MEDAN (Waspada.id): Proyek besar yang digadang-gadang mampu mengatasi banjir di Kota Medan sejak masa kepemimpinan Wali Kota Bobby Nasution pada tahun 2024, seharusnya tidak menjadi sekadar jargon proyek mercusuar.
“Klaim bahwa proyek floodway ini “mampu mengatasi banjir” seolah diterima begitu saja tanpa dasar teknis yang jelas,” sebut pengamat anggaran dan kebijakan publik Elfenda Ananda kepada Waspada.id, Minggu (2/11/2025).
Hingga kini, kata Elfenda, tidak ada penjelasan terbuka kepada publik mengenai kajian hidrologis, efektivitas desain, maupun keterkaitan proyek ini dengan sistem drainase eksisting di kawasan Medan Utara.
“Tanpa data dan kajian teknis yang transparan, narasi “mengatasi banjir” hanya akan menjadi slogan politis yang lazim muncul menjelang tahun politik dan pilkada,” ungkapnya.
Proyek ini bersumber dari APBN dengan nilai “puluhan miliar rupiah”, seharusnya ada kejelasan mengenai mekanisme penganggaran, nomenklatur kegiatan, maupun instansi pelaksana teknisnya apakah di bawah Balai Besar Wilayah Sungai, Pemko Medan, atau kementerian terkait.
“Padahal, publik berhak tahu siapa yang bertanggung jawab atas pengawasan fisik maupun administrasi keuangannya. Istilah “puluhan miliar” pun terlalu kabur seolah sengaja mengaburkan besarnya tanggung jawab pemerintah terhadap uang negara,” ucapnya.
Nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) proyek sebesar Rp81,98 miliar dimenangkan oleh PT Runggu Prima Jaya (RPJ) dengan penawaran Rp65,59 miliar, atau turun hampir 20 persen dari nilai awal.
“Penurunan harga yang sedemikian drastis patut dipertanyakan mengapa bisa serendah itu? bagaimana perencanaannya disusun? dan apakah efisiensi sebesar ini realistis?,” herannya.
Lalu efisiensi hingga 20 persen sulit dipercaya tanpa mengorbankan mutu. “Penurunan harga sebesar Rp16,3 miliar dari HPS perlu dicurigai bukan sebagai bukti efisiensi, melainkan indikasi potensi masalah mutu pekerjaan atau praktik lelang tidak sehat,” kata Elfenda.
Dalam proyek konstruksi besar, penawaran yang terlalu rendah kerap menjadi sinyal bahwa kontraktor akan memangkas kualitas bahan, mengurangi volume pekerjaan, atau memperlambat progres.
“Apalagi jika proses tender tidak diawasi secara ketat oleh aparat pengawas internal maupun BPKP,” cetusnya.
Karena itu, publik perlu mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas proyek ini. Bagaimana perencanaannya disusun dan apa dampak sosial-lingkungannya serta nilai kontraknya sebanding dengan manfaat publik yang dijanjikan.
Dalam konteks harga, metode penyusunan HPS harus diuji apakah berbasis survei pasar yang realistis atau justru disusun untuk memberi ruang permainan harga?
“Penurunan harga hampir 20 persen seharusnya memperhatikan ambang batas risiko mutu pekerjaan,” jelasnya.
Selain itu, harus ada transparansi peserta lelang lain, agar publik bisa menilai selisih harga antar penawar.
“Evaluasi kewajaran harga sebagaimana diwajibkan oleh regulasi patut dilakukan — jika tidak, kuat dugaan terjadi pengondisian lelang,” ujarnya.
Dalam konteks proyek APBN bernilai puluhan miliar, persoalan tender bukan sekadar soal harga, tetapi soal pengelolaan uang rakyat.
Ketika nilai proyek dipangkas hampir Rp16,3 miliar, publik berhak tahu apakah itu efisiensi riil, atau strategi menekan angka demi memenangkan tender dan mengeruk keuntungan lewat jalan belakang.
“Tidak bisa diabaikan pula, banyak proyek APBN di Kota Medan periode 2022–2024 erat kaitannya dengan hubungan politik antara Wali Kota Medan saat itu dan Presiden, yang menimbulkan kecurigaan adanya privilese dan intervensi politik dalam distribusi proyek pusat,” ungkap Elfenda.
Keterlambatan proyek yang disebut-sebut akibat masalah pembebasan lahan adalah dalih klasik yang kerap digunakan untuk menutupi masalah internal.
“Patut dicurigai bahwa hambatan sebenarnya bukan di lahan, melainkan di kesalahan perencanaan, persoalan kewenangan, dan lemahnya koordinasi antar instansi,” ucapnya.
Jika benar dana pembebasan lahan Rp56,5 miliar telah disiapkan oleh Dinas Perkim Cipta Karya dan Tata Ruang (Cikataru) sejak tahun anggaran 2024, seharusnya pembebasan sudah tuntas sebelum pekerjaan dimulai.
Artinya, lanjut Elfenda, Wali Kota Medan saat itu bertanggung jawab untuk memastikan realisasi anggaran sesuai ketentuan perundang-undangan.
“Keterlambatan proyek bernilai puluhan miliar bukan sekadar persoalan waktu, melainkan kerugian masyarakat,” ujarnya.
Dalam proyek APBN, keterlambatan berarti pemborosan biaya overhead, potensi kenaikan harga material, risiko denda keterlambatan (yang sering tak ditegakkan), dan yang paling fatal manfaat publik tertunda, banjir tetap terjadi, rakyat tetap menderita.
“Jika anggaran telah dialokasikan tetapi warga belum menerima haknya, itu bukan sekadar “belum terealisasi”, melainkan indikasi maladministrasi, kelalaian, atau bahkan potensi penyimpangan dana publik,” jelasnya.
Elfenda menyebut tidak ada transparansi terkait perbedaan data antara pemerintah dan warga pemilik lahan, atau mengenai penilaian harga ganti rugi yang belum adil.
Peran DPRD pun tampak lemah. Alih-alih bertindak tegas, DPRD hanya menyampaikan pernyataan normatif di media tanpa langkah konkret memanggil dinas terkait.
“Fungsi pengawasan DPRD kota Medan terkesan sekadar formalitas politik,” tandasnya.
Padahal, berdasarkan data LPSE Pemko Medan, Dinas Perkim Cipta Karya dan Tata Ruang telah mengalokasikan Rp56,5 miliar untuk pengadaan tanah tahun anggaran 2024.
Rapat pembahasan ganti rugi bahkan sudah digelar pada 12 Juni 2024, dipimpin oleh Sekretaris Dinas Perkim saat itu, Melvi Marlabayana, bersama sejumlah pejabat Pemko dan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
“Jika proses sudah sejauh itu, maka keterlambatan realisasi menjadi tanda tanya besar apa yang sebenarnya menghambat proyek ini,” ungkapnya.
Aroma penyimpangan dalam proyek ini semakin terasa sejak awal, terutama dari proses tender yang tidak transparan.
Kondisi ini mengingatkan pada berbagai kasus korupsi proyek infrastruktur jalan di Sumut sebelumnya pola dan aktornya tampak serupa.
Realisasi dana ganti rugi yang tidak jelas, kualitas pekerjaan yang terancam menurun akibat “efisiensi harga ekstrem”, serta lemahnya pengawasan legislatif menjadi potret nyata buruknya tata kelola proyek publik.
Karena itu, Aparat Penegak Hukum (APH) harus segera turun tangan menyelidiki proyek floodway Sikambing–Belawan ini agar persoalan mengatasi banjir tidak mengorbankan kepentingan publik di Kota Medan, demikian Elfenda Ananda, peneliti di Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Sumatera Utara ini.
Sebelumnya, penggiat anti korupsi Andi Nasution menyoroti proyek pembangunan floodway Sikambing–Belawan ini karena dugaan penyimpangan hingga potensi kerugian negara.
Andi menyebut Kasatker selaku Penanggung Jawab Area Balai Besar Wilayah Sungai (PJA BBWS) Sumatera II Medan, Hermawan, sempat menyebut keterlambatan terjadi akibat persoalan pembebasan lahan.
Namun, berdasarkan penelusuran di laman LPSE Pemko Medan, Dinas Perkim Cipta Karya dan Tata Ruang (Perkim Cikataru) Kota Medan pada TA 2024 menganggarkan Rp56,5 miliar untuk belanja pengadaan tanah.
“Bahkan, pada 12 Juni 2024, Dinas Perkim Cikataru menggelar rapat yang dipimpin Sekretaris Dinas Melvi Marlabayana. Hadir juga Kepala BBWS Sumatera II, Kepala Bapenda, Kepala Bappeda, Kabag Hukum, Camat Medan Selayang, Lurah Asam Kumbang, dan pihak KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik),” ungkapnya.
Andi mempertanyakan transparansi dan realisasi anggaran pembebasan lahan tersebut.
“Fenomena seperti ini tidak boleh dibiarkan. Segera periksa semua pihak terkait, termasuk Melvi Marlabayana saat menjabat Sekretaris Dinas Perkim Cikataru dan Alexander Sinulingga selaku Kadis pada saat itu,” pungkas Andi.
Hal senada juga disampaikan anggota DPRD Medan. Anggota Komisi IV, Ahmad Afandi Harahap, menegaskan perlunya transparansi dan akuntabilitas penuh dalam pengelolaan anggaran proyek yang bersumber dari APBN tersebut.
“Masyarakat berhak tahu ke mana arah setiap rupiah anggaran itu mengalir. Proyek ini bukan proyek kecil. Kita bicara soal puluhan miliar uang negara. Jangan sampai ada ruang gelap di balik pelaksanaan dan penganggarannya,” kata Afandi.(id96)













