Medan

Cipayung Plus: Pimpinan DPRD Sumut Abaikan Aspirasi Publik

Cipayung Plus: Pimpinan DPRD Sumut Abaikan Aspirasi Publik
Aksi unjukrasa Cipayung Plus Sumut di gedung DPRD Sumut, hari Selasa (18/11). Waspada.id/ist
Kecil Besar
14px

# Soal Desakan Cabut Gelar Pahlawan Seoharto

MEDAN (Waspada.id): Kelompok Cipayung Plus Sumut, menilai ketidakhadiran pimpinan DPRD Sumut menerima aksi unjukrasa soal desakan mencabut gelar pahlawan yang diberikan kepada Soeharto, dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap aspirasi publik.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Hal itu dikatakan sejumlah pimpinan organisasi mahasiswa — HIMMAH, IMM, KAMMI, GMKI, dan PMII — yang tergabung dalam kelompok Cipayung Plus, di Medan, Rabu (19/11).

Mereka merespon aksi unjukrasa damai gedung dewan, hari Selasa (18/11), untuk menyuarakan tuntutan agar Presiden Prabowo Subianto mencabut gelar pahlawan yang diberikan kepada Soeharto.

Aksi yang dimulai sejak Senin siang berlangsung dengan lantang, tertib, dan penuh semangat. Namun hingga orasi berakhir, tidak satu pun unsur pimpinan DPRD Sumut hadir untuk menemui massa. 

Sikap tutup pintu ini dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap aspirasi publik, terutama generasi muda yang menginginkan keadilan sejarah ditegakkan.

Dalam aksinya, Cipayung Plus Sumut menegaskan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto merupakan langkah yang mencederai nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan perjuangan reformasi.

Menyiki

Menurut massa aksi, rekam jejak tersebut sangat bertolak belakang dengan nilai moral, keberanian, dan integritas yang seharusnya melekat pada seorang Pahlawan Nasional.

Ketidakhadiran pimpinan DPRD Sumut dianggap mempermalukan lembaga legislatif. 

Para peserta aksi menyatakan bahwa DPRD seharusnya menjadi lembaga penampung aspirasi rakyat, bukan lembaga yang bersembunyi di balik pagar dan aparat.

“DPRD ini adalah rumah rakyat, tetapi hari ini justru menutup pintu untuk rakyat,” teriak Ketua PW HIMMAH Sumut, Kamaluddin Nazuli Siregar di hadapan puluhan massa aksi.

Senada, Ketua DPD IMM Sumut Rahmat Taufiq Pardede menyampaikan aspirasi ini bukan sekadar sentimen, tetapi panggilan moral. Orde Baru adalah catatan kelam yang tidak bisa dibersihkan hanya dengan pemberian gelar.

“Kami menuntut negara berlaku adil pada sejarahnya sendiri. Hari ini, DPRD Sumut menunjukkan bahwa mereka bahkan tidak mampu berdialog dengan mahasiswa,” katanya.

Hal yang sama disuarakan Ketua KAMMI Sumut Irham Sadani Rambe,  yang menegaskan, pihaknya mengingatkan presiden bahwa kepahlawanan adalah simbol moral bangsa. 

“Tidak ada keberanian dalam mempertahankan kekuasaan dengan represi dan pelanggaran HAM. KAMMI menolak pemutihan sejarah. Kami juga mengecam sikap pasif pimpinan DPRD Sumut yang memilih diam daripada mendengar,” tegasnya.

Begitu juga Ketua GMKI Sumut Crisye Sitorus menyampaikan, di tengah upaya bangsa ini memperkuat demokrasi, pemberian gelar pahlawan kepada tokoh dengan sejarah pelanggaran HAM adalah langkah mundur. 

“GMKI menegaskan bahwa keberpihakan kepada korban dan kebenaran harus diutamakan. Absennya pimpinan DPRD hari ini menunjukkan ketidakpekaan moral lembaga ini,” teriaknya.

Hal yang sama turut diteriakkan Ketua PMII Sumut Agung Prabowo, yang mengatakan, mereka  berdiri untuk kebenaran dan kemanusiaan. 

Gelar pahlawan tidak boleh diberikan kepada sosok yang mengarahkan negara pada otoritarianisme. PMII menolak glorifikasi yang menyesatkan sejarah. 

“Dan kami sangat menyayangkan sikap DPRD Sumut yang menghindar dari tanggung jawab moral untuk mendengar aspirasi mahasiswa, ” katanya.

Aksi Cipayung Plus Sumut Selasa kemarin menegaskan bahwa generasi muda tidak akan tinggal diam ketika sejarah dikhianati. 

Mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengkaji ulang dan mencabut gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto, demi menjaga integritas sejarah bangsa dan penghormatan terhadap korban ketidakadilan masa lalu.

Para peserta aksi menyoroti kembali berbagai catatan kelam masa Orde Baru, di antaranya pelanggaran HAM berat, termasuk penculikan dan penghilangan paksa aktivis prodemokrasi, rezim otoriter yang membungkam kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan hak berpendapat.

KKN yang terstruktur dan sistemik, menyebabkan kerugian besar bagi negara dan Pembantaian massal 1965-1966 dan pelanggaran HAM di Aceh, Timor Timur, Papua, serta daerah lainnya dan represi terhadap gerakan mahasiswa, puncaknya tragedi 1998 yang merenggut nyawa mahasiswa di berbagai kampus.

Aksi para mahasiswa diterima anggota DPRD Sumut dari Fraksi Golkar, Manaek Hutasohit, yang berjanji akan menyampaikan aspirasi pendemo kepada pimpinan dewan untuk disikapi.(id06)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE