MEDAN (Waspada.id): Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Tirtanadi merupakan salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) strategis milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, yang memiliki peran ganda baik sebagai penyelenggara pelayanan publik maupun penghasil Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Didirikan dengan mandat utama untuk mengelola penyediaan air bersih dan pengolahan air limbah di wilayah Sumatera Utara, Perumda Tirtanadi berfungsi sebagai tulang punggung pelayanan dasar yang berimplikasi langsung terhadap kesehatan masyarakat, pembangunan ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan.
Hal itu disampaikan pengamat anggaran dan kebijakan publik, juga peneliti di Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumatera Utara, Elfenda Ananda dalam bincang dengan Waspada.id, Minggu (9/11/2025) sore.
Elfenda menyebut, sebagai salah satu BUMD tertua di Indonesia di sektor air, Tirtanadi secara historis menjadi model pengelolaan air minum perkotaan di luar Jakarta.
Dengan cakupan lebih dari 540 ribu sambungan aktif dan kapasitas produksi mencapai 7.300 liter per detik, keberadaan Tirtanadi seharusnya menjadi instrumen penting bagi stabilitas sosial dan ekonomi daerah.
Namun, kata Elfenda, peran pelayanan air bersih belum maksimal, dan kontribusinya terhadap PAD belum sesuai harapan. Di tengah kebijakan pemotongan dana transfer ke daerah, muncul pula dugaan kebocoran pendapatan dari sektor bisnis air bersih ini.
Dalam analisis kelayakan bisnis, potensi pendapatan Perumda Tirtanadi sebenarnya mencapai Rp2 triliun per tahun. Akan tetapi, 38 % dari air produksi hilang (Non-Revenue Water/NRW) jauh di atas standar nasional sebesar 25 %.
‘’Kondisi ini berarti terdapat potensi kebocoran pendapatan sekitar Rp750 miliar per tahun yang tidak tercatat dalam laporan keuangan resmi,’’ ungkapnya.
Elfenda menyebut, dari sisi pelanggan, 97 % berasal dari rumah tangga dan hanya 3 % dari sektor industri, menunjukkan bahwa basis pelanggan produktif masih rendah, sementara beban sosial tetap tinggi.
Apa yang menjadi temuan ini sebelumnya disampaikan oleh anggota Badan Anggaran sekaligus Ketua Komisi A DPRD Sumut, Prof. Dr. H. Usman Jakfar, Lc., MA, yang menilai bahwa direksi Tirtanadi gagal mengoptimalkan potensi ekonomi perusahaan.
Ia bahkan menantang jajaran direksi untuk mundur apabila tidak mampu memperbaiki kinerja dan menutup kebocoran pendapatan.
‘’Harusnya bukan sekedar pernyataan politik, namun harus ada tindakan nyata misalnya melakukan koreksi atas laporan perumda Tirtanadi setiap semester dan tahunan,’’ ucap Elfenda.
Dalam kondisi demikian, lanjut Elfenda, setiap persen air yang hilang memiliki nilai finansial signifikan dan dapat menopang PAD daerah.
Karena itu, saran Elfenda, kritik keras dari DPRD seharusnya ditindaklanjuti dengan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) guna menelusuri berbagai kejanggalan yang diungkap, sekaligus merekomendasikan audit investigatif menyeluruh terhadap Perumda Tirtanadi.
Selain kritik dari legislatif, gelombang protes juga datang dari masyarakat sipil. Gerakan Masyarakat Peduli Air Minum (GM–PAM) menggelar aksi demonstrasi menuntut dilakukannya audit keuangan dan pengusutan dugaan mafia proyek yang disebut-sebut telah menggerogoti sumber PAD dari bisnis air bersih.
Idealnya, sebagai BUMD andalan Pemprov Sumut, Perumda Tirtanadi memiliki posisi strategis dalam penyediaan air bersih dan kontribusi terhadap PAD. Namun, data menunjukkan bahwa meski secara teknis dan ekonomi tergolong layak, perusahaan ini belum mencapai potensi optimalnya.
‘’Ironisnya, di balik pipa-pipa yang menyalurkan air ke 544 ribu pelanggan, diduga juga mengalir uang publik yang bocor di tengah sistem birokrasi BUMD,’’ cetusnya.
Dua faktor utama yang memicu gejolak ini adalah:
- Tingginya kehilangan air (NRW) sebesar 38 %.
- Dugaan praktik mafia proyek dan manipulasi keuangan internal.
Selain itu, Elfenda menyebut, Tirtanadi juga kerap disebut menjadi alat politik bagi elit daerah, digunakan untuk menampung loyalis politik dan tim sukses Pilkada.
‘’Dugaan jual beli jabatan dan tenaga kontrak di lingkungan perusahaan memperkuat indikasi lemahnya tata kelola dan akuntabilitas,’’ ujarnya.
Kondisi ini menimbulkan potensi konflik kepentingan antara direksi, pejabat teknis, dan pihak eksternal seperti kontraktor atau pemasok proyek.
Elfenda pun menegaskan bahwa, berbagai persoalan yang disampaikan anggota DPRD Sumut dan para pendemo seharusnya menjadi peringatan serius bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Sebab, Perumda Tirtanadi dibiayai dari penyertaan modal APBD, yang bersumber langsung dari pajak rakyat.
Oleh karena itu, Elfenda meminta aparat penegak hukum (APH) harus turun tangan untuk membongkar dugaan kebocoran dan penyimpangan yang terjadi di tubuh perusahaan ini.
‘’Uang rakyat harus diselamatkan. Jangan sampai kepentingan publik dikorbankan demi permainan elit dan mafia proyek di balik BUMD air bersih Sumatera Utara,’’ tandasnya.
Direktur Utama Perumda Tirtanadi, Ardian Surbakti yang konfirmasi Waspada.id sejak Sabtu (8/11/2025), tidak merespon. Telpon tidak diangkat dan pesan whatsapp yang dikirim centang dua, dibaca, namun tidak dibalas.(id96)












