kekerasan, pemerintah yang gagal serius bertindak, dan institusi yang justru melanggengkan masalah. Kekerasan berbasis gender di Pakistan bukan penyimpangan, melainkan cermin struktur yang menganggap hidup perempuan bisa dikorbankan.(cnni)