MEDAN (Waspada): Tingginya eskalasi kasus main hakim sendiri (eigen rechting) dalam masyarakat, misalnya begal dikeroyok, warga sita mesin judi, maupun pencopet yang dikeroyok masyarakat hingga luka-luka bahkan meninggal dunia.
Hal itu disampaikan Founder Ethics of Care Farid Wajdi (foto) Senin (31/7).
“Sesungguhnya ini merupakan cermin demoralisasi hukum yang terjadi di masyarakat. Akibat parahnya penegakan hukum di negeri tercinta ini,” ungkapnya.
Sambung dia, kemudian muncullah analogi sinisme, hukum seringkali menjadi tumpul ke atas tapi sangat tajam ke bawah! Seolah hukum hanya adil untuk rakyat jelata yang tak mampu membayar para penegak hukum.
Sebaliknya bagi rakyat yang berkantong tebal, maka dengan mudahnya membeli keadilan itu. Mencuri ayam, sendal jepit, coklat, dan pisang bisa dijerat bertahun-tahun hukuman penjara. Meskipun mereka mencuri sekadar mempertahankan hidup.
Di lain pihak, ujar Farid Wajdi, mereka yang sudah kaya. Tapi masih serakah mencuri uang negara berkali-kali lipat, hukumannya tak lebih berat. Masih bisa diakali lagi dengan aparat.
Bahkan banyak para pencuri uang negara yang sulit untuk dijerat hukum. Masih bisa berlenggang. Bebas lepas. Karena mereka punya kuasa dan mampu membeli hukum?
Demoralisasi terjadi keadaan atau situasi martabat hukum makin rendah di mata masyarakat.
Menurutnya, fungsi hukum tumpul karena perilaku diskriminatif dan koruptif petugas hukum tatkala menegakkan hukum. Masyarakat krisis kepercayaan terhadap sistem dan aparat penegak hukum, hingga muncul fenomena “arakan bugil”.
Arakan Bugil. Arakan bugil adalah praktik pengadilan jalanan. Tindakan main hakim sendiri ini merupakan upaya masyarakat untuk menciptakan opini kepada pemerintah maupun kepada masyarakat lain secara lebih luas, guna menunjukkan kekuasaannya, meskipun tindakan tersebut disadari telah melanggar hukum.
Seolah orang menjadi bebas melakukan sesuatu. Aparat pemerintah yang semakin tidak berwibawa di kalangan masyarakat. Bahkan aturan yang ada menjadi tidak berfungsi. Atau, secara ekstrim main hakim sendiri terjadi disebabkan penegakan hukum yang ‘loyo’.
“Karena itu maraknya amuk massa dengan kekerasan selama ini patut dan harus menjadi perhatian pemerintah, terutama pihak kepolisian dan penegak hukum,” sebutnya.
Bila dicermati, sambung dia, salah satu yang menyebabkan aksi kekerasan dan main hakim sendiri oleh masyarakat karena lemahnya kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat serta bentuk frustrasi masyarakat pada proses penegakan hukum selama ini.
Akibatnya anggota masyarakat tidak bisa menentukan mana yang baik atau yang buruk atau muncul abnormalitas atas hukum. Yang jelek dianggap benar, kadang yang benar dianggap jelek.
Eksesnya masyarakat yang menghakimi pencuri, pencopet atau penjambret menjadi seolah-olah merupakan tindakan yang benar. Padahal memukul hingga luka parah bahkan meninggal secara hukum dan moral tetap saja salah.
“Keberanian masyarakat untuk mengambil alih proses pengendalian sosial dalam bentuk main hakim sendiri ini, mau tidak mau dapat dinyatakan sebagai buah dari gerakan reformasi (minus hukum?) yang gagal?,” pungkas Farid Wajdi.
Sebelumnya, puluhan tokoh agama, masyarakat dengan mengandeng ibu rumah tangga dan perangkat desa beramai-ramai menggerebek salah satu rumah yang menyediakan tempat praktik perjudian, di kawasan Dusun Satu dan Dua, Desa Kota Datar, Kecamatan Hamparan Perak.
Aksi spontan yang dilakukan tokoh agama, masyarakat dan ibu rumah tangga, yang tersulut emosi, langsung mendobrak dan membubarkan paksa sejumlah pemuda yang asik bermain judi tembak ikan.(m22)
Teks foto
Founder Ethics of Care Farid Wajdi











