MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, pada Kamis(20/11/2025) memaparkan, Medan darurat kejahatan jalanan warga harus aman aparat harus tegas.
Dipaparkannya, Kota Medan kini menghadapi tantangan serius yang tak lagi bisa diabaikan. Begal, pencurian kendaraan bermotor dengan kekerasan bahkan brutal, bukan lagi berita sesaat. Mereka telah menjadi bayangan yang menghantui warga setiap malam, menimbulkan ketakutan, dan mengganggu kelancaran aktivitas ekonomi. Jalan-jalan yang seharusnya aman kini berubah menjadi arena bahaya, tempat keberanian diuji oleh pelaku yang terorganisir dan brutal.
Dalam periode 9–31 Oktober 2025, Polrestabes Medan mencatat 159 kasus kriminal, dengan 219 tersangka berhasil diamankan. Dari jumlah itu, 22 tersangka terlibat begal, dan 11 di antaranya ditembak karena melawan saat penangkapan. Merujuk data dirilis, dalam 15 hari terakhir Oktober, tercatat 103 kasus kriminal, termasuk 9 kasus begal dengan 14 tersangk.
Angka-angka ini lebih dari sekadar statistik: sebab angka itu adalah alarm yang menohok. Medan tidak lagi menjadi kota di mana warga bisa pulang larut malam tanpa rasa waspada. Begal merajalela, sebagian besar pelaku adalah residivis sekaligus pengguna narkoba aktif, menciptakan siklus kejahatan yang sulit diputus. Fenomena ini menegaskan lemahnya efek jera dari sistem hukum dan ketidakoptimalan mekanisme rehabilitasi serta pengawasan pasca-pidana.
Wilayah seperti Medan Sunggal, Tembung, dan Percut Sei Tuan menjadi titik panas kriminalitas. Namun, kehadiran polisi saja tidak cukup; kota ini menuntut integrasi nyata antara penegakan hukum, pencegahan, dan keterlibatan warga.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, penegakan hukum yang tegas tanpa kompromi. Pelaku begal, terutama residivis, harus dijatuhi hukuman maksimal sesuai Pasal 365 KUHP. Konsistensi dalam menindak akan menghasilkan efek jera nyata. Penembakan hanya dilakukan sesuai SOP, tetap dalam koridor hukum dan hak asasi.
Kedua, penguatan patroli dan pengawasan teknologi. Mobil patroli Perintis Samapta dengan kamera resolusi tinggi dan sensor kendaraan wajib diperluas ke seluruh kecamatan. CCTV publik harus terintegrasi dengan sistem patroli. Pos keamanan komunitas di titik rawan wajib dibangun dan melibatkan warga setempat.
Ketiga, rehabilitasi residivis dan pengguna narkoba. Mereka harus diawasi ketat, dibekali keterampilan, dan diberikan pendampingan sosial agar memiliki alternatif hidup selain kejahatan.
Keempat, kolaborasi multi-sektor antara kepolisian, Pemko Medan, dan masyarakat. Pemko bertanggung jawab menyediakan penerangan jalan memadai, pos keamanan, dan mendukung community policing. Kampanye publik tentang prosedur melapor dan solidaritas komunitas harus digalakkan.
Kelima, transparansi dan akuntabilitas. Polrestabes Medan wajib melaporkan secara rutin hasil operasi, jumlah begal yang ditangkap, barang bukti yang disita, dan status hukum setiap kasus. Kepastian hukum menumbuhkan kepercayaan publik.
Medan sedang diuji, bukan hanya oleh pelaku kriminal, tetapi oleh sistem yang belum sepenuhnya mampu melindungi warganya. Jika kepolisian, pemerintah, dan masyarakat bersatu dalam patroli, pengawasan, rehabilitasi, dan transparansi, kota ini bisa kembali menjadi tempat di mana warga pulang kerja tanpa takut, anak-anak bermain di jalan, dan ekonomi berjalan normal.
Begal bukan sekadar persoalan kriminal biasa; ini masalah struktural yang menuntut keberanian, strategi, dan tindakan nyata. Warga berhak aman: aparat wajib menjawab dengan tegas.
Medan tidak punya ruang untuk kompromi. Tanpa langkah nyata, laporan “lagi begal”, “lagi ditangkap”, “lagi ditembak” akan terus mengulang, seperti siklus tragis tanpa ujung. Medan membutuhkan lebih dari resolusi moral, sebab Medan membutuhkan revolusi keamanan!(id18)












