MEDAN (Waspada.id): Realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) hingga triwulan III/2025 kembali menuai sorotan tajam.
Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, menilai Pemprovsu termasuk daerah dengan serapan anggaran rendah, dengan dana mengendap di perbankan mencapai Rp3,1 triliun.
Padahal, pemerintah pusat telah menyalurkan dana transfer ke daerah tepat waktu. Namun, pelambatan realisasi belanja APBD membuat uang daerah justru ‘tidur’ di rekening bank, alih-alih menggerakkan ekonomi rakyat.
Menanggapi hal tersebut, pengamat anggaran meminta Pemprovsu transparan atas tuduhan mengendapkan anggaran APBD Rp3.1 triliun itu.
‘’Pemprovsu harus bisa transparan terhadap tuduhan Menkeu mengendapkan duit Rp3,1 triliun itu,’’ tegas pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda kepada Waspada.id, Selasa (21/10/2025) malam.
Ini bukan yang pertama sekali diributkan Menkeu. ‘’Saat Sri Mulyani Menkeu ini juga sudah diributkan. Namun, membuktikan ini ada bagi-bagi pejabat dari bunga bank kan harus bisa dibuktikan,’’ cetus Elfenda.
Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut ini menyebut persoalan yang sulit dibuktikan karena Bank Sumut kekuasaannya ada di pemegang saham yakni pemerintah.
‘’Bisa kong kalikong mereka. Ini sama kasusnya penyerahan uang siap di bank daerah yang tidak kenal orangnya,’’ ungkapnya.
Elfenda pun menyebut, Menkeu dan Pemprovsu harus di konfrontir datanya mana yang benar. Misalnya, Menkeu menyampaikan data yang ditransfer per triwulan ke-3 misalnya sudah berapa dan berapa data serap. Lalu Pemprovsu yang mengendap di bank Rp900 miliar, apakah setelah semua belanja triwulan ke-3 dikeluarkan sisa Rp900 miliar tersebut.
‘’Kalau penyumbang inflasi dari yang Rp3,1 triliun ini tidak bisa jadi sebab jika memang tidak ada program yang direncanakan untuk belanja pengendalian inflasi. Justru Rp3,1 triliun akan jadi penyebab kalau program harusnya belanja inflasi, tapi diendapkan,’’ jelas Elfenda.
Elfenda menduga, ada selisih bunga bank yang mungkin dipergunakan kepentingan pribadi. ‘’Misalnya, bank daerah suku bunga lebih rendah. Suku bunga bank lain diluar bank daerah lebih tinggi. Maka, modelnya disimpan di bank daerah, lalu karena kepala daerah adalah pemegang saham terbesar, maka bank daerah hanya tempat transit. Jadi ada selisih antara bank daerah dan bank diluar daerah yang diambil oleh yang punya kekuasaan,’’ ungkapnya.
Namun, kata Elfenda, kasus Sumut agak beda dengan daerah lainnya. ‘’Kasus Sumut mengalami kemandekan karena pergeseran anggaran dan kasus OTT serta pemerintahan yang baru,’’ ucapnya.
‘’Kita tahu pergeseran keenam aja di bulan Mei, dan pergeseran ketujuh bulan Agustus dan pengesahan perubahan di September. Artinya banyak waktu yang terbuang dan OPD tidak pasti dalam tender dan sebagainya,’’ tandas Elfenda.
Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Sumut, Timur Tumanggor ketika dikonfirmasi Waspada.id Selasa malam, hanya menjawab singkat. ‘’Kas kita, Pemprovsu, di bank saat ini cuma Rp993 miliar saja. Tidak ada lagi uang bang,’’ ucapnya.
Sementara ketika Waspada.id meminta penjelasan sampai dengan triwulan ke-3 sudah berapa yang diterima Pemprovsu dari pusat, lalu berapa PAD, sudah berapa persen belanja, serta yang Rp993 miliar ini apakah setelah Pemprovsu menerima transfer pusat, atau digabung dengan PAD, Kepala BKAD Timur Tumanggor tak menjawab.(id96)