MEDAN (Waspada.id): Ketua Umum Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (Himapsi) Dian G Purba Tambak menyampaikan, ada kekeliruan penggunaan istilah tanah adat di Sihaporas Kabupaten Simalungun yang kini tengah berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Berdasarkan bukti sejarah, tanah Sihaporas merupakan kepemilikan kerajaan Damanik, satu dari 7 marga Simalungun.
Himapsi mendukung masyarakat dalam memperjuangkan hak tinggalnya di Sihaporas, namun menurut Dian penggunaan istilah masyarakat adat di Sihaporas mengaburkan sejarah atas kepemilikan tanah di Simalungun.
Selain itu, Himapsi menyampaikan dukungan penutupan TPL yang dianggap merusak ekologis dan berkonflik dengan masyarakat.
“Berdasarkan kajian ilmiah sesuai dengan rujukan naskah akademik kami menyampaikan penolakan terhadap tanah adat di Sihaporas. Tanah yang ada di Sihaporas diberikan Tuan Sidamanik ke marga Ambarita sebagai pendatang untuk bermukim dan untuk perladangan. Perlu diketahui tanah tersebut bukan hak milik melainkan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup,” kata Dian, di Medan, Selasa (7/10).
“Maka kemudian istilah masyarakat adat sangat tidak tepat, karena berdasarkan sejarah daerah tersebut merupakan wilayah Partuanon Damanik,” sambungnya.
Dian menjelaskan Simalungun memiliki 7 marga yang menempati wilayah Kabupaten Simalungun dan Kota Siantar sejak zaman kerajaan.
Kerajaan Siantar dengan Raja Damanik dan meliputi wilayah Sipolha, Marihat, Dologmarlawan, Dolokmalela, Sarbulawan, Bandar, dan Sidamanik.
Setelah kemerdekaan Indonesia kepemilikan atas tanah kemudian dikembalikan kepada negara. Setelah itu, banyak kelompok masyarakat yang kemudian bermukim di tanah Simalungun.
Adanya marga Ambarita di wilayah Simalungun, menurut Dian merupakan kelompok pendatang yang diberikan hak untuk mengelola tanah.
“Adanya klaim sepihak oleh klan lain terhadap tanah di Sihaporas di nyatakan keliru dan tidak berdasar sama sekali karena bertentangan dengan pola kepemilikan dan penguasaan lahan di Simalungun. Secara historis sesungguhnya simalungun itu memiliki tanah adat yang direpresentasikan dengan adanya 7 kerajaan di Simalungun,” kata Dian.
Dian menyampaikan, Himapsi mendukung masyarakat Sihaporas yang telah 6 generasi mendiami wilayah itu untuk mendapatkan hak mengelola lahannya.
Himapsi pun mendorong agar pemerintah melibatkan intelektual Simalungun agar dapat menyelesaikan masalah tanah di Sihaporas.
“Kami meminta Menteri ATR/PN dan Menteri Kehutanan untuk menolak adanya pendaftaran tanah adat dari Simalungun yang dilakukan oleh klan lain di luar 7 kerajaan di Simalungun. Dalam pembahasan RUU tentang tanah adat di Simalungun, khususnya di Sihaporas agar pemerintah melibatkan masyarakat etnis Simalungun,” ujar Dian.
Mengenai konflik yang tengah terjadi antara TPL dan masyarakat, Sekretaris Jenderal Himapsi Jheni Saragih mendesak penyelesaian konflik permanen dengan menutup PT TPL.
Kehadiran PT TPL dinilai merusak ekologis di kawasan hutan yang ada di Simalungun dan semakin melanggengkan eksploitasi yang tidak menguntungkan masyarakat sekitar.
“Himapsi menyerukan supaya dilakukan audit lingkungan secara menyeluruh terhadap TPL, termasuk dampak terhadap hutan lindung, sungai, Danau Toba, serta sumber air masyarakat, dan segera
menindaklanjuti hasil audit dengan pencabutan izin dan pemulihan ekologis,” kata Jheny.(id94)