Scroll Untuk Membaca

Medan

Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum: Kapolri Dan AS SDM Kapolri Tunjukkan Responsibilitas Terhadap Calon Bintara Korban Begal

Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum: Kapolri Dan AS SDM Kapolri Tunjukkan Responsibilitas Terhadap Calon Bintara Korban Begal
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada): Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum Dosen dan Ketua Prodi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara di Medan (foto) mengatakan Kapolri Jenderal Polisi Drs Listiyo Sigit Prabowo, MSi dan AS SDM Kapolri Irjen Pol. Prof Dr Dedi Prasetyo, MSi telah menunjukkan responsibilitas dalam calon Bintara Polri korban begal, Sabtu (18/5).

Polri Telah memberikan kuota khusus terhadap calon Bintara Polri korban begal yang melakukan perlawanan sehingga mengalami jari putus. Peristiwa terjadi saat korban akan mengikuti tahapan seleksi calon Bintara Polri. “Responsibiltas dengan memberikan kuota khusus memfaktakan bahwa organisasi Polri sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai dasar dan fundamental dari landasan filosofis dan konstitusional bangsa Indonesia,” ujar Dr Alpi.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum: Kapolri Dan AS SDM Kapolri Tunjukkan Responsibilitas Terhadap Calon Bintara Korban Begal

IKLAN

Nilai-nilai dasar ini, katanya, diimplementasikan secara langsung oleh Kapolri dan AS SDM Kapolri sebagai bentuk aktualisasi Polri PRESISI. “Ditinjau dari prinsip positivism berkaitan dengan tata aturan rekrutmen personil Polri tentunya calon Bintara Polri yang jarinya putus akibat melakukan perlawanan terhadap pembegalan tidak memenuhi syarat, namun dalam prinsip progresif tidak memenuhi syarat tentunya tidak memberikan rasa keadilan karena putusnya jari calon Bintara Polri dimaksud terjadi karena korban dari pembegalan dengan melakukan perlawanan sebagai suatu daya paksa (overmacht) dan pembelaan diri (noodwer),” tuturnya.

Dijelaskan, dalam hukum pidana terdapat beberapa ponstulat terkait daya paksa yakni: Pertama, quod alias non fuit licitum necessitas licitum facit. Artinya keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum. Kedua, in casu extremae necessitates omnia sunt communia yang berarti dalam keadaan terpaksa, tindakan yang diambil dipandang perlu. Ketiga, necessitas quod cogit defendit: keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat. Keempat, necessitas sub lege non continetur, qui aquod alias non est licitum necessitas facit licitum, artinya keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang dilarang oleh hukum, namun dilakukan dalam keadaan terpaksa maka perbuatan tersebut dianggap sah.

“Kebijakan Kapolri dan AS SDM Kapolri secara responsive calon Bintara Polri dimaksud merupakan bentuk kebijaksaan yang mengharnonisasikan prinsip tata aturan dengan rasa keadilan yang dimaknai dengan prinsip integrative dalam konsepsi Tajdid (pembaharuan). Hal inilah seharusnya dapat dijadikan contoh keteladanan kepemimpinan nasional yang menanamkan nilai dasar untuk terwujudnya Indonesia Emas,” ujar Dr Alpi.

Selanjutnya dikemukakan bahwa pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan ini pada dasarnya merupakan ujung dari suatu rangkaian proses yang panjang dari pengambil kebijakan. Proses dimaksud, melibatkan curahan kebijaksanaan yang termuat kehati-hatian dalam berpijak pada intelektualitas atau kecendikiawanan yang memadai. Proses tersebut juga melibatkan pertimbangan atau penilaian dari segala sudut pandang yang adil. Barulah kemudian sampai pada pilihan yang berkenaan dengan pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan tertentu. Kebijakan yang didasari pada kebijaksaan sering dimaknai dengan diskresi.

“Diskresi seringkali diartikan secara salah kaprah, kata diskresi cenderung direduksi maknanya dan diartikan semata-mata sebagai tindakan yang diambil. Padahal, tindakan yang diambil sebenarnya merupakan hasil atau produk dari diskresi, bukan diskresi itu sendiri.

Kesalahan ini antara lain berpangkal pada kenyataan bahwa tindakan yang diambil merupakan keluaran dari diskresi yang kasat mata sehingga dapat diobservasi secara langsung. Pada kata kemerdekaan dan otoritaslah semestinya fokus dari makna kata diskresi diarahkan. Diskresi pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak dapat terelakkan di dalam pelaksanaan tugas, walaupun di permukaan tampak bertentangan dengan rule of law,” paparnya.

Ditambahkan, sifat peraturan yang memang terbuka secara logika, membuat elemen diskresi, setidaknya yang implisit, dengan demikian tidak dapat ditolak. Perbedaan dalam memahami apa yang disebut sebagai “diskresi”, pada dasarnya bukanlah perbedaan sederhana yang bersifat dikotomis.

Ada pola perbedaan pendapat mengenai diskresi dengan “nuansa” perbedaan yang halus dan bersifat kontinum di antara pakar, praktisi dan pengamat hukum.

“Satu-satunya jalan agar gradasi perbedaan tersebut dapat dirasakan adalah dengan meninjau sekaligus meletakkan seluruh permasalahan ini di dalam konteks filsafat hukum melalui kajian paradigmatik,” katanya.(m05)

Teks

Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum Dosen dan Ketua Prodi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Waspada/ist

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE