MEDAN (Waspada.id): Guru harus proaktif stop bullying atau perundungan di sekolah. Hal itu disampaikan H Ali Nurdin MA, Kamis (20/11/2025) terkait persoalan perundungan (bullying) di sekolah akhir-akhir ini, bahkan menimbulkan korban jiwa.
“Untuk mengantisipasi kasus kasus bullying dan perundungan di sekolah maka pihak sekolah terutama guru harus benar benar proaktif, terutama pada jam jam istirahat atau ketika kelas tidak ada gurunya,” kata Ali Nurdin.
Lanjutnya, biasanya bullying itu kerap dilakukan oleh siswa di saat guru tidak berada di kelas. Terkadang kebiasaan buruk guru sudah berbunyi bel masuk, tetapi guru masih ngobrol-ngobrol di ruang guru.
Atau di saat pergantian jam pelajaran guru pada les sebelumnya sudah keluar, namun guru les pelajaran berikut terlambat masuk kelas, maka kesempatan tersebut sering menimbulkan gaduh di kelas bahkan saling mem-bully.
Tidak jarang terjadi benturan fisik atau menggunakan perlengkapan yang ada di kelas seperti penghapus, sapu, spidol, dan lain lain sebagai alat untuk mem-bully.
Kemudian yang paling sering terjadi pembullyan ketika jam istirahat. Guru berkumpul di ruang guru atau ruang BK, dan siswa bermain main di kelas akhirnya terjadi perundungan, pelecehan seks, pem-bully-an, bahkan pencurian uang, ponsel, dan lain lain.
Jadi, biasanya siswa memanfaat celah celah waktu senggang, guru tidak masuk dan pada kegiatan kegiatan eskul yang kurang diawasi. Maka sebaiknya pada jam jam istirahat tidak ada siswa yang bermain-main di kelas.
“Kalau perlu kelas dikunci oleh ketua kelas atau pengurus kelas selama jam istirahat, dan guru piket harus diberdayakan untuk menggantikan guru-guru yang berhalangan hadir, tidak sekedar memberi tugas lalu kelas tidak ada guru yang menjaga bahkan ditinggal begitu saja,” sebutnya.
Menurutnya, guru-guru juga harus memiliki loyalitas, dedikasi dan tanggung jawab atas keprofesionalitas mereka.
“Kalau tunjangan sertifikasi terlambat cair mereka ribut, komentar komentar negatif bahkan membuat berbagai konten di media sosial, tapi tugas dan tanggung jawab terkadang mereka abaikan,” ungkapnya.
Namun di sisi lain, kata Ali Nurdin, saat ini tekanan mental guru dalam proses belajar mengajar semakin berat dan kompleks.
Tingkat stres guru lebih besar, salah satu tuntutan tugas administrasi, masalah sertifikasi, masalah absensi digital, jam beban guru mengajar, banyak sekali regulasi regulasi yang dibuat katanya bertujuan meningkatkan kinerja, tetapi malah sebaliknya dan akhirnya bermuara pada menurunnya semangat dan motivasi guru.
Budaya cuek dan hanya sekedar memenuhi kewajiban beban jam mengajar saja.
Sebaiknya tata kelola dan tanggung jawab mengurus guru diserahkan saja ke pusat.
Begitu juga guru agama yang mengajar di sekolah sekolah umum lebih ribet dan repot dalam masalah administrasi dan birokrasi dalam pencairan sertifikasi, karena harus tiap bulan melapor dan mengisi data di aplikasi Siaga Pendis, mengantar berkas ke Kemenag dan ‘tetek bengek’ dokumen yang harus dibawa. (id18)












