MEDAN (Waspada): Fundamen dasar pada proses penegakan hukum pidana yang dianut Indonesia adalah crime contral model untuk menghindari terjadinya abuse of power pada sistem peradilan pidana, antara lain Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim.
Hal ini secara tegas terkait berkerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system) di dalam Hukum Acara Pidana mengatur bahwa penyidik dalam proses penyidikan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang mengharuskan pada saat dimulainya penyidikan untuk memberitahukan dan menyampaikan kepada penuntut umum.
Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum Dosen Ketua Prodi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (foto) menegaskan, keharuskan ini juga ditegaskan kembali di dalam ratio decindendi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XII/2015, yang menyebutkan bahwa waktu paling lambat 7 hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan atau menyelesaikan SPDP sebelum disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum.
“Menurut Mahkamah kendala proses prapenuntutan yang sering ditemui adalah penyidik tidak memberikan SPDP ataupun mengembalikan berkas secara tepat waktu,” ujar Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum di Medan, Ahad (26/5).
Menurutnya, penyidik dalam lingkup tindak pidana tertentu antara lain penyidik pada institusi Kejaksaan, Penyidik pada Kepabeanan dan penyidik kehutanan tentunya dalam melakukan proses penyidik harus menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.
Disampaikan Ke Penuntut Umum
Persoalan yang muncul misalnya penyidik pada institusi Kejaksaan dalam hal pemberitahuan dimulai proses penyidikan tentunya harus disampaikan ke Penuntut Umum yang notabene-nya adalah institusi Kejaksaan itu sendiri (siapa mengontrol siapa ?).
“Dalam konteks ini harus dipisahkan kapasitas penyidik pada Kejaksaan dan kapasitas Penuntut Umum pada Kejaksaan dalam menjalankan fungsi Dominus Litis. Pemaknaan yang tidak memisahkan kapasitas ini dikhawatirkan menimbulkan dampak berupa tidak berjalannya prinsip check and balance sebagaimana dimaksud dalam crime contral model penegakan hukum pidana itu sendiri,” ujarnya.
Persolan ini juga berimplikasi timbulnya berbagai persoalan yang saat ini menjadi pembicaraan di media sosial yang menjadi viral dan kebenarannya belum terfaktakan.
Terkait Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang diikuti oleh oknum yang diduga dari personil Detasmen 88 Polri dan diamankan oleh Polisi Militer (PM) yang telah ditugaskan mengawal Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus sejak Kejaksaan Agung mengusut kasus korupsi timah senilai Rp271 triliun.
“Persepsi yang mengkait-kaitkan dengan kasus korupsi timah dengan oknum yang diamankan oleh Polisi Militer (PM) tentunya belum terfaktakan kebenarannya. Persepsi ini muncul antara lain adanya pengetahuan bahwa pengusutan kasus korupsi timah senilai Rp271 triliun tentunya apakah berkaitan dengan konteks pertahanan keamanan atau perekonomian negara yang berimplikasi pada keamanan dalam negeri,” ujar Dr Alpi.
Persepsi tersebut, lanjutnya, tentunya tidak terjadi apabila pemahaman yang terintegrasi dan berlandaskan pada rule of law dalam proses penegakan hukum pada sistem peradilan pidana yang didasarkan pada asas diferensiasi fungsional. Rule of law secara tegas menyatakan bahwa penyidik selain penyidik Kepolisian (ontologis prime mover), harus berkoordinasi dengan Korwas PPNS pada institusi Kepolisian.
“Prinsip check and balance ini secara tegas diatur oleh peraturan perundang-undangan (norm verklaring). Misalnya penyidik Kepolisian wajib mengirimkan SPDP ke Penuntut Umum dan menjalankan petunjuk dalam pemberkasan perkara yang diberikan oleh penuntut umum untuk kepentingan pembuktian sebagai bentuk fungsi Kejaksaan dalam menjalankan dominus litis.
Dalam hal Kejaksanaan melakukan tindakan penyidikan tentunya bukan sebagai penuntut umum yang menjalankan fungsi dominus litis, sehingga untuk berjalannya prinsip check and balance, maka penyidik pada Kejaksaan harus berkoordinasi dengan koordinator pengawasan penyidik sebagai pengejawatahan asas diferensiasi fungsional,” katanya.
Hal yang terpenting menurut Dr. Alpi bahwa dalam proses penegakan hukum dalam subsistem negara hukum adalah penguatan sinergitas (komunikasi, koordinasi dan kolaborasi) yang saling menguatkan antarkelembagaan dalam pencapaian menuju welfare state sebagaimana diamanahkan oleh landasan filosifis (Pancasila) dan landasan konstitusional (UUD 1945). (m05)











