MEDAN (Waspada.id): Pelimpahan berkas perkara korupsi proyek jalan di Sumatera Utara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tersangka Topan Obaja Putra Ginting bukan sekadar peristiwa hukum.
Hal itu disampaikan Assoc Prof Dr Farid Wajdi, SH, MHum kepada Waspada.id di Medan, Kamis (13/11/2025).
Menurut Farid, kasus ini menyingkap kembali wajah muram bangsa yang terus digerogoti oleh penyakit lama: korupsi yang menular dari generasi ke generasi, dari meja birokrasi hingga proyek publik.
Pembangunan jalan seharusnya menjadi wujud kehadiran negara. Setiap ruas aspal adalah urat nadi ekonomi, penghubung antar wilayah, dan lambang janji kesejahteraan.
Namun, kata Farid, ketika proyek publik diperdagangkan, maknanya berubah total. Jalan bukan lagi simbol kemajuan, melainkan saksi dari kerakusan yang terorganisasi.
“Setiap meter aspal yang gagal dirampungkan karena uangnya digelapkan sama dengan jarak baru yang tercipta antara rakyat dan harapan,” ungkapnya.
Farid menyebut korupsi di sektor infrastruktur bukan hanya pencurian anggaran, tetapi penjarahan terhadap keadilan sosial.
“Uang yang seharusnya mengalir untuk kemakmuran bersama berbelok ke rekening pribadi. Rakyat dibiarkan berjalan di atas jalan berlubang, sementara segelintir pejabat melaju di atas kemewahan yang dibeli dengan uang publik,” tandasnya.
Farid mengungkapkan bahwa kerugian itu tidak sekadar finansial, tetapi moral. Kepercayaan terhadap negara tergerus, rasa hormat terhadap hukum terhapus, dan makna pelayanan publik hancur bersama integritas penyelenggara negara.
“Tragedi korupsi proyek jalan mengungkap ironi paling pahit. Infrastruktur yang mestinya menjadi perekat justru menjadi jurang pemisah antara kekuasaan dan nurani,” ucapnya.
Dalam proses pengadaan, proyek kerap berubah menjadi arena pembagian keuntungan. Anggaran disusun bukan untuk kebutuhan rakyat, melainkan untuk mengakomodasi kepentingan tertentu. “Inilah bentuk paling terang dari pengkhianatan terhadap mandat publik,” cetusnya.
Farid pun menyebut korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pembusukan nilai. Ia menghapus meritokrasi, mematikan semangat pelayanan, dan menumbuhkan generasi pejabat yang terbiasa menjadikan kekuasaan sebagai alat menumpuk harta.
“Ketika korupsi dibiarkan berulang, masyarakat perlahan kehilangan rasa percaya, aparat kehilangan rasa malu, dan hukum kehilangan daya gentarnya,” sebutnya.
Penegakan hukum memang berjalan, tetapi kerap berhenti di batas individu. Pelaku ditangkap, sistem tetap utuh. Mekanisme pengawasan masih lemah, transparansi sering dijadikan formalitas, dan moralitas publik terus terkikis.
“Pemberantasan korupsi seharusnya bukan hanya upaya menegakkan aturan, melainkan gerakan moral untuk mengembalikan makna kekuasaan sebagai amanah,” jelasnya.
Dalam konteks ini, kata Farid, majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut memikul tanggung jawab yang melampaui sekadar penerapan pasal.
“Putusan yang akan dijatuhkan bukan hanya menimbang alat bukti, tetapi juga menakar rasa keadilan publik,” ujarnya.
Untuk itu diperlukan kepekaan yang tajam, empati yang mendalam, dan keberanian moral untuk mendengar detak jantung masyarakat yang hidup di pinggir jalan rusak, menunggu hadirnya negara dalam bentuk nyata.
“Hakim dituntut meletakkan telinganya di setiap denyut kehidupan warga yang menggantungkan harapan pada keadilan yang tidak pandang bulu,” tegas anggota Komisi Yudisial periode 2015-2020 ini.
Bangsa ini tidak miskin sumber daya, tetapi kehilangan kejujuran. Korupsi menjadi tembok yang memisahkan cita-cita kemerdekaan dari kenyataan keseharian. Ia menutup peluang pemerataan, memperpanjang rantai kemiskinan, dan menjerumuskan pembangunan ke jurang kepalsuan.
“Ketika uang rakyat dirampas dari proyek jalan, yang hilang bukan sekadar angka dalam laporan anggaran, melainkan martabat sebuah bangsa,” ujarnya.
Korupsi adalah pengkhianatan paling keji terhadap kepercayaan publik. Selama kejahatan ini masih dianggap lumrah, negeri ini akan terus berjalan di atas jalan yang rusak, dibangun dengan uang rakyat, tetapi dihancurkan oleh keserakahan.
“Hanya keadilan yang tegak, yang lahir dari keberanian moral para penegak hukum, yang dapat menutup luka itu,” tutur founder Ethics of Care tersebut.(id96)












