Scroll Untuk Membaca

Medan

Angka Kekerasan Perempuan Dan Anak Di Sumut Tembus 1.822 Kasus Sepanjang 2024

Angka Kekerasan Perempuan Dan Anak Di Sumut Tembus 1.822 Kasus Sepanjang 2024
Ilustrasi
Kecil Besar
14px

# Mayoritas Korban Anak Perempuan

MEDAN (Waspada.id): Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Sumatra Utara (Sumut) sepanjang tahun 2024 mencapai angka memprihatinkan.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), tercatat 1.822 korban, dengan rincian 623 perempuan dewasa, 837 anak perempuan, dan 362 anak laki-laki.

“Jumlah korban anak sangat tinggi. Ini menjadi alarm serius bagi kita semua,” ungkap Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (PPPAKB) Sumut, Roimah Harahap, S.Ag., M.A.P dalam Seminar Hari Anak Nasional 2025 yang digelar Forum Wartawan Kesehatan Sumut di Medan beberapa waktu lalu.

Roimah menjelaskan, enam wilayah tertinggi kasus kekerasan antara lain Kabupaten Asahan (233 kasus), Kota Medan (195), Deli Serdang (188), Simalungun (124), Labuhanbatu (113), dan Kota Gunungsitoli (133 kasus).

Mayoritas korban berada pada rentang usia 13–17 tahun, yaitu usia remaja sekolah. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual, disusul kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran.

Menurut Roimah, kekerasan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa kekerasan adalah segala bentuk tindakan yang menimbulkan penderitaan fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran secara melawan hukum.

“Yang dimaksud anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Di Sumut, jumlah anak mencapai 4,7 juta jiwa atau 30,36 persen dari total populasi,” jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak ibarat fenomena gunung es. Banyak kasus tidak terlaporkan karena korban mengalami trauma, takut, dan terbelenggu stigma sosial.

“Jangan pernah menyalahkan korban. Yang harus disalahkan adalah pelaku. Kita harus berhenti menjadi pelaku atau pembenaran kekerasan,” tegas Roimah.

Ia menambahkan bahwa perlindungan terhadap anak dijamin oleh berbagai regulasi nasional dan internasional, seperti Konvensi Hak Anak 1989, UU Perlindungan Anak, serta UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Tahun 2012.

Faktor utama pemicu kekerasan adalah kurangnya pengawasan dan pendidikan dari keluarga. “Anak itu ibarat kertas putih. Apa yang tertulis di situ tergantung bagaimana orang tua dan lingkungan mencoretnya,” ujarnya.

Untuk penanganan kasus, Dinas PPPAKB Sumut menyediakan layanan pendampingan melalui UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), yang mencakup pengaduan, bantuan hukum, medis, hingga layanan psikologis.

Roimah juga mendorong masyarakat agar tidak diam. “Jika ragu atau takut melapor langsung, masyarakat bisa menghubungi SAPA 129. Identitas pelapor dijamin aman dan rahasia.”

Ia menutup sambutan dengan ajakan kolektif: “Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan isu sepele. Mari berani bersuara, karena anak dan perempuan bukan hanya masa depan, tapi bagian penting dari masa kini yang wajib kita lindungi.(cbud)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE