Di rumah sakit milik pemerintah daerah ini, pelayanan yang manusiawi perlahan mengubah wajah layanan kesehatan di Pidie. Ramah menjadi terapi, empati menjadi penyembuh.
Sore itu, langit Sigli menggantung kelabu. Di antara rintik hujan yang jatuh di pelataran rumah sakit, seorang ibu muda tampak tergesa.
Erika Mayang Sari, 30 tahun, memapah anaknya yang demam tinggi menuju pintu Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Tgk Chik Ditiro. Nafasnya terengah, matanya penuh harap.
“Sudah dua hari panasnya tidak turun. Di klinik tidak membaik, jadi saya langsung bawa ke sini,” katanya lirih.
Begitu tiba, pintu IGD terbuka. Seorang perawat menyambut dengan senyum dan arahan yang jelas. Tidak ada wajah panik, tidak ada suara keras. Dalam hitungan menit, anak Erika sudah diperiksa dokter jaga.
“Pelayanannya cepat dan menenangkan. Dokternya bicara lembut, seolah paham kalau hati saya sedang cemas,” cerita Erika Mayang Sari, warga Beureunuen.

Ruang Putih yang Tidak Lagi Dingin
Lorong-lorong rumah sakit kini tidak lagi sunyi dan asing. Dindingnya berhiaskan poster edukasi kesehatan, suara langkah perawat bersahutan dengan panggilan pasien. Di meja informasi, petugas menyapa dengan sapaan ramah. “Dulu saya takut ke rumah sakit, sekarang tidak lagi,” kata Erika.
Ruang-ruang yang dulu identik dengan formalitas kini menghadirkan rasa tenang. Di RSUD Tgk Chik Ditiro, keramahan menjadi wajah pertama yang ditemui pasien.
Cerita dari Kamar Rawat
Di ruang anak, bunyi mesin infus berdetak pelan. Syarifah Nadia, 25 tahun, warga Indrajaya, masih menjalani kontrol setelah pulih dari Demam Berdarah Dengue. Ia duduk tenang, mengenang masa-masa dirawat sepekan lalu.
“Begitu selesai observasi di IGD, saya langsung dapat kamar. Tidak menunggu lama. Semua petugas cepat dan sopan,” ujarnya.
Ia menambahkan, perhatian para perawat membuatnya merasa seperti dijaga keluarga sendiri. “Rasanya bukan seperti pasien, tetapi seperti keluarga yang sedang dijaga.” kata Syarifah Nadia, pasien DBD
Wajah Baru Layanan Publik
RSUD Tgk Chik Ditiro kini tumbuh menjadi salah satu rumah sakit rujukan di Aceh. Gedungnya memang tampak megah, tetapi perubahan sejatinya bukan pada beton atau kaca, melainkan pada sikap.
Direktur RSUD drg Mohd Riza Faisal MARS, menyebut perubahan dimulai dari pembenahan pola pikir tenaga medis. “Kami ingin menghapus jarak antara tenaga medis dan pasien. Pelayanan yang baik lahir dari empati,” ujarnya.
Pelatihan etika pelayanan dan sistem digitalisasi kini diterapkan agar birokrasi tidak lagi menjadi beban pasien. Hasilnya terlihat jelas: waktu tunggu berkurang, dan wajah pasien lebih banyak tersenyum.
Kesehatan Cermin Kemanusiaan
Bagi tenaga medis, pelayanan bukan lagi sekadar tugas. “Kalau pasien merasa tenang, penyembuhan lebih cepat,” kata seorang perawat senior yang telah dua dekade bekerja di sana. Ia menyaksikan sendiri bagaimana perubahan budaya kerja membuat ruang perawatan terasa lebih hidup.
Kini, setiap sapaan “selamat pagi” dari perawat bukan basa-basi, melainkan bagian dari terapi. Karena bagi pasien, sentuhan kemanusiaan sering kali lebih mujarab daripada obat-obatan.
Lebih dari Sekadar Gedung
Pemerintah Kabupaten Pidie menaruh perhatian besar terhadap pembangunan layanan kesehatan. RSUD Tgk Chik Ditiro terus berbenah menambah ruang, memperbarui peralatan medis, serta memperluas fasilitas pasien.
Namun di mata warga, nilai paling penting justru bukan pada gedung baru, melainkan suasana yang berubah: keramahan yang tumbuh dari hati.

Ramah Sebagai Terapi
Menjelang malam, Erika duduk di samping ranjang anaknya yang mulai pulas. Hujan di luar sudah berhenti. Di dalam kamar yang hangat, ia menatap wajah buah hatinya dengan rasa syukur.
“Mungkin bukan obat saja yang bikin cepat sembuh,” ujarnya pelan. “Tetapi juga cara mereka memperlakukan kami.” tuturnya lembut.
Di Sigli, rumah sakit ini tumbuh bukan sekadar tempat berobat, melainkan ruang bagi rasa percaya. Di setiap langkah perawat dan ucapan dokter, tergambar kesadaran baru bahwa kemajuan daerah bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi bagaimana manusia memperlakukan manusia lainnya.
Karena di RSUD Tgk Chik Ditiro, keramahan telah menjelma obat, dan empati menjadi penyembuh yang paling tulus. Menyembuhkan bukan hanya soal memberi obat, tetapi juga memberi ketenangan.
Muhammad Riza












