MEDAN (Waspada): Pengendalian perkara berdasarkan dominus litis penuntut umum merupakan kemunduran cita-cita hukum nasional, kata Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Jumat (24/2).
Menurutnya,kewenangan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan prinsip dominus litis tidak dapat dimaknai sebagai pemisahan kewenangan melainkan pembagian kewenangan dalam bingkai integrited criminal Justice sytem dengan prime mover penyidik sebagai pintu gerbang penanganan perkara.
“Dominus litis penuntut umum yang dimaknai sebagai pemisahan kewenangan tidak selaras dengan cita-cita hukum nasional melainkan kembali pada pemberlakuan hukum acara pada zaman kolonial Belanda yakni Het Herzeiene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang sudah lama ditinggalkan sejak Tahun 1981,” terangnya.
Dikatakan, hukum nasional terkait hukum acara pidana menghendaki sistem peradilan yang terintegrasi antar institusi yang diberikan kewenangan bukan kewenangan yang satu dibawah kewenangan yang lain misalnya kewenangan penyidikan dibawah kewenangan penuntutan namun merupakan sistem yang terintegrasi.
Hal ini secara eksplisit dan implisit terkandung dalam groud norm hukum acara pidana dengan meletakkan dasar bagi penyidik dan penuntut umum dengan prinsip crime control model yang berlandaskan presemtion of guit dalam proses penanganan perkara dan prinsip due process model yang berlandaskan presemtion of inocence dalam proses pembuktian.
Dicontohkannya, dalam ketentuan hukum acara pidana bahwa penyidik diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan atau melanjutkan perkara yang ditangani dengan mengirimkan berkas perkara ke JPU sebagai bentuk kelengkapan adminsitarif penyidikan dalam proses penanganan perkara.
“Penyidik dalam mengirimkan berkas perkara tentunya telah mengkualifikasi peristiwa a quo merupakan tindak pidana dan adanya pelaku tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah ditambahkan keyakinan penyidik telah terjadinya tindak pidana dan pelakulah yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam rumusan delik sehingga sangat keliru apabila ada pandangan bahwa penuntut umum sebagai pengendali perkara dengan berpatokan pada prinsip dominus litis,” beber Dr Alpi.
Lebih lanjut dikatakan, dominus litis yang dimaknai sebagai pengendali perkara akan kembali pada zaman kolonial Belanda yang menerapkan hukum acara pidana berdasarkan HIR (Herziene Inlandsch Reglement). “Hak penuntutan berada dalam persidangan bukan berada dalam pengendalian perkara yang dikhawatirkan berimplikasi pada abouse of power dalam penanganan perkara pada bingkai sistem peradilan pidana terintegrasi apabila salah memahami penerapan konsep diferensiasi fungsional,” katanya.(m05/A)