MEDAN (Waspada.id): Diketahui, Satgas Penanganan Inflasi bentukan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Bobby Nasution melakukan intervensi harga di sejumlah pasar dengan mendistribusikan cabai merah yang didatangkan dari Pulau Jawa.
Distribusi cabai merah tersebut dilakukan di 21 titik lokasi yang tersebar di berbagai pasar dan tempat tertentu di Kota Medan, Sabtu (25/10/2025).
Satgas yang merupakan kolaborasi antara tiga BUMD Pemprovsu, yaitu PD Aneka Industri dan Jasa (AIJ), PT Dirga Surya, serta Pembangunan Prasarana Sumatera Utara (PPSU), mendistribusikan 500 kg cabai merah.
Hasilnya, harga cabai di pasar tradisional kini turun menjadi sekitar Rp35 ribu hingga Rp55 ribu per kg. “Hari ini kita intervensi harga cabai merah. Saat ini harganya Rp35 ribu per kilogram,” ujar Dirut PT. Dirga Surya, Ari Wibowo di Pasar Petisah, Sabtu (25/10/2025).
Namun hal ini berbeda jauh dengan pantauan Waspada.id pada Sabtu (25/10/2025) dan Minggu (26/10/2025), harga cabai merah masih di atas Rp60 ribu per kg.
Di Pasar tradisional Simpanglimun, harga cabai merah Rp62 ribu sampai Rp75 ribu per kg, sedangkan di Pasar Sukaramai Rp70 ribu per kg.
Perbedaan mencolok antara klaim resmi dan situasi faktual di lapangan menimbulkan pertanyaan besar di tengah publik.
‘’Apakah kebijakan intervensi tersebut benar efektif, atau sekadar langkah seremonial yang dibungkus dengan narasi keberhasilan,’’ ungkap founder Ethics of Care, Farid Wajdi kepada Waspada.id, Minggu (26/10/2025).
Farid menyebut, masalah utama terletak pada skala intervensi. Distribusi 500 kilogram cabai merah di satu titik pasar besar jelas tidak sebanding dengan kebutuhan harian yang mencapai beberapa ton.
‘’Dampaknya hanya sesaat, menurunkan harga lokal dalam waktu singkat tanpa pengaruh nyata terhadap stabilitas harga di pasar lain,’’ ucapnya.
Kebijakan semacam ini, jelas Farid, tampak seperti kosmetika ekonomi, sekadar memoles tampilan agar terlihat stabil, sementara akar persoalan seperti rantai pasok dan tata niaga pangan yang tidak efisien tetap tak tersentuh.
‘’Publik juga berhak mengkritisi pola komunikasi yang tampak lebih sibuk mengatur citra ketimbang membenahi sistem. Narasi “harga turun” tanpa data yang komprehensif hanya melahirkan apa yang disebut para ekonom sebagai inflasi naratif, stabilitas semu yang dibangun lewat wacana, bukan realitas,’’ tegas mantan Anggota Komisi Yudisial ini.
Farid pun menyebut, bila yang disoroti hanya satu-dua pasar yang kebetulan turun sesaat, lalu disebarluaskan seolah mewakili keseluruhan kondisi, maka publik sedang disuguhi manipulasi persepsi, bukan penyelesaian masalah ekonomi.
‘’Kondisi ini menegaskan pentingnya audit dan verifikasi independen terhadap setiap laporan harga dan kebijakan pangan,’’ ungkapnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Ombudsman Daerah perlu dilibatkan untuk memastikan kebenaran data serta transparansi komunikasi publik. BPS memiliki otoritas teknis untuk memverifikasi tren harga secara ilmiah, sementara Ombudsman bertugas mengawasi akuntabilitas informasi agar tidak menyesatkan masyarakat.
‘’Tanpa verifikasi semacam itu, laporan yang beredar di ruang publik mudah berubah menjadi propaganda, bukan refleksi kebenaran,’’ ujarnya.
Lebih jauh, lanjut Farid, publik berhak atas akses informasi yang jujur dan terbuka. Pemprovsu perlu membangun sistem pemantauan harga pangan berbasis data terbuka agar masyarakat dapat melihat langsung perkembangan harga di setiap pasar utama.
Di era keterbukaan informasi, menutup data atau memanipulasi persepsi hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan antara pemerintah dan publik.
‘’Yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar operasi pasar yang sporadis, melainkan reformasi tata niaga pangan yang berkeadilan, transparan, dan berpihak kepada masyarakat,’’ sebutnya.
Publik tidak menuntut harga selalu murah, tetapi menuntut kejujuran dalam informasi dan tanggung jawab dalam kebijakan.
‘’Tanpa itu, klaim “harga turun” hanya akan menjadi fatamorgana birokrasi, terlihat menenangkan, tapi rapuh ketika disentuh oleh kenyataan di pasar,’’ tandasnya.
Sebelumnya, kasus pembelian 50 ton cabai merah dari Jember, Jawa Timur, oleh Pemprovsu sebagai upaya meredam inflasi, dinilai sebagai bentuk kegagalan atau ketidaksiapan dalam manajemen distribusi, karena hampir separuh dari total cabai yang tiba di Medan itu diduga dalam kondisi jelek dan tidak layak konsumsi.
Direktur AIJ Swangro Lumbanbatu mengatakan pembelian 50 ton cabai merah dari Jawa Timur ini atas instruksi Gubernur Sumut Bobby Nasution.
“Agar harga cabai stabil. Sebab harga cabai pada pekan pertama Oktober 2025 menyentuh Rp100 ribu per kg di berbagai pasar tradisional di Medan,” kata Swangro, Minggu (26/10/2025).(id96)













