MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, pada Selasa(25/11/2025) menyoroti fatwa pajak berkeadilan cermin retak sistem cekal.
Dipaparkannya, terbitnya fatwa soal pajak berkeadilan mengguncang ruang publik dan membuka perdebatan serius tentang arah kebijakan fiskal.
Inti pesannya sederhana namun menohok: hunian pribadi nonkomersial tak layak dipajaki berulang, sementara batas pajak penghasilan semestinya selaras kemampuan riil warga.
Seruan ini bukan romantisme religius, melainkan alarm korektif atas praktik fiskal yang cenderung menormalisasi beban pada kebutuhan primer. Pajak atas rumah tinggal yang menjadi sandaran hidup keluarga menghadirkan paradoks.
Negara memungut atas hak dasar, lalu menjustifikasi lewat dalih pembiayaan layanan publik. Logika ini timpang saat nilai objek naik akibat kebijakan tata kota, namun pendapatan penghuni stagnan. Kenaikan PBB lalu menjelma tekanan administratif, bukan instrumen keadilan.
Dalam praktik, pungutan berulang atas hunian memindahkan risiko fiskal dari negara ke warga, memperdalam jarak antara penerimaan dan kemaslahatan.
Penetapan ambang pajak penghasilan setara standar kecukupan hidup menegaskan satu hal: keadilan fiskal tak boleh memaksa warga berpenghasilan pas-pasan membayar untuk menutup defisit kepercayaan.
Pajak progresif semestinya menghukum kelebihan, bukan menggerus kebutuhan pokok. Saat batas bebas pajak ditarik terlalu rendah, negara memanen angka dari lapisan rentan, lalu memoles statistik kepatuhan sebagai keberhasilan.
Hasilnya bukan legitimasi, melainkan kecurigaan.
Respon otoritas pajak yang memilih jalur dialog patut dicatat, namun belum menyentuh akar masalah.
Memindahkan tanggung jawab ke pemerintah daerah tak menyelesaikan substansi. Desentralisasi tanpa standar keadilan berujung disparitas kebijakan, memperlemah rasa keadilan antardaerah.
Yang dibutuhkan bukan sekadar koordinasi, melainkan koreksi desain: rekalibrasi basis pajak, penghapusan pungutan atas kebutuhan primer, serta penguatan subsidi silang dari sektor produktif berdaya tinggi.
Di balik polemik ini berdiri pertanyaan paling tajam: apakah pajak masih dipersepsi sebagai kontribusi atau telah berubah menjadi komoditas kekuasaan? Ketika laporan penggunaan dana tak terasa di kehidupan sehari-hari, narasi pembangunan kehilangan kredibilitas.
Jalan rusak, layanan kesehatan tersendat, sekolah kekurangan fasilitas; semua itu menjadi bukti bisu atas jarak antara setoran dan hasil. Kepercayaan publik runtuh bukan karena anti-pajak, melainkan akibat defisit akuntabilitas. Sebab, reformasi tak boleh berhenti pada tarif.
Transparansi real-time, pelaporan berbasis hasil, serta audit independen wajib ditempatkan di jantung pengelolaan fiskal. Publik perlu melihat relasi kausal antara rupiah yang dibayar dan layanan yang diterima.
Tanpa visibilitas itu, pajak tetap terasa sebagai beban, bukan investasi kolektif. Lebih jauh, negara perlu mengakui pajak sebagai amanah sosial. Setiap rupiah mengandung hak warga atas manfaat konkret. Penegakan etik harus tegas terhadap penyalahgunaan, pemborosan, serta konflik kepentingan.
Upaya pencegahan korupsi mesti bertransformasi dari seremoni menjadi sistem: pengadaan terbuka, jejak digital transaksi, insentif bagi pelapor, sanksi progresif bagi pelanggar. Fatwa ini menyodorkan garis batas moral yang tegas.
Pajak boleh dipungut, namun hanya pada ruang yang adil, proporsional, dan berdampak nyata. Mengabaikannya berarti mengukuhkan praktik yang mengikis legitimasi negara.
Menindaklanjutinya berarti peluang memperbaiki kontrak sosial, mempertemukan kewajiban warga dan tanggung jawab penguasa pada satu titik: kesejahteraan yang terasa, bukan sekadar tercatat.(id18)











