Medan

DBH Dibayar Dengan Pajak Rokok, Bukti Tata Kelola Keuangan Pemprov Sumut Hancur

DBH Dibayar Dengan Pajak Rokok, Bukti Tata Kelola Keuangan Pemprov Sumut Hancur
Pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda. Waspada.id/Ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Pernyataan Kepala BPKAD, Timur Tumanggor yang menyebut bahwa utang DBH kepada Kota Medan akan dibayar menggunakan dana pajak rokok justru mempertegas kehancuran tata kelola keuangan di Pemprov Sumut.

“Kita mempertanyakan mengapa hak Kota Medan harus menunggu masuknya penerimaan pajak rokok?,” heran pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda, menjawab Waspada.id, Kamis (4/12/2025).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Padahal, kata Elfenda, pendapatan cukai rokok cukup jelas peruntukkannya yakni digunakan untuk tujuan, terutama untuk bidang kesehatan (mendukung jaminan kesehatan nasional dan program kesehatan masyarakat), kesejahteraan masyarakat (termasuk kesejahteraan pekerja tembakau), dan penegakan hukum.

Penggunaan ini diatur oleh peraturan seperti Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2024: Mengatur secara rinci perencanaan, penggunaan, pelaporan, dan evaluasi DBHCHT untuk mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan masyarakat, penegakan hukum, dan kesehatan.

“Pos pendapatan cukai rokok bukan penerimaan bagi hasil pajak seperti dalam ketentuan Perundang undangan. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) dipimpin Gubernur Bobby Nasution tidak memiliki kesiapan fiskal dan bahkan diduga mengalami tekanan likuiditas serius,” tandasnya.

Alih-alih meredakan kegelisahan publik, pernyataan tersebut, kata Elfenda, membuka ruang kritik mengenai transparansi, keadilan distribusi, serta ketepatan waktu kewajiban fiskal Pemprov Sumut.

Polemik pembayaran Dana Bagi Hasil (DBH) Pemprov Sumut kepada Pemerintah Kota Medan kembali mendapat sorotan publik setelah Pemprov menyatakan akan menggunakan penerimaan pajak rokok sebagai sumber pembayaran utang DBH.

Pernyataan itu juga menimbulkan pertanyaan serius terkait kepastian hukum, mekanisme akuntabilitas, dan transparansi pengelolaan keuangan daerah.

Hingga saat ini, Pemko Medan disebut baru menerima sekitar Rp10 miliar, sementara estimasi utang DBH yang belum dibayarkan mencapai hampir Rp250 miliar.

“Ketimpangan ini menimbulkan kekhawatiran mengenai keadilan distribusi anggaran dan prioritas penyaluran keuangan daerah,” ungkapnya.

Terkait hal tersebut, lanjutnya, sejumlah pihak menilai bahwa penggunaan dana pajak rokok untuk membayar DBH harus memenuhi standar akuntabilitas, antara lain:

  1. Dasar hukum dan regulasi yang jelas mengenai mekanisme pembayaran DBH, termasuk pencatatannya sebagai kewajiban resmi dalam APBD.
  2. Transparansi data realisasi DBH, mulai dari nilai yang belum dibayar, daftar penerima, hingga jadwal pembayaran.
  3. Penjelasan atas prioritas distribusi, mengingat beberapa kabupaten disebut telah menerima ratusan miliar, sedangkan Kota Medan sebagai ibu kota provinsi baru menerima sebagian kecil.
  4. Akuntabilitas fiskal, termasuk bukti sah dalam sistem akuntansi daerah atas pencairan DBH menggunakan penerimaan pajak rokok.
  5. Akuntabilitas kinerja, mengingat DBH sangat dibutuhkan Kota Medan dalam penanganan banjir di 19 kecamatan serta pemulihan pelayanan publik.

Elfenda pun menyebut ketidakjelasan mekanisme pembayaran berpotensi menimbulkan masalah dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan mengganggu opini laporan keuangan Pemprov Sumut.

“DBH adalah hak pemerintah kabupaten/kota yang sudah diatur undang-undang, sehingga penyalurannya tidak boleh ditunda atau dialihkan tanpa standar akuntabilitas yang ketat,” tandasnya.

Dengan demikian, Elfenda berharap langkah pembayaran DBH melalui pajak rokok harus disertai keterbukaan penuh dan penjelasan yang komprehensif kepada publik untuk memastikan bahwa tata kelola keuangan daerah tetap berjalan sesuai prinsip transparansi, proporsionalitas, dan keadilan.

Timur menyebut utang DBH “tidak sampai Rp250 miliar”, namun Ketua DPW NasDem Sumut menyampaikan bahwa informasi yang diterima menyebut jumlahnya mendekati Rp250 miliar. Jika benar ada selisih besar antara klaim pemerintah dan informasi lain, publik berhak mempertanyakan:

• Berapa sebenarnya angka resmi utang DBH yang belum dibayar ke Medan?

• Mengapa sampai hari ini tidak ada publikasi data DBH per daerah secara terbuka?

Ketidaksinkronan ini mengesankan bahwa Pemprov Sumut tidak siap membuka data, atau memilih narasi politis alih-alih kepastian angka.

Jika utang DBH baru bisa dibayar setelah masuk transfer pajak rokok, maka muncul dugaan bahwa:

• Pemprov Sumut mengalami tekanan likuiditas,

• atau bahkan menggunakan DBH daerah lain untuk menutup pos anggaran lain.

Padahal DBH adalah hak daerah, bukan insentif yang bisa ditunda sesuka hati. Keterlambatan seperti ini berpotensi melanggar prinsip pengelolaan keuangan daerah.

Informasi bahwa ada kabupaten lain menerima pembayaran hingga ratusan miliar sementara Medan hanya menerima Rp10 miliar, menegaskan adanya:

• ketidakadilan dalam hal distribusi,

• ketidakjelasan skema prioritas, seenaknnya menggunakan hak kabupaten kota untuk kepentingan pemprovsu.

• serta dugaan adanya faktor politis dalam pembagian DBH.

Medan sebagai ibukota provinsi, pusat layanan publik, dan wilayah paling terdampak banjir justru mendapat alokasi paling kecil.

Jika benar demikian, Pemprov Sumut perlu menjelaskan dasar alokasinya secara objektif bukan berdasarkan kedekatan politik atau narasi timpang lainnya.

Elfenda menegaskan DBH bukan sekadar angka. Keterlambatan hampir Rp250 miliar berdampak nyata:

• pengendalian banjir 19 kecamatan terganggu,

• kegiatan pembangunan daerah mandek,

• pelayanan masyarakat tersendat dan berdampak buruk sektor pelayanan publik

• dan Pemko kesulitan menggerakkan ekonomi pasca-bencana.

Dalam konteks bencana, sebut Elfenda, menunda DBH sama saja menghambat pemulihan warga.

Polemik DBH ini bukan sekadar administrasi biasa. Ia menyangkut: hak fiskal daerah, keadilan pembangunan, penanganan banjir dan bencana, serta integritas pengelolaan keuangan Pemprov Sumut.

Pemprov Sumut harus menjelaskan secara terbuka kepada publik terkait:

  1. berapa total utang DBH yang belum dibayar ke seluruh daerah, termasuk Medan,
  2. apa dasar prioritas pembayarannya,
  3. mengapa Medan hanya menerima Rp10 miliar,
  4. Pemprov harus jujur dalam menghadapi masalah kas daerah.

“Tanpa transparansi, publik wajar menilai bahwa Pemprov Sumut sedang bermain narasi untuk menutupi kelemahan tata kelola keuangan daerah,” demikian Elfenda Ananda.(id96)


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE