Medan

11 Catatan Akhir Tahun SMI: “Republik Tanpa Rasa Malu: Demokrasi Berjalan, Keadilan Tertinggal”

11 Catatan Akhir Tahun SMI: “Republik Tanpa Rasa Malu: Demokrasi Berjalan, Keadilan Tertinggal”
Catatan Akhir Tahun SMI: “Republik Tanpa Rasa Malu: Demokrasi Berjalan, Keadilan Tertinggal”. Waspada.id/Ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Sepanjang 2025, Indonesia tidak sedang kekurangan kebijakan, melainkan kekurangan keberanian untuk bercermin. Negara tampak aktif memproduksi regulasi, program dan narasi pembangunan, tetapi semakin mengabaikan persoalan konkret warga.

Stabilitas dijaga, pertumbuhan diklaim, pencitraan dirawat, namun rasa keadilan, partisipasi, dan empati justru tergerus.

Atas dasar itu, Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) menyampaikan 11 catatan kritis akhir tahun sebagai refleksi menuju tahun 2026:

  1. Demokrasi Prosedural Tanpa Ruh Partisipasi. Demokrasi Indonesia masih berjalan secara prosedural melalui pemilu dan mekanisme formal, namun kehilangan substansi partisipatifnya.
    Aspirasi warga kerap diposisikan sebagai gangguan stabilitas, bukan sebagai sumber koreksi kebijakan. Ruang dialog menyempit, sementara kritik public sering direspons defensif. Demokrasi yang sehat menuntut keterbukaan terhadap perbedaan dan keberanian mendengar suara yang tidak nyaman. Tanpa itu, demokrasi hanya menjadi ritual administratif yang menjauh dari rakyat.
  2. Kerusuhan Sosial Agustus 2025 sebagai Akumulasi Krisis.
    Kerusuhan sosial Agustus 2025 tidak dapat dibaca sebagai insiden sesaat. Tapi merupakan akumulasi panjang ketimpangan ekonomi, konflik agraria yang tak kunjung diselesaikan, kegagapan negara dalam menangani bencana, serta rasa tidak didengar oleh negara. Sayangnya, respons dominan negara justru pendekatan keamanan. Padahal, stabilitas yang dibangun tanpa keadilan hanya melahirkan ketenangan semu dan menyimpan potensi ledakan social berikutnya.
  3. Kegagapan Negara dalam Penanganan Bencana. Sepanjang 2025, penanganan bencana di berbagai daerah terutama Sumatera memicu gelombang protes korban dan masyarakat terdampak. Keterlambatan bantuan, buruknya koordinasi, serta minimnya transparansi memperlihatkan lemahnya tata kelola kebencanaan. Negara cenderung hadir dalam fase darurat dan seremoni, tetapi absen dalam pencegahan dan pemulihan jangka panjang. Bencana akhirnya dinormalisasi sebagai takdir, bukan sebagai kegagalan kebijakan yang seharusnya diperbaiki.
  4. Reformasi Polri yang Kehilangan Arah Konstitusional.
    Reformasi Polri mengalami kemunduran serius. Sepanjang 2025, terlihat praktik di mana Peraturan Kapolri dijalankan seolah memiliki kedudukan lebih tinggi dari putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Ini bukan sekadar persoalan teknis regulasi, melainkan pembangkangan institusional terhadap konstitusi. Reformasi kepolisian tidak boleh berhenti pada simbol dan jargon. Tanpa audit terbuka, pengawasan sipil yang efektif dan ketundukan penuh pada konstitusi, Polri berisiko menjauh dari mandate demokratisnya.
  5. Penegakan Hukum yang Menjauh dari Keadilan Substantif. Kepercayaan public terhadap penegakan hukum terus menurun. Penanganan sejumlah kasus besar memperlihatkan proses hukum yang membingungkan, komunikasi publik yang buruk, serta kesan kuat bahwa hukum lebih berfungsi sebagai industry kekuasaan dari pada alat pencari kebenaran. Prinsip kesetaraan di depan hukum kehilangan makna ketika public menyaksikan perlakuan yang timpang. Negara hukum tidak cukup ditegakkan melalui prosedur, tetapi harus dirasakan adil oleh warga.
  6. Tata Kelola Anggaran dan Korupsi yang Bersifat Struktural. OTT KPK terhadap Dinas PUPR Sumatera Utara menegaskan bahwa anggaran public masih menjadi ladang korupsi. Masalah ini tidak dapat disederhanakan sebagai kesalahan individu. Desain pengelolaan anggaran yang tertutup, pergeseran anggaran yang janggal atas nama efisiensi, serta lemahnya pengawasan DPRD memperlihatkan problem struktural. Penegakan hukum penting, namun tanpa pembenahan sistemik dan transparansi, praktik serupa akan terus berulang.
  7. Hilirisasi yang Berubah Menjadi Ekstraktivisme Baru Narasi. Hilirisasi diklaim sebagai jalan menuju kemandirian ekonomi nasional. Namun di lapangan, hilirisasi kerap tampil sebagai ekstraktivisme dengan wajah baru. Konflik sumber daya alam dan agrarian meningkat, masyarakat lokal tersingkir, dan kerusakan ekologis meluas. Hilirisasi tanpa reforma agraria, pengakuan hak masyarakat adat dan perlindungan lingkungan hanya memindahkan nilai tambah tanpa keadilan sosial. Pembangunan semacam ini justru memperdalam ketimpangan dan konflik.
  8. Ketidakadilan Ekologis dan Normalisasi Bencana. Banjir dan longsor di berbagai wilayah Sumatera memperlihatkan kegagalan negara menjalankan fungsi pencegahan. Tata ruang yang abai, pemberian izin yang serampangan, serta lemahnya penegakan hukum lingkungan menjadi akar masalah. Negara sering menyebut bencana sebagai peristiwa alamiah, padahal kebijakan manusialah yang memperparah dampaknya. Tanpa keadilan ekologis, bencana akan terus berulang dan korban akan terus berjatuhan.
  9. Militerisasi Ruang Sipil dan Krisis Supremasi Sipil. Penambahan Kodam dan Batalyon TNI sepanjang 2025 dilakukan dengan minim penjelasan publik dan uji kebijakan terbuka. Persoalannya bukan pada eksistensi militer, melainkan pada batas perandalam negara demokratis. Ketika ruang sipil semakin dimiliterisasi sementara profesionalisme dan integritas aparat justru dipertanyakan, agenda reformasi sektor keamanan dan supremasi sipil pasca-Reformasi berada dalam ancaman serius.
  10. Politik Ingatan dan Krisis Etika Negara. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto tanpa penyelesaian pelanggaran HAM berat menunjukkan kegagalan negara mengelola sejarah secara jujur dan berkeadilan. Penghargaan yang dilepaskan dari keadilan berisiko memutihkan masa lalu dan melukai korban. Sejarah seharusnya menjadi ruang pembelajaran kolektif, bukan alat legitimasi kekuasaan yang mengabaikan penderitaan korban.
  11. Ekonomi Rakyat Tertekan, Meritokrasi Mati, Demokrasi Lokal Terancam. Pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan kondisi riil rumah tangga. Daya belimenurun, lapangankerjaterbatas, dan sektor informal menjadi penyangga utama tanpa perlindungan memadai. Situasi ini diperparah oleh matinya meritokrasi, ketika jabatan publik lebih ditentukan oleh kedekatan politik dari pada kapasitas. Wacana penghapusan Pilkada langsung dan pengembaliannya ke DPRD menambah ancaman serius, karena berpotensi menghidupkan kembali politik transaksional dan menjauhkan rakyat dari hak politiknya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan SMI, Kristian Redison Simarmata didampingi Divisi Data dan Publikasi, Muhamad Yusuf Nasution menyampaikan hal tersebut di Medan, Selasa (30/12/2025).

Kristian menyebut, kesebelas catatan ini bermuara pada satu persoalan mendasar: negara perlahan kehilangan rasa malu. Kebijakan keliru dipertahankan tanpa koreksi, pernyataan pejabat melukai nalar publik tanpa konsekuensi, dan kegagalan dibungkus retorika keberhasilan.

Oleh karena itu, SMI menegaskan bahwa pembenahan Indonesia tidak cukup melalui tambal sulam kebijakan, melainkan membutuhkan pemulihan etika kekuasaan. Negara yang sehat bukan negara yang selalu benar, tetapi negara yang berani mengakui kesalahan, membuka ruang koreksi publik, dan bertanggungjawab. Rasa malu adalah awal tanggungjawab, dan tanggungjawab adalah inti demokrasi.(id96)


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE