MEDAN (Waspada.id): Pidato Presiden Prabowo Subianto pada peringatan HUT ke-80 TNI di Surabaya pekan ini layak dibaca bukan sebagai seremoni rutin, tetapi sebagai barometer arah reformasi pertahanan ke depan. Demikian Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, pada Minggu (5/10).
Lanjut Farid Wajdi, dalam orasinya yang tegas dan berapi-api, Prabowo menekankan dua kata kunci: introspeksi dan kewaspadaan.
Ia menyerukan agar TNI tidak terlena, terus belajar, berbenah, dan siap menghadapi ancaman baru.
Namun di balik semangat moral itu, terselip tuntutan berat dan paradoks lama yang belum terselesaikan: bagaimana membangun TNI yang modern, profesional, tetapi tetap independen dari godaan kekuasaan.
Seruan “jangan lengah” dan “terus introspeksi” sejatinya adalah refleksi atas kegelisahan lama: TNI yang besar secara struktur, tetapi kerap terbebani kultur hierarkis dan patronase yang menghambat inovasi.
Ketika Prabowo menegaskan kepemimpinan militer harus didasarkan pada kompetensi, bukan senioritas, pesan itu tampak progresif—namun juga menohok sistem internal TNI sendiri.
Di lingkungan yang selama ini menjunjung loyalitas dan urutan komando, meritokrasi sering kali berhenti di tataran wacana.
Presiden juga menyinggung tentang penguasaan teknologi baru, termasuk kecerdasan buatan (AI) dan pertahanan siber. Ini langkah penting, mengingat ancaman militer global kini lebih banyak lahir di dunia digital ketimbang di garis perbatasan.
Namun pertanyaannya: adakah peta jalan yang realistis? Modernisasi pertahanan tanpa strategi pengembangan SDM dan riset hanya akan melahirkan ketergantungan baru—membeli alutsista tanpa kemandirian teknologi.
Di sinilah letak inkonsistensi yang belum disentuh dalam pidato: transformasi butuh bukan hanya tekad, tapi kebijakan yang terukur, konsisten, dan berani menggeser anggaran dari belanja seremonial menuju investasi pengetahuan.
Lebih jauh, Prabowo menyerukan agar TNI turut menjaga kekayaan alam dan sumber daya nasional.
Secara ideal, ini bentuk patriotisme ekonomi. Tetapi dalam konteks sejarah relasi sipil-militer Indonesia, pesan itu rawan disalahartikan. Ketika TNI mulai dilibatkan kembali dalam urusan non-militer—keamanan pangan, proyek infrastruktur, hingga pengawasan sumber daya—muncul kekhawatiran akan kaburnya batas fungsi pertahanan dan fungsi sosial-ekonomi.
Reformasi 1998 telah berupaya memisahkan dua ranah itu agar militer tetap profesional. Seruan Presiden kali ini, meski dibungkus idealisme nasionalisme, berisiko membuka ruang bagi kembalinya dwifungsi dalam bentuk baru.
Menggugah
Pidato itu memang menggugah: reflektif, nasionalistis, dan sarat energi moral. Namun justru karena disampaikan oleh seorang Presiden berlatar militer, publik berhak menuntut konsistensi. Introspeksi yang ia minta dari TNI seharusnya juga menjadi refleksi bagi pemerintahannya sendiri.
Bagaimana memastikan reformasi militer tidak dikompromikan oleh kepentingan politik jangka pendek? Bagaimana menjamin promosi jabatan tidak kembali menjadi arena loyalitas personal, bukan kinerja?
Kekuatan pidato Prabowo ada pada visinya yang ingin menghidupkan kembali etos disiplin dan kehormatan prajurit. Namun kelemahannya terletak pada jarak antara ideal dan implementasi.
TNI tidak butuh lagi kata-kata besar tentang patriotisme; yang dibutuhkan adalah tata kelola yang bersih, modernisasi berbasis riset, dan pemimpin yang berani menolak kompromi terhadap profesionalisme.
Pada akhirnya, ulang tahun ke-80 TNI seharusnya bukan sekadar peringatan atas masa lalu yang heroik, tetapi momentum menatap masa depan dengan jujur.
Pidato Prabowo bisa menjadi babak baru reformasi militer—asal disertai kemauan politik untuk menegakkan meritokrasi, transparansi, dan supremasi sipil. Tanpa itu, “introspeksi” yang ia serukan hanya akan menjadi gema kosong di tengah barisan upacara. Demikian Farid Wajdi.(id18)