Medan

Banjir Sumatera: Birokrasi Sibuk Retorika Dan Menebar Narasi

Banjir Sumatera: Birokrasi Sibuk Retorika Dan Menebar Narasi
Farid Wajdi. Waspada.id/ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Banjir yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akhir 2025 tidak sekadar peristiwa alam, melainkan tragedi sistemik yang diperparah oleh birokrasi sibuk retorika. Demikian disampaikan Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 pada Minggu(21/12/2025).

Lanjutnya, lebih dari 25.000 rumah terendam, 315 korban jiwa tercatat, ribuan anak terputus sekolah, dan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 7,8 triliun.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Di tengah itu, pejabat berkeliling, berpose, menggelar jumpa pers, membangun narasi kesiapsiagaan, sementara bantuan dasar: air bersih, makanan, obat-obatan, terlambat atau tersasar.

UU No. 24 Tahun 2007 mewajibkan negara menetapkan status bencana nasional bila kapasitas daerah terlampaui, mengkoordinasikan lintas kementerian, dan memobilisasi sumber daya.

Nyatanya, indikator bencana terpenuhi: sungai meluap, akses jalan lumpuh, sekolah dan masjid dijadikan pengungsian. Status nasional tak diumumkan. Koordinasi tetap berdiam di meja rapat, sementara warga berjuang di genangan.

Pejabat melakukan “wisata bencana”: berfoto tersenyum, melambaikan tangan, mengunggahnya sebagai bukti empati. Di lapangan, dapur umum tertunda, relawan kewalahan, dan distribusi logistik seperti mengandalkan keberuntungan. Rakyat menjadi objek citra, bukan subjek perlindungan.

Menebar Narasi

Tragedi moral dan politik tersaji jelas. Ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal, anak-anak putus sekolah, komunikasi lumpuh, dan kerugian miliaran rupiah menguap.

Semua terulang setiap tahun: banjir tahunan yang seharusnya dicegah melalui perencanaan tata ruang, mitigasi hulu, dan penguatan sistem drainase.

Hutan gundul, alih fungsi lahan, dan pengabaian mitigasi struktural memperburuk situasi, sementara pejabat sibuk merancang narasi kesiapsiagaan.

Teknologi satelit dan data curah hujan sudah mampu memprediksi potensi bencana, namun mitigasi setengah hati: tanggul lemah, pompa air tidak cukup, peringatan dini terlambat. Negara menunggu rakyat terendam untuk membuktikan kewenangan birokrasi.

Setiap banjir menjadi pertunjukan absurd: hukum ada, protokol ada, undang-undang ada, tetapi eksekusi minim. Aparat sibuk mengulang jargon kesiapsiagaan; retorika menjadi legitimasi, bukan penyelamatan.

Banjir bukan sekadar tragedi hidrometeorologi, tetapi tragedi moral dan politik: rakyat bertahan di lumpur dan air, negara sibuk menandatangani surat keputusan dan menyiapkan pidato.

Tanpa keberanian mengambil keputusan nyata, koordinasi cepat, dan eksekusi lapangan yang tegas, pertanyaan sama selalu muncul: siapa yang benar-benar bertanggung jawab? Retorika tidak menyelamatkan nyawa; retorika hanya mengeringkan reputasi. Rakyat tetap basah kuyup, menunggu negara membuktikan fungsi konstitusionalnya, bukan sekadar menebar narasi.(id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE