MEDAN (Waspada.id): Pengadilan Negeri (PN) Medan menjatuhkan hukuman 4 tahun kepada Lie Yung Ai dalam kasus pemalsuan surat. Putusan itu pun dianggap tidak adil, apalagi dalam kasus ini, vonis Lie Yung Ai lebih tinggi dari pelaku utama yakni Sonny Wicaksono yang divonis hanya 6 bulan.
Vonis terhadap Lie dibacakan hakim pengadilan PN Medan, Hendra Hutabarat, Kamis (30/10).
“Menyatakan terdakwa Lie Yung Ai terbukti secara sah dan meyakinkan turut serta bersama sama pemalsuan surat autentik yang digunakan sebagai alat bukti dan menimbulkan kerugian pihak lain,” kata hakim.
Ia dinilai terbukti melanggar Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Kuasa hukum terdakwa Sarma Hutajulu langsung menyampaikan keberatan, dan mengajukan banding atas vonis hakim.
Sarma bingung dengan keputusan hakim. Apalagi, Lie sebagai bendahara hanya membayarkan akta perusahaan yang diminta oleh, Sonny selaku direktur utama.
Namun dalam masalah ini, kata dia, Sonny hanya divonis ringan. Sementara notaris pembuat akta, Ade Pinem dan Herniati 1 tahun 6 bulan dan tiga tahun penjara.
“Kami menilai pengadilan sebagai tempat mencari keadilan sudah mati dan hati penegak hukum tidak ada lagi. Karena dalam pertimbangan hakim ibu Lie Yung Ai hanya membayar akte Rp10 juta, yang lain tidak ada, pertimbangan hanya itu,” kata Sarma.
“Kami sangat keberatan dengan keputusan majelis hakim dan kami akan mengajukan upaya hukum banding,” sambungnya.
Dalam kasus ini, Lie dihukum paling berat dengan pasal ikut serta. Padahal, dia hanya sebagai bendahara yang bekerja atas suruhan Sonny. Sarma menilai, keputusan hakim menginjak rasa keadilan.
“Apa yang dialami Lie Yung Ai adalah potret penegakkan hukum di Indonesia dimana yang tidak punya kuasa tidak dapat keadilan. Karena Notaris Adi Pinem dihukum 1 tahun 6 bulan. Notaris Herniwati dihukum 3 tahun penjara. Sementara Lie Yung Ai yang hanya disuruh membayarkan pembuatan akte sebagai bendahara perusahaan dihukum 4 tahun,” tegas Sarma.
Sementara itu, Lie Yung Ai merasa sangat terkejut dengan vonis hakim. Dia pun merasa sedih karena hakim tidak mempertimbangkan perannya sebagai orang yang disuruh.
“Saya sangat syok dengar putusan hakim. Kenapa saya hanya juru bayar, kasir, tidak menikmati apa pun dijatuhi hukuman 4 tahun. Sementara pembuat akte hanya 3 tahun, yang menyuruh dan menggunakan hanya 6 bulan. Padahal dia yang suruh, menggunakan data untuk kepentingan dia sebagai direktur utama. Kenapa hukuman saya paling tinggi, saya tidak mengerti, hukum apa di Indonesia ini,” katanya.
Dalam dakwaan, Adi Pinem bersama-sama Lie Yung Ai dan Karim Tano Tjandra telah memalsukan dua akta penting di Kantor Notaris Adi Pinem, Jalan Kolonel Sugiono No. 10-B, Kecamatan Medan Maimun, pada tahun 2020 lalu.
Surat diduga dipalsukan dengan membuat akta bertanggal mundur, yakni Akta No. 57 tanggal 29 Oktober 2001 dan Akta No. 58 tanggal 29 November 2001 untuk memberi legalitas palsu terhadap kepemilikan dan susunan pengurus PT Perkharin.
Proses pemalsuan surat ini bermula dari pertemuan antara Karim dan Sonny yang membahas sengketa saham PT First Mujur Plantation & Industry.
Karim lalu meminta Adi untuk membuat akta dengan mencantumkan data fiktif dan tanggal yang dimundurkan, meski akta-akta tersebut tidak memiliki dasar dokumen sah atas kepemilikan saham oleh Karim.(**)













