MEDAN (Waspada.id): Peristiwa Bencana Banjir di Kabupaten Langkat, menunjukkan “wajah suram” Grand Desain Penanggulangan Bencana di Kabupaten Langkat yang begitu buruk dan sangat jauh dari keharussan yang diamanatkan UU N0 27 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Menurut Ketua Umum Forum Masyarakat Sipil Sumatera Utara (FORMASSU) Ariffani SH.MH dan Sekretaris Umum Rafdinal MAP, pada Kamis(4/12/2025), penanggulangan bencana di Kabupaten Langkat dengan berat hati harus kita katakan gagal total, dan kegagalan ini menjadi Bencana Kemanusiaan terparah sepanjang sejarah di Langkat.
“Yakinlah jika ditanya 100 orang masyarakat yang terdampak bencana banjir ini, hampir dapat dipastikan semua mengeluhkan respon pemerintah,”ujar Ariffani.
Lanjutnya, tapi kami tidak setuju jika kegagalan ini hanya ditimpakan pada BPBD Langkat, sebagaimana kritikan banyak orang, melainkan kegagalan penanggulangan bencana banjir ini bisa dikatakan kegagalan Pemerintah Kabupaten Langkat secara keseluruhan.
“Dari situasi ini kita akhirnya bisa membuktikan buruknya Grand Desain Tanggap Bencana selama ini di Langkat,” kata Ariffani selaku Ketua Umum FORMASSU.
Hal lain disampaikan, kita sangat prihatain dan menyayangkan hal ini, beberapa waktu lalu, kami sudah sampaikan indicator bukti kegagalan tersebut, pertama nyaris tak terdengar ada berita bahwa Pemkab Langkat melaksanakan Rapat Koordinasi Daerah baik itu Muspimda yang secara khusus membahas bagaiaman menghadapi bencana banjir ini, padahal BMKG sudah mewarning tentang adanya Siklon Trofis yang akan menerpa Sumatera Utara. Pemerintah Kab Langkat, berleha –leha dan menganggab peringatan tersebut hanya peringatan tentang banir yang biasa saja.
Diawal, Pemkab Langkat mengatakan bahwa tidak ada pengungsian, tapi akhirnya kemudian matanya terbelalak, melihat hampir seluruh wilayah Kab Langkat terendam banjir. Karena terkejut, dugaan kita Pemkab bingung mau melakukan apa, sehingga warga menilai respons pemerintah daerah terkesan lamban, tidak terkoordinasi, serta minim upaya antisipatif.
“Sebagai contoh, kampong saya Paya Prupuk, hampir 3 hari banjir tidak mendapatkan bantuan baik itu sembako, dan mengevakuasi warga terdampak banjir. Kampung itu jadi terisolir tidak ada Listrik, komunikasi terputus,”jelas Ariffani.
Lanjutnya, dari data dan informasi yang kami himpun di lapangan menunjukkan bahwa, masalah ini diakibatkan banyak hal, pertama tidak ada sistem peringatan dini (Early Warning System) yang efektif. Masyarakat tidak memperoleh informasi dini mengenai potensi banjir, padahal intensitas hujan tinggi dan kondisi sungai sudah jelas mengkhawatirkan. Ketiadaan early warning system membuat warga tidak memiliki cukup waktu untuk menyelamatkan diri dan barang-barang penting,
Kedua, kehadiran pemerintah di lapangan bukan hanya terlambat tetapi juga tidak responshif. Banyak warga yang melaporkan bahwa bantuan logistik, evakuasi, dan pendataan korban datang setelah kondisi sudah memburuk.
Dalam keadaan darurat, keterlambatan beberapa jam saja bisa berakibat fatal. Sampai akhirnya terjadi penjarahan 2 (dua) Gerai Alfamart dan Indomaret di Tanjung Pura, itu manisfestasi ketakutan masyarakat yang sudah lapar dan tidak tau harus bagaimana mencari makanan lag, kata Ariffani yang juga putra asli Langkat ini.
FORMASSU juga melihat bahwa kesiapsiagaan dan koordinasi antar instansi OPD Pemkab Langkat sangat lemah, BPBD, dinas terkait, aparat kecamatan, dan perangkat desa tampak berjalan sendiri-sendiri. Tak terlihat adanya satu pusat komando yang jelas dalam menangani situasi, padahal itu merupakan standar penanggulangan bencana. Pada saat bencana, beredar nomor nomor Puskodal pengaduan, akan tetapi ketika dihubungi, jugatidak bisa tersambung.
Padahal jika kita ingat bahwa penyebab semua ini latar belakangi : selain soal alih fungsi hutan dan maraknya penebangan liar (illegal loging infrastruktur penanggulangan banjir di Langkat sangat minim sekali.
Permasalahan mendasar seperti pendangkalan sungai, buruknya drainase, serta kurangnya normalisasi aliran air sudah sering dikeluhkan warga, namun respons perbaikan sangat lambat.
Banjir berulang seharusnya sudah menjadi alarm bagi pemerintah daerah untuk melakukan tindakan permanen, bukan hanya respons sementara.
“Setahu saya, hampir 40 tahun, Sungai yang ada di Kabupaten Langkat tidak pernah dikeruk lagi, saya tahu karena saya asli lahir dan besar di Tanjung Pura,” tegas Arif.
Masyarakat membutuhkan informasi tentang rencana konkret pemerintah dalam menanggulangi bencana banjir kali ini, dan harapan kami Pemerintah melek mata dan belajar lagi dari UU Penanggulangan Bencana, agar benar-benar faham tanggungjawabnya sebagai Pemerintah pada masyarakatnya.
Kesimpulan kami, Pemerintah Kab Langkat harus bertangungjawab penuh atas bencana kemanusiaan ini, yang diperparah karena tidak jelasnya Grand Desain Program Penanggulangannya, walhasil mengakibatkan : Respon Pemerintah Terlalu Lambat dan Tidak Terkordinasi, minimnya Sistem Peringuatan Dini (early Warning System), Pengelolaan Drainase dan Sungai Burk dan nyaris tidak ada.
Anehnya Pemerintah ini lebih reaktif daripada Preventif, banjir selalu saja dianggap masalah saat terjadi bukan dicegah sejak jauh hari. Akibatnya energy dan anggaran habis hanya untuk evakuasi dan bantuan darurat-bukan penataan ruang, rehablitasi DAS atau pembangunan infrastruktur Anti-Banjir.
Apalagi kalau ditanya tentang transfaransi Anggaran dan Prioritas Pembanguan, walhasil ternyata banyak proyek pembangunan justru memperparah banjir : izin alih fungsi lahan, proyek betonisasi tana AMDAL yang serius. Selain itu coba kalau ditanya seberapa besar aspirasi dan keluhan masyarakat didengar?
“Seperti laporan masyarakat tentang banyaknya penyumbatan parit, kerusakan tanggul, atau sampah di aliran sungai, tidak ditanggapi atau soal aspirasi agar sungai mati yang ada di Tanjung Pura di keruk kembali, semuanya bak angina lalu. Terakhir, semoga situasi ini tidak berujung Gugatan Class Action dari masyarakat, yang menuntut ganti kerugian atas kerugia materiil yang dialaminya,” tutup Ariffani.(id18)












