MEDAN (Waspada.id): Pengakuan Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara (Sekda Provsu), Sulaiman Harahap, bahwa pembayaran bonus atlet PON XXI Sumut–Aceh dilakukan melalui pos Belanja Tidak Terduga (BTT) secara telanjang memperlihatkan buruknya disiplin dan perencanaan anggaran Pemprov Sumut.
Hal itu ditegaskan pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda kepada Waspada.id di Medan, Minggu (14/12/2025).
Elfenda menyebut persoalan ini bukan sekadar teknis administrasi, melainkan cermin kelalaian serius dalam tata kelola keuangan daerah.
Pertama, patut dipertanyakan mengapa bonus atlet yang merupakan konsekuensi pasti dari keikutsertaan Sumatera Utara dalam ajang PON tidak dianggarkan sejak awal pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang secara fungsional bertanggung jawab, yakni Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora).
Ketidakhadiran pos anggaran ini menimbulkan dugaan serius: apakah Pemprov Sumut memang sejak awal tidak memiliki komitmen untuk membayar bonus atlet, ataukah terjadi kelalaian perencanaan yang sangat mendasar.
“Apalagi, PON telah berlangsung pada September 2024, sementara pembayaran bonus baru dilakukan pada tahun anggaran 2025. Rentang waktu yang panjang ini semakin menguatkan indikasi lemahnya niat dan keseriusan pemerintah dalam memenuhi hak atlet,” sebutnya.
Kedua, penggunaan pos Belanja Tidak Terduga untuk membayar bonus atlet secara terang-terangan bertentangan dengan prinsip disiplin anggaran dan substansi Undang-Undang Keuangan Negara.
“Bonus atlet bukanlah peristiwa yang bersifat darurat, tidak terduga, atau di luar perhitungan. Sebaliknya, bonus tersebut adalah kewajiban yang dapat dan seharusnya direncanakan,” tegasnya.
Undang-undang secara jelas mengamanatkan bahwa BTT diperuntukkan bagi kondisi luar biasa, seperti bencana alam, kerusuhan, atau keadaan darurat fiskal daerah.
“Menempatkan bonus atlet dalam pos BTT merupakan penyimpangan logika anggaran dan pelecehan terhadap tujuan awal pembentukan pos tersebut,” jelasnya.
Ketiga, membelanjakan anggaran untuk kegiatan yang tidak tercantum dalam APBD adalah pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam kerangka hukum ini, setiap pengeluaran negara harus didahului oleh penganggaran yang sah. Fakta bahwa bonus atlet tidak dianggarkan pada OPD terkait, namun justru dibayarkan melalui BTT, menegaskan adanya kelalaian struktural dan kegagalan total dalam perencanaan anggaran Pemprov Sumut.
Persoalan ini mencuat dari pernyataan Gubernur Sumatera Utara ketika menjawab pertanyaan publik terkait pemangkasan drastis anggaran BTT dari Rp843 miliar pada masa Pj Gubernur Fatoni menjadi hanya Rp98 miliar pada masa kepemimpinan Bobby Nasution.
Alih-alih memberikan penjelasan yang transparan dan akuntabel atas kebijakan pemangkasan tersebut—termasuk kontradiksi dengan Pergub Nomor 7 Tahun 2025 yang justru mencantumkan BTT sebesar Rp843 miliar—Gubernur malah membuka persoalan baru dengan pengakuan bahwa bonus atlet dibayar dari pos BTT.
Elfenda pun menyebut situasi ini memperlihatkan betapa pengelolaan uang publik dilakukan secara tidak transparan dan cenderung serampangan.
“Dalih Sekda yang menyatakan bahwa penggunaan BTT dibenarkan berdasarkan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 merupakan bentuk defensive politics untuk menutupi kegagalan perencanaan anggaran,” ujarnya.
Elfenda menegaskan Permendagri tersebut tidak pernah dimaksudkan untuk mengubah pos bencana menjadi anggaran cadangan serbaguna yang bisa digunakan sesuka hati.
“Yang sesungguhnya terjadi adalah penyalahgunaan tafsir regulasi sebuah praktik klasik ketika pemerintah terdesak dan tidak mampu lagi mempertanggungjawabkan kebijakan anggarannya secara jujur,” ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, Pemprov Sumut wajib membuka secara terang kepada publik: siapa yang bertanggung jawab atas kelalaian ini, bagaimana mekanisme pengambilan keputusannya, dan mengapa hak atlet harus dibayar dengan cara yang melanggar prinsip dasar tata kelola keuangan negara.(id96)











