MEDAN (Waspada.id): Penggeledahan rumah mantan Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting, pada 2 Juli 2025 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan fakta mengguncang: ditemukan Rp2,8 miliar tunai serta dua pucuk senjata api.
Temuan ini tidak muncul dalam dakwaan suap yang diajukan jaksa KPK dalam persidangan perdana terdakwa Topan Ginting dan Rasuli Efendi Siregar di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (19/11/2025).
Menanggapi hal tersebut, mantan anggota Komisi Yudisial, Farid Wajdi menyebut tentunya publik bertanya, bagaimana uang miliaran rupiah dari proyek publik tidak dijadikan bagian dari dakwaan?
“Secara hukum, keputusan jaksa memiliki dasar objektif. Dalam perkara suap, temuan fisik saja, sekaya apapun, tidak cukup,” ucap Farid, Kamis (20/11/2025).
Namun, tegas Farid, jaksa harus membuktikan keterkaitan langsung antara uang dan proyek tertentu. Bukti berupa dokumen kontrak, aliran rekening, atau pengakuan tersangka diperlukan untuk memastikan uang tunai merupakan hasil suap.
“Tanpa bukti meyakinkan, menyertakan Rp2,8 miliar dalam dakwaan berisiko gugur di persidangan,” ujarnya.
Prinsip kehati-hatian hukum menuntut setiap dakwaan didukung bukti konkret agar tidak mudah digugat.
Pendekatan ini, kata Farid, menimbulkan dilema: fokus pada suap yang lebih mudah dibuktikan, misalnya komitmen fee proyek senilai puluhan juta hingga ratusan juta rupiah, memungkinkan dakwaan awal cepat diproses.
Aliran dana Rp2,8 miliar dan kepemilikan senjata menunggu penyidikan lanjutan, termasuk kemungkinan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau pelanggaran hukum senjata api.
“Strategi bertahap sah secara prosedural, tetapi meninggalkan celah persepsi publik bahwa korupsi besar tidak sepenuhnya disasar,” sebut Farid.
Kompleksitas bertambah oleh senjata api yang ditemukan. Klaim legalitas senjata sebagai milik sah Perbakin Medan menuntut kajian hukum tersendiri.
Menurut Farid, jaksa memisahkan isu ini dari dakwaan suap agar fokus tetap pada tindak pidana korupsi proyek.
Namun, publik menuntut transparansi: setiap temuan harus dijelaskan tuntas agar penegakan hukum terlihat tegas dan konsisten.
Pemeriksaan istri Topan sebagai saksi menegaskan KPK tidak mengabaikan temuan uang. Ketidakpastian publik tentang aliran Rp2,8 miliar menimbulkan risiko persepsi hukum bekerja setengah hati.
Jika aliran dana besar tidak ditindaklanjuti serius, kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistem antikorupsi bisa terkikis.
Kasus ini menjadi cermin: penegakan hukum harus tegas dan transparan, tidak hanya formalistis. Strategi dakwaan bertahap sah secara prosedural, tetapi substansi penegakan hukum harus mengejar keseluruhan fakta.
Uang miliaran dan aset lain yang mencurigakan tidak boleh dibiarkan menjadi abu dalam penyidikan. Publik menuntut kepastian: korupsi besar harus diproses sampai ke akar agar hukum tidak hanya berlaku untuk kasus kecil dan tetap melindungi integritas negara.
Kasus Topan Ginting menunjukkan penegakan hukum bukan sekadar menuntut, tetapi menegakkan kepercayaan publik.
Setiap rupiah yang diduga hasil suap harus dapat ditelusuri dan diperiksa, setiap prosedur harus transparan, dan setiap keputusan jaksa harus bisa dipertanggungjawabkan di mata hukum dan publik.
Kegagalan menangani aset mencurigakan dapat melemahkan fondasi pemberantasan korupsi di Indonesia, demikian Farid Wajdi.(id96)












