MEDAN (Waspada.id): Pengamat politik Shohibul Anshor Siregar menyebut, dari sudut pandang akademik, kepemimpinan Musa Rajekshah (Ijeck) di DPD Partai Golkar Sumatera Utara merepresentasikan fase stabil secara elektoral, namun rapuh secara institusional.
“Golkar memang tetap menjadi kekuatan politik dominan di Sumut selama periode tersebut, baik dalam pemilu legislatif maupun konsolidasi jaringan elite daerah,” ucap Shohibul, Jumat (19/12/2025).
Namun, kata Shohibul, stabilitas ini lebih bertumpu pada kapasitas personal, sumber daya, dan jejaring kekuasaan, bukan pada penguatan mekanisme organisasi partai yang demokratis dan transparan.
Secara teoritis, lanjutnya, partai politik modern dituntut tidak hanya kuat secara elektoral, tetapi juga sehat secara internal.
“Tetapi ini bukan gendang dan rentak tari khas Sumatera Utara, melainkan dilema Golkar nasional yang tak lebih dari sekadar mainan penting bagi kekuasaan real politik nasional,” ungkapnya.
Shohibul pun menyebut jika Airlangga saja digeser secara brutal, maka masalah Musa Rajekshah menjadi amat kecil dalam fenomena Golkar terbaru ini.
Dalam konteks Golkar kekinian, termasuk di Sumut, kata Shohibul, sentralitas kepemimpinan menunjukkan kecenderungan pemiskinan nalar pengambilan keputusan, yang dalam jangka pendek hasilnya sangat mungkin efektif, tetapi dalam jangka panjang sangat berpotensi melemahkan kaderisasi dan partisipasi internal.
“Ini membuat partai tampak solid di luar, tetapi rentan konflik di dalam,” ucapnya.
Menurut Shohibul, pergantian mendadak Ketua DPD Golkar Sumut adalah sinyal yang, secara akademik, patut dibaca sebagai gejala problem tata kelola partai, bukan semata urusan teknis organisasi.
“Dalam ilmu politik, perubahan kepemimpinan yang tiba-tiba dan minim penjelasan publik biasanya menunjukkan adanya ketegangan elite, intervensi struktural dari pusat, atau ketidakselarasan kepentingan politik komando,” tegasnya.
Namun yang mengherankan ini terjadi justru bukan pada saat menjelang momentum elektoral.
Musa Rajekshah dizolimi karena haknya dirampas untuk Pilgubsu 2024 setelah menunjukkan nilai kesuksesan elektoral.
Ijeck tak memberontak sebagaimana Akhyar di Medan yang tetap maju Pilkada meski partainya merampas haknya.
Fenomena ini menguatkan tesis bahwa Golkar, meskipun dikenal sebagai partai mapan, masih beroperasi dengan logika partai oligarkis, di mana keputusan strategis sering kali lebih ditentukan oleh kompromi elite nasional ketimbang aspirasi kader daerah.
“Jika dibiarkan, pola semacam ini dapat menimbulkan demoralisasi kader, erosi kepercayaan publik, dan melemahkan posisi Golkar di tingkat akar rumput,” ujarnya.
Penilaian Akhir
Seorang ilmuan politik akan melihat bahwa tantangan utama Golkar Sumut hari ini bukan soal figur semata, melainkan transformasi kelembagaan.
Tanpa pembenahan tata kelola internal, transparansi kepemimpinan, dan penghormatan pada mekanisme organisasi, Golkar berisiko terjebak dalam paradoks: kuat dalam kekuasaan, tetapi lemah dalam demokrasi internal, kata Shohibul.
Shohibul menceritakan sewaktu dirinya memberi ceramah pada acara pembekalan legislator Partai Golkar Sumut bulan Juli lalu, peserta dari Dairi bertanya “Golkar Sumut segera akan bermusyawarah pergantian pengurus. Siapa figur yang tepat memimpin ke depan?”
Jawaban spontan saya waktu itu: “ada kriteria khusus ukuran kinerja yang dibikin sendiri oleh Golkar Sumut dengan menyesuaikan program nasional di bawah Ijeck, di antaranya merebut Sumut 1, menggembleng sejuta kader dan memenangi pemilu. Jika prestasi yang akan dijadikan sebagai patokan, maka Ijeck tak usah disamanasibkan dengan Airlangga”.(id96)











