Scroll Untuk Membaca

Kesehatan

Orang Tua dan Dokter Jadi Garda Terdepan Deteksi Dini Sindrom Turner

Orang Tua dan Dokter Jadi Garda Terdepan Deteksi Dini Sindrom Turner
webinar 'Kupas Tuntas Sindrom Turner: Deteksi, Perawatan, dan Dukungan', hasil kolaborasi YKAG dan Turner Syndrome Society Indonesia di Jakarta, Senin (21/7/2025).
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Keterlibatan aktif orang tua dan dokter umum dalam mengenali gejala awal Sindrom Turner dinilai krusial demi mencegah keterlambatan diagnosis yang berdampak pada tumbuh kembang anak perempuan. Padahal, dengan deteksi dan penanganan sejak dini, anak dengan Sindrom Turner tetap bisa tumbuh sehat dan meraih masa depan yang cemerlang.

“Pasien saya yang memiliki riwayat Sindrom Turner pernah ada yang sampai kuliah kedokteran di luar negeri, ada juga yang tamat dari fakultas psikologi, hukum, dan lain-lain. Ini membuktikan bahwa dengan perawatan yang tepat dan dukungan yang memadai, mereka dapat tumbuh optimal dan meraih masa depan yang gemilang. Jangan biarkan diagnosis terlambat menjadi penghalang bagi mereka,” ujar Ketua Yayasan Kesehatan Anak Global (YKAG), Prof. Dr. dr. Aman Pulungan, Sp.A(K) saat membuka webinar ‘Kupas Tuntas Sindrom Turner: Deteksi, Perawatan, dan Dukungan’, hasil kolaborasi YKAG dan Turner Syndrome Society Indonesia di Jakarta, Senin (21/7/2025).

Lantas apa yang dimaksud dengan sindrom turner? Sindrom Turner adalah kelainan genetik langka yang hanya terjadi pada perempuan. Penyakit ini kerap tidak dikenali pada tahap awal karena gejalanya dianggap biasa atau tidak spesifik. Secara global, Sindrom Turner terjadi pada 1 dari 2.000 hingga 2.500 kelahiran hidup perempuan, namun data di Indonesia masih terbatas.

Aman Pulungan menyebutkan bahwa penanganan terlambat seringkali bukan karena tidak adanya fasilitas, melainkan karena kurangnya kesadaran dari orang tua dan tenaga medis tingkat pertama.

“Kalau deteksi terlambat, anak bisa kehilangan momen pertumbuhan dan perkembangan penting. Kita butuh dokter umum, bidan, hingga orang tua yang lebih awas,” ujar Prof. Aman.

Dokter spesialis anak konsultan endokrinologi, dr. Karina Sugih Arto, Sp.A(K), menjelaskan bahwa gejala Sindrom Turner bisa muncul sejak kandungan hingga masa remaja. Namun, yang paling umum dan mudah dikenali adalah perawakan pendek pada masa kanak-kanak.

“Tinggi badan anak yang lebih pendek dari teman sebayanya harus jadi sinyal. Jangan tunggu sampai remaja dan tidak haid baru mulai curiga,” ujarnya.

Gejala lain mencakup bengkak di tangan atau kaki saat lahir, leher bersayap, gangguan telinga berulang, masalah jantung, hingga gagal pubertas. Karena tanda-tanda ini sering luput dari perhatian, banyak kasus baru teridentifikasi saat anak sudah memasuki usia remaja.

Dalam sesi yang sama, dr. Ismi Citra Ismail, Sp.A(K) menegaskan pentingnya edukasi kepada keluarga, terutama ibu sebagai pengasuh utama, tentang perlunya memantau pertumbuhan anak secara rutin dan tidak menganggap “anak kecil dari lahir” sebagai hal yang wajar.

“Edukasi harus sampai ke puskesmas dan posyandu. Pemeriksaan tinggi badan dan usia tulang itu murah tapi sangat menentukan,” jelasnya.

Ia juga menyarankan agar dokter umum dan bidan diberikan pelatihan tentang gejala awal Sindrom Turner sebagai bagian dari upaya deteksi dini.

Meski bersifat genetik, anak dengan Sindrom Turner tetap bisa tumbuh dan berprestasi jika penanganan diberikan tepat waktu. Dari terapi hormon hingga dukungan psikososial, semua intervensi bisa dimulai sedini mungkin.

“Anak dengan Turner bisa jadi dokter, psikolog, apapun. Asal kita deteksi cepat dan beri mereka peluang,” pungkas Prof. Aman.

Melalui kegiatan ini, YKAG berharap peran keluarga dan layanan kesehatan primer semakin diperkuat dalam proses skrining dan rujukan, sehingga tidak ada lagi anak yang kehilangan kesempatan hanya karena terlambat dikenali.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE