MEDAN (Waspada.id): Dosen Pascasarjana UMSU Assoc. Prof Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum mengatakan komisi percepatan reformasi Polri yang dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto menemukan dari 467.000 personil Polri yang bermasalah hanya oknum.
“Karena masih ada sekitar 90% personil Polri yang melayani masyarakat dengan baik. Artinya hanya 10% dari keseluruhan personil Polri yang dianggap bermasalah sehingga tidak tepat dari 10%,” ujar Alpi di Medan, Sabtu (13/12).
Menurut Alpi, tim telah mengunjungi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Jumat 12 Desember 2025 untuk mendapatkan aspirasi, masukan dan saran dari berbagai kalangan masyarakat yang dihadiri anggota komisi Mahfud MD dan Ahmad Dofiri
Dalam pertemuan dimaksud, jelas Alpi, Dekan Fakultas Hukum USU Dr Mahmul Siregar, SH. M.Hum secara tegas mengemukakan bahwa pentingnya transformasi kultural dalam tubuh Polri. Menurutnya Polri perlu lebih mengedepankan budaya pelayanan, pelindungan dan penganyoman.
Dr Mahmul menyarankan perbaikan pola rekrutmen melalui kerjasama dengan universitas serta penguatan etika dan moralitas dalam pendidikan dan pengembangan karir serta menekankan perlunya pengawasan internal dan eskternal yang melibatkan masyarakat.
Hal ini pada dasarnya menekankan bahwa transformasi kultural merupakan persoalan internal kepolisian yang hanya memerlukan penguatan pada lex, semisal SOP, dan bukan beginsellen begrifen berupa lege, apalagi dengan bounded rationality untuk mengubah struktur organisasi Polri melalui perubahan undang-undang atau menempatkan institusi Polri atau fungsi kepolisian di dalam kementrian.
“Untuk itu independen Polri harus tetap dijaga,” Alpi yang pernah sebagai saksi ahli dalam kasus Stadion Kanjuruhan Malang Jawa Timur.
Ditambahkan, fakta yang tidak bisa dipungkiri, hasil survei Litbang Kompas dan Ipsos Global Trustworthiness Index bahwa kepuasaan dan kepercayaan masyarkat terhadap Polri cukup tinggi (di atas 60% sampai 80%) sebelum Pileg dan Pilpres 2024 dengan pasangan Prabowo-Gibran yang diusung partai Gerinda, pasangan Ganjar-Mahfud MD yang diusung parta PDIP dan pasangan Anis-Muhaimin yang diusung partai Nasdem.
Namun pasca Pileg dan Pilpres 2024 dengan mendasar pada tragedi di akhir Agustus atas adanya demostrasi damai yang mengkritik naiknya tunjangan anggota DPR RI yang telah disetujui oleh presiden.
Demostrasi damai dimaksud dinodai oleh pihak-pihak yang tindak bertanggungjawaban dengan melakukan perbuatan menganggu ketertiban umum bahkan melakukan perusakan fasilitas umum yang mengharuskan Polri dalam menjalankan amanah untuk memelihara Kamtibmas dan Kamdagri melalui tindakan kepolisian.
“Namun Polri dijadikan sasaran oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dengan melakukan penyerangan dan perusakan fasilitas kepolisian bahkan muncul keinginan untuk mereformasi Polri. Hal ini tentunya tidak memiliki korelasi antara variabel yang saling mempengaruhi untuk membuat kesimpulan perlunya dilakukan reformasi Polri berdasarkan scientific method bahkan semakin menandakan adanya upaya untuk melemahkan institusi Polri secara terstruktur dan massif melalui restruktrurisasi kelembagaan dan kewenangan Polri karena soliditas yang telah teruji di interal Polri dan satya haprabu terhadap bangsa dan negara dianggap sebagai bentuk ancaman oleh pihak-pihak tertentu,” beber Alpi.
Di samping itu, sambungnya, kedekatan Polri dengan masyarakat dan kepercayaan masyarakat terhadap Polri cukup tinggi sebagai kekuatan Polri namun dijadikan ancaman oleh pihak-pihak tertentu dengan membentuk problem framing.
“Problem framing dimaknai emosi seperti antusiasme, kemarahan, dan ketakutan digunakan secara sengaja oleh aktor politik dan kelompok advokasi untuk membingkai masalah publik tertentu menarik perhatian, dan memobilisasi dukungan untuk atau menentang suatu kebijakan. Di sisi lainnya adanya policy bubbles,” katanya.
Beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Moshe Maor, menggunakan peran emosi untuk menjelaskan ‘gelembung kebijakan’, di mana terjadi reaksi berlebihan atau kurang terhadap suatu masalah yang didorong oleh emosi publik yang intens, seperti ketakutan atau kemarahan, yang menyebabkan investasi kebijakan yang tidak proporsional.
“Sedangkan rasionalitas terbatas (bounded rationality) yang dikemukakan oleh Herbert Simon, yang mengakui bahwa keputusan dipengaruhi oleh faktor kognitif dan afektif, termasuk emosi, dan bukan semata oleh analisis rasional murni,” katanya.(id04)











