MedanNusantara

Gugatan MAKI Ke KPK Ditolak PN Jaksel, Mantan Anggota KY Sebut Praperadilan Dikalahkan Alasan Receh

Gugatan MAKI Ke KPK Ditolak PN Jaksel, Mantan Anggota KY Sebut Praperadilan Dikalahkan Alasan Receh
Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, Farid Wajdi menyebut ditolaknya gugatan MAKI ke KPK oleh PN Jaksel, karena alasan receh.Waspada.id/Ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam gugatan MAKI melawan KPK memperlihatkan wajah lain peradilan: rapi secara administratif, namun absen secara substantif.

Hakim memilih menutup perkara di pintu awal dengan alasan kedaluwarsanya Surat Keterangan Terdaftar (SKT) MAKI, lalu menyebut perkara selesai. Hukum diperlakukan seperti loket birokrasi, lengkap berkas dilayani, kurang satu lembar ditolak, tanpa kepedulian pada apa yang sebenarnya dipersoalkan.

Hal itu ditegaskan Anggota Komisi Yudisial (KY) 2015-2020, Farid Wajdi kepada Waspada.id, Selasa (23/12/2025), menanggapi putusan hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), Budi Setiawan, yang menolak gugatan perkumpulan organisasi Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak kunjung memanggil Gubernur Sumut Bobby Nasution di kasus korupsi jalan yang melibatkan orang dekatnya, mantan Kadis PUPR Sumut Topan Obaja Putra Ginting.

‘’Praperadilan dikalahkan alasan receh,’’ tegas Farid Wajdi.

Menurut Farid, praperadilan tidak pernah dirancang sebagai ruang uji kartu administrasi organisasi masyarakat. Ia lahir sebagai mekanisme koreksi atas tindakan atau kelalaian aparat penegak hukum. ‘’Fokus utamanya selalu pada penggunaan kewenangan negara, bukan pada umur selembar surat,’’ tegasnya.

Farid pun menyebut ketika hakim menjadikan SKT sebagai poros utama putusan, fungsi praperadilan menyempit drastis, berubah dari instrumen kontrol kekuasaan menjadi pagar prosedural yang nyaman.

‘’Pendekatan ini memunculkan ironi. Gugatan MAKI mempersoalkan sikap KPK yang tidak menjalankan perintah majelis hakim Tipikor Medan, tidak menghadirkan pejabat kunci, membiarkan saksi mangkir tanpa pemanggilan paksa, serta mengaburkan status uang sitaan miliaran rupiah,’’ ungkapnya.

Farid menilai semua isu itu menyentuh jantung akuntabilitas penegakan hukum. Namun satu pun tidak disentuh. ‘’Hakim berhenti di halaman sampul, enggan membuka isi buku,’’ ucapnya.

Farid juga menegaskan bahwa legal standing diperlakukan seolah doktrin sakral yang berdiri sendiri, terlepas dari kepentingan hukum yang diperjuangkan. Padahal, dalam perkara kepentingan publik, terutama pemberantasan korupsi, kedudukan hukum tidak semestinya dipersempit menjadi urusan administratif.

Jika logika ini diteruskan, kata Farid, maka kontrol publik atas lembaga negara cukup dipatahkan dengan menghitung masa berlaku dokumen, bukan dengan menjawab substansi dugaan pelanggaran kewenangan.

Lebih jauh, Farid menyebut putusan ini memperlihatkan kecenderungan aman: menghindari substansi demi keselamatan prosedural. Tidak ada risiko intelektual, tidak ada ketegangan etik, tidak ada keberanian menilai kinerja penegak hukum. ‘’Hakim tidak salah secara teknis, namun juga tidak hadir secara moral. Hukum dijalankan, keadilan ditinggalkan,’’ urainya.

Farid menilai dalih kehati-hatian berubah menjadi tameng pembiaran. ‘’KPK, lembaga dengan kewenangan luar biasa, lolos dari pengujian bukan karena tindakannya sah, melainkan karena penggugat tersandung administrasi. Pesan yang tersisa sederhana dan berbahaya: persoalan serius dapat dielakkan selama ada celah formal,’’ ujarnya.

Farid juga menyebut bahwa prinsip rechtvinding kehilangan makna ketika hakim menolak berperan sebagai penemu hukum. Padahal, di ruang praperadilan, hakim justru dituntut aktif membaca realitas kekuasaan, bukan sekadar memeriksa stempel dan tanggal. ‘’Ketika hukum hanya dibaca secara literal, ia berhenti menjadi alat keadilan dan berubah menjadi ritual,’’ tuturnya.

Langkah MAKI membawa perkara ini ke Dewan Pengawas KPK bukan sekadar reaksi emosional, melainkan konsekuensi logis dari buntu yudisial.

‘’Putusan ini meninggalkan catatan pahit: keadilan tidak selalu kalah di ruang sidang karena argumentasi lemah, tetapi sering tumbang karena keberanian tidak digunakan. Formalisme menang, substansi dipersilakan pergi!,’’ tandasnya.

Sebelumnya, gugatan perkumpulan organisasi MAKI terhadap KPK ditolak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan alasan MAKI tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan dikarenakan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) MAKI dari Kementerian Dalam Negeri telah habis masa berlakunya.

Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Budi Setiawan menyatakan MAKI selaku pemohon tak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan praperadilan tersebut dikarenakan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kemendagri telah habis masa berlakunya.

“Mengadili, dalam eksepsi, menyatakan menerima eksepsi termohon (KPK) dalam pokok perkara. Menyatakan permohonan pemohon (MAKI) tidak dapat diterima karena Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kemendagri telah habis masa berlakunya. Selain itu membebankan biaya perkara kepada pemohon sejumlah nihil,” kata Hakim saat bacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (22/12/2025).

Keputusan itu disampaikan Hakim dengan Budi Setiawan setelah mempertimbangkan eksepsi KPK yang mempersoalkan keabsahan MAKI sebagai organisasi masyarakat.

Menanggapi itu, Koordinator MAKI, Boyamin Saiman mengatakan, Hakim Praperadilan Budi Setiawan, sedikitpun tidak menyentuh materi perkara praperadilan yakni perintah hakim Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Medan, agar menghadirkan Penjabat Sekda Provinsi Sumut Effendy Pohan dan Gubernur Sumut Bobby Nasution ke persidangan.

“Hakim mengunci dirinya pada persoalan formalitas kedudukan hukum MAKI, padahal semestinya hakim adalah penemu hukum ( recht finding ) atas bebalnya KPK tidak berani panggil Bobby Nasution,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangan tertulis, Selasa (23/12/2025).

Padahal, dalam persidangan praperadilan tersebut, ujar Boyamin, terungkap fakta, hakim meminta agar Pj Sekda Sumut dan Gubernur dihadirkan ke persidangan terkhusus membuka Peraturan Guburnur Sumut mengenai pergeseran anggaran APBD Sumut yang ditandatangani Bobby Nasution sebagai dasar pencantuman anggaran pembangunan ruas jalan Sipiongot – Batas Labuhan Batu Rp 96 miliar dan Hutaimbaru – Sipiongot, Kabupaten Padang Lawas Utara, Rp 61,8 miliar yang menjadi awal korupsi eks Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumut Topan Obaja Putra Ginting,” Kan tidak mungkin yang dihadirkan di persidangan Gubernur Jawa Barat,” ujar Boyamin.

Hakim yang memimpin Praperadilan MAKI, ujar Boyamin mengunci dirinya pada persoalan formalitas kedudukan hukum MAKI atau legal standing MAKI.

MAKI juga mempersoalkan uang Rp2,8 miliar yang disita KPK saat penggeledahan rumah Topan Ginting yang tidak dimuat dalam dakwaan jaksa KPK pada sidang perdana pembacaan dakwaan terhadap Topan Ginting, 19 November 2025.

Mestinya hakim yang memimpin Praperadilan, sambung Boyamin, menilai kinerja buruk KPK yang lemah menuntaskan perkara korupsi dalam bentuk tidak berani memanggil Bobby Nasution padahal sudah perintah pernyataan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan Khamozaro Waruewu yang menyidangkan perkara korupsi suap proyek jalan di Padang Lawas Utara, Sumut.

MAKI, ujar Boyamin akan menindaklanjuti perkara ini ke Dewan Pengawan (Dewas) KPK pada pekan ini.(id96)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE