MEDAN (Waspada): Pemerintah kota Batam harus bisa menjamin kampung tua di Rempang bisa keluar dari Hak Pengelolaan Lahan (HPL) agar tetap terjaga kelestariannya.
Hal tersebut mencuat dalam diskusi publik Fakultas Hukum Universitas Medan Area (FH UMA) bertema “Eunoia Hukum Nasional: Refleksi Hukum Atas Konflik Rempang” di kampus 1 UMA Medan Estate, Senin (30/10).
Hadir narasumber Irvan Saputra (Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan) dan Isnaini S.H, M.Hum, PhD (Dosen Fakultas Hukum UMA), Mhd. Isnur, S.H.I, M.H Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Mhd Alinafiah Matondang, SH, M.Hum ketua panitia Kalabahu, Dr Muhammad Citra Ramadhan SH.MH Dekan FH UMA, Nanang Tomi Sitorus SH.MH selaku Wakil Dekan bidang Inovasi, Kemahasiswaan dan Alumni FH UMA, Dr Shulhan Iqbal Nasution, SH, MH Dosen FH UMA sekaligus moderator. Kegiatan ini dihadiri peserta Karya Latih Bantuan Hukum (Kalabahu) ke VII LBH Medan.
Isnaini berpendapat bahwa berdasarkan keputusan Wali Kota Batam No. KPTS 105/HARI/lll/2004 tentang penetapan wilayah perkampungan tua di kota Batam, dan pemerintah kota Batam dalam rangka melindungi, melestarikan. “Ini sekaligus sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai budaya masyarakat terhadap kampung tua maka dapat diharapkan alternatif untuk pelestarian kampung tua seperti menjadikan kampung tersebut menjadi daerah cagar budaya,” katanya.
Isnaini menguraikan sejarah konflik di Rempang sejak tahun 1971 yang diinisiasi oleh BJ Habibie Batam merupakan perairan internasional yang memiliki potensi dalam perkembangan ekonomi. “Berdasarkan keputusan Presiden Soeharto dalam menerbitkan Kepres No. 41 tahun 1973 mengenai HPL yang diberikan kepada Badan Otoritas Batam bahwasanya masyarakat turun-temurun tersebut diakui sah kependudukannya oleh pemerintah namun untuk menjadi hak atas tanah (HPL) atas nama otoritas Batam harus dilakukan pendaftaran tanahnya,” tandasnya.
Sedangkan Irvan Saputra yang menyampaikan dasar yang menjadikan rempang Proyek Strategi Nasional (PSN), dalam Peraturan Menteri No. 7 tahun 2023 pada poin ke 13 yaitu program pengembangan kawasan rempang Eco-City mulai dari transisi energi, bisnis kaca, dan keruk pasir dan sebagainya. “LBH Medan mencatat ada potensi dampak investasi tidak hanya mengancam Rempang tapi juga mengancam dari pulau kecil (pasir laut, tenggelam pulau) ancaman polusi udara,dan terjadinya intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan aparat terhadap masyarakat rempang,” urainya.
Menurutnya, dalam perspektif HAM, Perspektif Negara, Perspektif Demokrasi bahwa negara mempunyai tanggung jawab atas Hak atas rasa aman dan bebas dari intimidasi, Hak untuk memperoleh keadilan,Hak untuk tempat tinggal yang layak, Hak anak (perlindungan anak), Hak atas kesehatan. “Jadi kasus Rempang dalam diskusi ini dinyatakan melanggar hak asasi manusia maka harus dibuktikan dan dicari solusi yang terbaik dengan tidak menghilangkan masyarakat adat yang ada di sana,” katanya.
Sebelumnya Mhd Alinafiah Matondang menyebutkan bahwa Kalabahu adalah suatu pelatihan hukum dimana Lembaga Bantuan Hukum Medan menjalankan mandat organisasi untuk memberikan hukum kritis kepada masyarakat luas agar masyarakat paham terhadap hukum.
Sedangkan Mhd. Isnur menyatakan ketika berbicara tentang inti keadilan, negara, dan pemerintah dalam memahami, menjamin, melindungi hak asasi manusia sesuai dengan kewajibannya. Sementara Dr Citra Ramadhan Dekan FH UMA menyampaikan dukungan dan harapan kegiatan tersebut.
Sebelum diskusi dimulai, dilakukan penandatangan kerja sama (MoA) antara FH UMA dengan LBH Medan sekaligus penyerahan plakat yang saling bergantian.(m05/A)
Teks;
Foto bersama peserta diskusi publik Fakultas Hukum UMA.
Waspada/ist.











