MEDAN (Waspada): Minggu cerah usai olahraga sepeda pagi, tiba-tiba menjadi gelap gulita pada pemandangan Raja Hasibuan (42). Ia yang seketika merasakan nyeri di dada, sulit bernafas dan banjir keringat harus dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Tibanya di Instalasi Gawat Darurat (IGD), laki-laki yang sehari-hari berdagang pakaian di Pasar Tradisional di Kota Medan ini, langsung diberikan oksigen dan infus oleh perawat. Namun dari hasil kordinasi dokter IGD/dokter jaga dengan dokter spesialis jantung yang memang hari itu tidak berada di rumah sakit, dinyatakan Raja Hasibuan terkena serangan jantung dengan denyut jantung 40-50 detak permenit, sehingga harus segera dilakukan pemasangan ring jantung di rumah sakit besar.
“Tidak pernah terbayangkan kalau saya terkena serangan jantung. Karena selama ini tidak ada riwayat penyakit jantung. Saat masuk IGD itu tensi darah saya rendah, kadar gula normal, tapi kolestrol jahat (LDL) mencapai 175 mg/dL,” ujarnya kepada Waspada, Senin (19/5/2025) ditemui di Rumah Sakit Murni Teguh saat antri kontrol jantung.
Saat disarankan pemasangan ring, diakui Raja Hasibuan, ia dan istri menolak karena masih berharap dapat segera sembuh dengan konsumsi obat-obatan saja. Namun, oleh dokter spesialis jantung dinyatakan bahwa hasil Elektrokardiogram (EKG), denyut jantung nya hanya 40-50 denyut per menit atau telah terjadi penyumbatan jantung.
Dengan mendapat penjelasan panjang dari dokter, akhirnya pemasangan ring dilakukan dan diketahui bahwa terjadi dua penyumbatan yakni pada jantung kiri dan kanan. “Selain kolestrol jahat, rokok juga menjadi faktor utama saya mendapatkan serangan jantung ini,” katanya.
Untuk perawatan, pemasangan ring jantung dan kontrol kesehatan termasuk obat-obatan, diakui Raja Hasibuan, warga Jalan Cempaka Kelurahan Tanjung Gusta Kecamatan Medan Helvetia ini, semuanya gratis atau tanpa biaya sepeserpun karena ia menggunakan BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Meski ia hanya memiliki asuransi kesehatan kelas 3, namun tetap mendapatkan tindakan medis dari dokter dengan maksimal.
“Selama di rumah sakit, saya mendapatkan perawatan dan ruangan (High Care Unit) sama dengan pasien umum dan asuransi kesehatan lainnya. Usai dipasang ring jantung, saya berada di kamar perawatan kelas 3 sesuai asuransi kesehatan yang saya miliki. Semua pelayanan diberikan sangat baik, termasuk pemeriksaan dokter,” ucapnya.
Jaminan kesehatan dari pemerintah ini secara mandiri, jelasnya baru dimilikinya sejak tahun 2018. Karena sebelumnya tercover asuransi kesehatan yang dibayarkan oleh kantor tempat istrinya bekerja. Namun, karena kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), asuransi kesehatan terhenti dan segera digantikan dengan mendaftarkan asuransi kesehatan kelas 3 yang dibiayai pemerintah.
“Alhamdulillah BPJS Kesehatan kami gratis dari pemerintah, jadi kemarin semuanya gratis termasuk kontrol dan ambil obat ini,” ucapnya penuh syukur.
Untuk kontrol kesehatan di rumah sakit pasca pemasangan ring jantung, dengan BPJS kesehatan PBI ini, diceritakan Raja Hasibuan, harus terlebih dahulu meminta surat rujukan dari Fasilitas Kesehatan (Faskes) I yakni Puskesmas. Setelah diperiksa oleh dokter puskesmas, rujukan ke rumah sakit terdekat yang memiliki dokter spesialis jantung dikeluarkan melalui aplikasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Rujukan Faskes I berlaku selama tiga bulan.
Setelah di rumah sakit, lanjutnya ia harus mendaftar dibagian perawatan jantung. Dengan ramainya pasien yang mendaftar untuk kontrol, harus datang ke rumah sakit dari pukul 08.00 wib pagi. Setelah mendapatkan nomor registrasi, harus menunggu lagi kedatangan dokter dan antri mendapatkan konsultasi/pemeriksaan dokter.
“Bisa setengah hari kita di rumah sakit lah. Habis dari pemeriksaan dokter, kita ke bagian farmasi nya untuk mendapatkan obat sesuai resep dokter. Kemarin saya dapat obat untuk satu bulan dan dijadwalkan kontrol lagi bulan depan,” imbuhnya.
Terpisah anggota DPRD Kota Medan, Afif Abdillah, SE, menyatakan, pelayanan pasien BPJS Kesehatan PBI di rumah sakit sudah sangat baik. Meski untuk ketersediaan kamar perawatan kelas 3 ini sering tidak tersedia karena penuh oleh pasien yang dirawat.
“Jadi memang tidak ada alasan bagi rumah sakit untuk menolak pasien PBI. Karena semua pembiayaannya dibayar pemerintah ke rumah sakit. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 56 Tahun 2012, juga menyatakan bahwa rumah sakit swasta wajib memiliki minimal 20% tempat tidur untuk pasien kelas 3. Syarat ini merupakan salah satu persyaratan untuk mendapatkan surat izin operasional rumah sakit,” jelas Ketua Fraksi Nasdem DPRD Kota Medan ini.
Menurut Afif Abdillah, anggota Komisi II DPRD Kota Medan ini, selain BPJS Kesehatan PBI, Pemerintah Kota (Pemko) Medan juga telah memiliki program Universal Health Coverage (UHC) yakni bisa berobat gratis bagi warga tidak mampu dengan bermodal Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kota Medan dan Kartu Keluarga (KK).
“Program UHC yang sekarang ini harus diperbaiki yakni dengan UHC premium. Yakni harus ada jaminan tersedianya kamar perawatan. Jangan ada lagi alasan ruangan kelas 3 penuh. Kalau rumah sakit ketahuan berbohong, maka bisa dikenakan sanksi teguran hingga mencabut izin operasionalnya,” tegas Afif.
Dijelaskannya lagi, program UHC ini adalah jawaban dari bentuk keseriusan Pemko Medan dalam menindaklanjuti UHC yang digaungkan Pemerintah Pusat. Pada tahun 2022, Pemko Medan telah mengejar jumlah warganya yang terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan dengan menyiapkan anggaran lebih dari Rp197,2 Miliar. Di tahun 2023, Pemko Medan menyiapkan anggaran lebih dari Rp243,1 Miliar untuk UHC. Kemudian di tahun 2024, kembali menyiapkan anggaran lebih dari Rp213,6 Miliar.
“Dan ditahun 2025 ini, anggaran sebesar Rp 250 miliar. Semua ini agar program UHC di Kota Medan bisa terus berjalan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Kota Medan. Pemko Medan dibawah kepemimpinan siapapun walikotanya harus bisa unlimited anggarannya untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya. Harus jadi skala prioritas,” pungkas Afif Abdillah. (Yuni Naibaho)