MEDAN (Waspada.id): Ada hal yang patut dicermati dalam sidang perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Rabu, 15 Oktober 2025 di Pengadilan Negeri Medan.
Sidang kembali digelar terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan Sipiongot – Batas Labuhan Batu dan Hutaimbaru – Sipiongot di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Sumatera Utara.
Saat sidang, Hakim Khamozaro Waruwu kembali menyinggung peran Tim Anggaran Pemerintahan Daerah (TAPD) Sumut dan Gubernur Sumut Bobby Nasution dalam pergeseran angggaran APBD Sumut 2025.
Khamozaro Waruwu menyatakan bahwa majelis hakim sedang mempelajari adanya mens rea (niat jahat) di balik pergeseran anggaran dalam APBD Sumut 2025, yang diduga menjadi bagian dari praktik korupsi dalam proyek tersebut.
‘’Pernyataan hakim Khamozaro Waruwu bahwa majelis hakim sedang mempelajari adanya mens rea (niat jahat) di balik pergeseran anggaran dalam APBD Sumut 2025 cukup tepat,’’ ujar pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda kepada Waspada.id, Kamis (16/10/2025) malam.
Kenapa disebut cukup tepat, karena dari pergeseran anggaran 6 kali inilah dugaan korupsi proyek pembangunan jalan Sipiongot – Batas Labuhan Batu dan Hutaimbaru – Sipiongot di Kabupaten Paluta hendak dilegitimasikan dalam produk peraturan Gubernur APBD 2025, ujar peneliti Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumatera Utara ini.
‘’Anggaran yang sebelumnya hanya Rp669 miliar (Pergub No.7 tahun 2025) menjadi Rp1,36 trilun (naik 104 %),’’ katanya.
Selain itu, ucap Elfenda, pergeseran anggaran hingga enam kali dengan waktu yang sangat singkat bisa mengakomodir berbagai proyek jalan beberapa hari setelah turun lapangan dengan memasukan hasil survei lapangan dalam bentuk off road dan foto-foto lokasi.
Selain itu, Hakim Waruwu juga menyinggung peran Tim Anggaran Pemerintahan Daerah (TAPD) Sumut dan Gubernur Sumut, yang disebut ikut berperan dalam proses pergeseran anggaran APBD 2025 tersebut.
‘’Dengan demikian, sidang ini membuka arah baru penyelidikan ke kemungkinan adanya tanggung jawab pejabat tingkat lebih tinggi dalam keputusan politik anggaran, bukan hanya pada pelaksana teknis proyek,’’ ucapnya.
Elfenda menyebut, berdasarkan praktik legal dan norma hukum di Indonesia, agar bisa dikatakan ada mens rea (niat jahat), setidaknya harus ada indikasi bahwa pelaku: Mengetahui tindakan mereka melanggar aturan. Ada kesengajaan (tidak sekadar kelalaian) untuk menyalahgunakan wewenang atau menguntungkan diri sendiri/pihak tertentu. Ada unsur kesadaran bahwa akibat akan buruk (kerugian keuangan state, ketidakadilan, penyalahgunaan anggaran).
Misalnya indikasi proyek jalan yang awalnya belum masuk perencanaan kemudian di survei, volume belanja modal untuk jalan diperbesar.
‘’Jika proyek semacam ini kemudian memperoleh dana secara dadakan lewat pergeseran anggaran, bisa jadi ada motif untuk menyelipkan anggaran tanpa melalui prosedur perencanaan yang transparan dengan alasan mendesak,’’ ungkapnya.
Pergeseran anggaran 6 kali yang menggunakan dasar situasi mendesak dengan reagulasi Permendagri No.77 tahun 2020 tentang pedoman teknis pengelolaan keuangan daerah yang menyatakan bahwa pada kondisi tertentu, pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD dapat dilakukan sebelum perubahan APBD melalui ketetapan kepala daerah dengan diberitahukan kepada pimpinan DPRD.
Padahal, lanjut Elfenda, fakta persidangan kasus jalan proyek pembangunan jalan Sipiongot – Batas Labuhan Batu dan Hutaimbaru – Sipiongot di Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara tidak memenuhi unsur mendesak.
Elfenda kembali menegaskan bahwa hakim sudah benar menduga adanya mens rea (niat jahat) di balik pergeseran anggaran dalam APBD Sumut 2025, karena secara prosedur mekanisme anggaran dimana hak Hubungan Kepala Daerah dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) bersifat fungsional dan hierarkis, dengan peran saling terkait dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD.
Selain itu, pada Pasal 9 PP No. 12 Tahun 2019, Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Wali Kota) adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, yang meliputi: Menetapkan kebijakan umum keuangan daerah.
Lalu menyetujui rancangan KUA–PPAS dan RAPBD sebelum diserahkan ke DPRD dan mengendalikan pelaksanaan APBD dan bertanggung jawab atas hasilnya. ‘’TAPD bekerja atas mandat dan di bawah kendali Kepala Daerah,’’ tegasnya.
Sudah benar hakim sebaiknya membongkar soal pergeseran anggaran yang didalamnya terdapat belanja tidak terduga yang seharusnya diperuntukkan bagi belanja yang mendesak, akibat bencana, kerusuhan dan situasi tidak terkendali awalnya Rp843 Miliar berkurang menjadi Rp106 Miliar dan dialihkan untuk belanja modal jalan dan jaringan.
‘’Tentunya dari fakta ini bisa dilihat peruntukkan belanja yang digeser berubah sifat tidak lagi mendesak,’’ jelasnya.
Sidang lanjutan perkara korupsi proyek pembangunan sejumlah jalan di Sumatera Utara pada tanggal 15 Oktober itu kembali menguak daftar panjang penerima uang suap dari kontraktor.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Medan dan dipimpin Ketua Majelis Hakim Khamozaro Waruwu, terungkap bahwa puluhan pejabat di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumut serta sejumlah kabupaten menerima uang hasil pengaturan tender proyek jalan.
Terungkap bahwa Terdakwa utama, Muhammad Akhirun Piliang alias Kirun, Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup (DNG), dan anaknya Muhammad Rayhan Dulasmi, Direktur PT Rona Mora, dihadirkan bersama saksi Mariam, bendahara PT DNG. Memberikan kesaksiannya berupa catatan penyalurkan uang kepada berbagai pejabat sebagai “komitmen fee” untuk memenangkan tender proyek jalan.
Apa yang terungkap dalam persidangan menunjukkan prilaku pejabat yang koruptif menerima uang hasil pengaturan tender proyek jalan. Hal ini ternyata sudah biasa terjadi berdasarkan pengakuan saksi.
‘’Maka, apa yang dinyatakan hakim untuk mengungkap adanya mens rea (niat jahat) di balik pergeseran anggaran dalam APBD Sumut 2025 cukup tepat dan perlu ditindaklanjuti,’’ demikian Elfenda.
Sebelumnya, Ketua Lembaga Kalibrasi Anti Korupsi dan Hak Asasi Manusia, Antony Sinaga, SH, MHum menyebut Pergubsu tentang pergeseran anggaran dapat menjadi alat bukti dalam proses hukum jika terdapat dugaan tindak pidana korupsi.
‘’Nah, KPK dapat menggunakan Pergub itu sebagai alat bukti untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut,’’ ucapnya.
Untuk itu KPK harus melakukan proses hukum yang transparan dan akuntabel untuk menentukan status Gubernur Sumatera Utara sebagai tersangka. ‘’Pergub tentang pergeseran anggaran yang merupakan perintah Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution,’’ tandasnya.
Antony kembali menegaskan bahwa Bobby Nasution tidak kebal hukum dan tidak memiliki hak imunitas. ‘’Oleh karena itu KPK harus menjadikan Boby Nasution sebagai tersangka. Pergeseran anggaran yang diatur dalam Pergubsu mutlak tanggung jawab Bobby Nasution yang menyebabkan terjadinya OTT Topan Ginting dan kawan-kawan,’’ tandasnya.(id96)