MEDAN (Waspada.id): Anggota Komite I DPD RI, Pdt. Penrad Siagian, menyampaikan pandangan mengenai nasib ribuan desa yang berada di dalam kawasan hutan dan Hak Guna Usaha (HGU).
Hal itu disampaikan saat Komite I DPD RI menggelar rapat bersama Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) di Jakarta, Senin, 10 November 2025.
Rapat ini dihadiri Mendes PDT Yandri Susanto dan Wamendes PDT Ahmad Riza Patria, beserta jajaran Kemendes PDT.
Dalam rapat tersebut, Penrad mengaku mendukung visi Presiden Prabowo Subianto untuk membangun Indonesia dari desa.
Namun ia mengingatkan bahwa kondisi di lapangan sangat memprihatinkan dan berpotensi menggagalkan cita-cita Indonesia Emas 2045.
“Kita mendukung penuh visi Presiden bahwa membangun Indonesia adalah membangun dari desa. Namun menuju ke sana tantangannya sangat berat. Sudah terlalu lama Indonesia meninggalkan pola pembangunan dari pinggiran atau desa,” ujar Penrad, dalam keterangannya yang diterima di Medan, Selasa (11/11)
Ia menyoroti fakta bahwa masih terdapat ribuan desa berstatus tertinggal, dengan kualitas pendidikan yang jauh tertinggal dari wilayah perkotaan.
Merujuk data BPS tahun 2024–2025, ia mengungkapkan bahwa rata-rata lama sekolah anak-anak di desa hanya 9 tahun atau setara tidak tamat SMA.
“Kalau anak-anak di desa rata-rata hanya sekolah 9 tahun, artinya tidak tamat SMA. Sementara di kota seperti DKI Jakarta atau Medan sudah 14–15 tahun. Saya khawatir desa-desa itu tidak akan ikut menjadi bagian dari Indonesia Emas, padahal masyarakat desa adalah mayoritas penduduk Indonesia,” tegasnya.
Menurut Penrad, kondisi rendahnya pendidikan ini disebabkan oleh minimnya infrastruktur sekolah, kesehatan, akses jalan, dan fasilitas dasar lainnya.
Pada aspek regulasi, Penrad mengkritik tumpang tindih aturan terkait dana desa yang melibatkan sedikitnya empat kementerian, sehingga membuat kepala desa ragu mengambil langkah untuk pembangunan desa.
Senator asal Sumut ini mencontohkan rendahnya tingkat keberhasilan Bumdes, khususnya di Sumatra Utara (Sumut).
“Berdasarkan data saya, di Provinsi Sumatra Utara (Sumut) ada sekitar 20-22 persen Bumdes itu ada, yang lain tidak ada. Dari keseluruhan desa yang ada di Sumut, dan saya pikir teman-teman di provinsi lain lebih parah dari persentase itu. Sumut masih cukup lumayan maju, katakanlah begitu. Artinya, ada problem regulasi,” katanya.
Penrad mendorong Komite I untuk mengevaluasi dan menyelaraskan seluruh regulasi terkait dana desa agar tidak terjadi tumpang tindih dan dana dapat terserap optimal.
Ia juga menyoroti tingginya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) dana desa karena minimnya ruang penggunaan anggaran akibat status desa yang berada di kawasan hutan dan HGU.
“Inilah akar persoalan. Sekitar 60 persen desa berada di atas kawasan hutan dan HGU. Di sana dana desa tidak boleh dipakai untuk membangun infrastruktur, jalan, dan fasilitas dasar. Akibatnya dana desa itu hanya terpakai sekitar 30 persen. Sia-sia kalau seperti ini,” ungkapnya.
Penrad kemudian menyoroti persoalan tata kelola dana desa. Ia menegaskan bahwa desa juga terbebani oleh terlalu banyak program titipan dari pemerintah pusat.
“Masalah lain adalah terlalu banyak program titipan dalam penggunaan dana desa. Program-program titipan dari pusat ini mengakibatkan berkurangnya ruang bagi desa untuk menggunakan dana desa sesuai dengan kebutuhan riil desa tersebut. Pemerintah pusat harus tahu bahwa desa-desa itu beragam dan tentu memiliki konteks masing-masing atas kebutuhan bagi desa tersebut yg tidak selalu sama dengan desa yang lainnya,” tegasnya.
Desk Khusus
Oleh sebab itu, Penrad mendesak pembentukan desk khusus lintas kementerian.
Ia meminta Menteri Yandri menjadi leading sector untuk mempercepat pelepasan atau penataan status desa-desa dalam kawasan hutan dan HGU, serta menggandeng Kemendagri, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Kehutanan.
“Kami berharap ada desk bersama antara Komite I dan kementerian terkait. Minimal dalam satu periode Presiden Prabowo, 30 persen dari desa-desa yang berada di atas kawasan hutan dan HGU dapat kita keluarkan dari status itu,” tegasnya.
Selain itu, Penrad menyoroti tumpang tindih program pemerintah seperti food estate dan Koperasi Merah Putih yang dinilai membingungkan desa karena berjalan di luar Bumdes.
“Kalau misal sudah ada Bumdes-nya kemudian akan dibentuk Lagi Koperasi Merah Putih, bagaimana relasi antara kedua ini apalagi keduanya menggunakan anggaran negara,” ujar Penrad.
Ia juga memperingatkan ancaman terhadap desa akibat maraknya program ekstraktif, proyek strategis nasional, serta korporasi yang mengantongi HGU dan konsesi di atas kawasan desa.
“Desa-desa kita semakin terancam akibat berbagai program atau program-program ekstraktif yang berada di atas kawasan desa, baik dalam bentuk program strategis nasional maupun korporasi-korporasi yang kemudian mendapatkan HGU dan konsesinya. Kita sudah melihat bagaimana kerusakan alam dan itu dialami oleh desa-desa. Saya berharap bagaimana kemudian ada regulasi dari Kementerian Desa yang melindungi kawasan-kawasan desa ini,” katanya.
Dia menekankan bahwa program ketahanan pangan harus memberi ruang kepada desa untuk menjadi pelaksana utama, bukan menyerahkannya kepada korporasi seperti yang terjadi pada proyek food estate sebelumnya.
Ia menegaskan, food estate berbasis korporasi terbukti gagal seperti yang terjadi di Sumut.
“Di kampung saya di Sumut, dengan pola korporasi-food estate dalam bentuk ketahanan pangan gagal. Dan masyarakat desa akhirnya merasa tidak memiliki karena melihat program food estate dalam bentuk ketahanan pangan sebagai program luar, bukan program desa. Saya berharap program itu melibatkan desa, memberikan skema sehingga desa menjadi pelaksana program ketahanan pangan itu,” tutup Penrad. (id06)












