MEDAN (Waspada.id): Isu ‘Blok Medan’ sebagai metafor gelap untuk jaringan korupsi yang melibatkan elit politik Medan dalam skandal suap Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Halmahera Timur, kembali hangat disorot.
Kematian Abdul Gani Kasuba (AGK) pada Maret 2025—setelah divonis 8 tahun penjara atas gratifikasi Rp38 miliar—bukanlah akhir, melainkan justru pengingat betapa rapuhnya penegakan hukum di Indonesia.
Kesaksian Suryanto Andili di sidang PN Ternate Juli 2024 menyebut “Blok Medan” sebagai kode untuk kelompok bisnis Medan yang diduga mengalirkan dana ke tokoh seperti Bobby Nasution, menantu Presiden Jokowi.
Banyak kesaksian juga menyoroti kesulitan KPK “menyentuh” Bobby dalam kasus proyek jalan Dinas PU Sumut, di mana aliran suap tampak jelas tapi bukti independen seperti dokumen kontrak atau transfer dana sering kali “hilang” dalam kabut impunitas.
Padahal salah satu tersangka kasus korupsi jalan saat OTT KPK adalah Kadis PUPR Sumut Topan Ginting, orang paling dekat sekaligus bawahan Gubernur Bobby. Lalu terdakwa pada sidang Tipikor di Medan menyebut nama Bobby. Hakim Khamazaro Waruwu juga minta hadirkan Bobby. Hingga dua terdakwa dari lima yang telah dihadirkan, Bobby belum juga dihadirkan KPK untuk dimintai keterangan.
Shohibul Anshor Siregar, dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) sekaligus Koordinator Umum ‘nBASIS menyebut, harapan untuk membuka tabir ini tetap hidup, tapi apakah itu lebih dari sekadar retorika oposisi yang lemah?
Hal itu dikatakan Shohibul menjawab Waspada.id, Senin (3/11/2025), soal sulitnya KPK memanggil Gubernur Sumut Bobby Nasution di kasus korupsi tambang nikel Blok Medan di Malut juga kasus dugaan korupsi jalan di Sumut.
Secara kritis, kata Shohibul, narasi ini mencerminkan kegagalan struktural penegakan hukum yang lebih dalam: hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.
“Pasal 44 UU KPK dan Pasal 1 angka 5 KUHAP memang memberi ruang untuk KPK menelusuri jaringan, tapi tanpa kemauan politik, itu hanyalah kertas kosong,” ucapnya.
Kematian AGK memutus rantai saksi kunci, tapi bukannya mendorong KPK menggali aliran dana via blockchain tracing atau audit forensik, malah memicu spekulasi politisasi—seolah korupsi elit adalah “urusan keluarga” yang tak boleh disentuh, ujar Shohibul.
Ia menegaskan ini bukan kebetulan; ini adalah pola sistemik di mana korupsi bukan pelanggaran, melainkan alat reproduksi kekuasaan.
Berbagai sumber pun dengan tajam mengkritik bagaimana KPK terjebak dalam jebakan “kehati-hatian” yang sebenarnya adalah bentuk perlindungan elit, di mana tuduhan terhadap Bobby—sebagai Gubernur Sumut—diredam oleh narasi “kematian AGK membunuh kasus.”
Akibatnya? Kepercayaan publik terkikis, dan sektor tambang nikel—yang menyumbang 50% ekspor Indonesia—tetap dikuasai oligarki, dengan kerusakan lingkungan di Halmahera sebagai korban bisu, ungkapnya.
Dari lensa teori kritis, kata Shohibul, fenomena ‘Blok Medan’ adalah ilustrasi klasik elite capture dalam sektor ekstraktif, di mana kelompok elit politik menangkap sumber daya negara untuk kepentingan pribadi, menciptakan siklus korupsi yang merusak tata kelola.
Seperti dianalisis dalam studi tentang korupsi batubara Indonesia, praktik ini sering berbentuk political corruption di mana pejabat negara secara sistematis menyalahgunakan wewenang untuk gratifikasi, dengan tambang sebagai “emas hitam” yang memicu konflik dan degradasi lingkungan.
Teori crony capitalism—seperti yang dikembangkan oleh Acemoglu dan Robinson dalam Why Nations Fail—menjelaskan bagaimana jaringan seperti ‘Blok Medan’ memperkuat extractive institutions, di mana akses IUP bukan merit-based, melainkan hasil suap yang mengalir ke keluarga penguasa.
Di Indonesia, ini terlihat jelas dalam kasus Freeport atau Bangka Belitung, di mana korupsi elit bukan insiden, tapi arsitektur: regulator seperti ESDM menjadi pintu gerbang bagi “state capture,” dengan KPK sebagai penjaga gawang yang sering dikunci sendiri oleh tekanan eksekutif.
“Kritik tajamnya: Jika KPK gagal membuktikan equality before the law (Pasal 69 UU KPK), maka demokrasi kita hanyalah fasad, di mana rakyat miskin dihukum atas pencurian kecil, sementara elit mencuri miliaran atas nama ‘pembangunan’. Tajam ke bawah, tumpul ke atas, ” tandas Shohibul.(id96)













