Scroll Untuk Membaca

Medan

Industri Kelapa Sawit Hadapi Tantangan Berat

Industri Kelapa Sawit Hadapi Tantangan Berat
Pemerhati isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, Nurhayati. Waspada/is
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada): Pemerhati isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, Nurhayati mengatakan, industri kelapa sawit menghadapi tantangan berat dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

“Di panggung internasional, kelapa sawit Indonesia tengah menghadapi tantangan berat. Regulasi EUDR (EU Deforestation Regulation) yang akan diberlakukan mulai 2025, secara eksplisit melarang masuknya produk pertanian yang berasal dari lahan deforestasi pasca-2020,” kata Nurhayati dalam keterangan tertulisnya kepada Waspada di Medan, Rabu (9/7).

Menurut Nurhayati, dengan kata lain, minyak sawit yang tidak bisa dibuktikan keterlacakan asalnya hingga ke kebun tak akan lolos ke pasar Eropa.

Sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia, Indonesia menggantungkan sebagian besar devisanya dari ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya.

“Sektor ini menyumbang lebih dari 3% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menciptakan jutaan lapangan kerja, terutama di wilayah-wilayah luar Jawa,” ujarnya.

Namun di balik kontribusi ekonominya yang signifikan, industri kelapa sawit juga menghadapi tekanan besar, baik dari dalam maupun luar negeri.

Ekspansi perkebunan sawit yang masif telah dikaitkan dengan deforestasi, degradasi lahan gambut, konflik agraria, hingga kerusakan keanekaragaman hayati. Kini, masyarakat dunia tak lagi hanya menghitung nilai ekspor sawit, tetapi juga menakar jejak ekologisnya.

Aturan seperti EUDR ini bukan satu-satunya. Standar RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), ISCC, NDPE (No Deforestation, No Peat, No Exploitation), hingga US Lacey Act yang menuntut legalitas dan keberlanjutan bahan baku, turut menekan produsen sawit agar berbenah.

Terlebih lagi, komitmen internasional terhadap Paris Agreement dan Sustainable Development Goals (SDGs) memperkuat dorongan agar industri sawit menjadi lebih hijau, adil, dan transparan.

Di tengah derasnya arus tuntutan keberlanjutan, nasib petani swadaya—yang mengelola sekitar 40% dari total kebun sawit di Indonesia—justru berada di tepi jurang ketertinggalan.

“Banyak dari mereka belum memiliki sertifikasi, minim akses terhadap teknologi ramah lingkungan, dan tak memiliki cukup informasi pasar,” katanya.

Padahal, tanpa melibatkan petani kecil dalam transformasi industri sawit, mustahil mencapai keberlanjutan sejati. Mereka bukan hanya bagian dari rantai pasok, tetapi penentu masa depan industri ini.

Oleh karena itu, pendekatan yang inklusif dan pro-rakyat sangat mendesak dilakukan agar petani swadaya tidak menjadi korban regulasi global yang semakin ketat.

Dijelaskan, tahap hulu, yaitu pembibitan hingga panen Tandan Buah Segar (TBS), adalah pondasi keberlanjutan industri sawit.

“Di sinilah pengelolaan lahan secara bertanggung jawab dimulai. Perlu ditegaskan, tidak ada ruang lagi bagi pembukaan hutan primer atau lahan gambut demi ekspansi perkebunan baru,” imbuhnya.

Perusahaan dan petani harus menerapkan prinsip konservasi, memetakan area bernilai konservasi tinggi (HCV), serta menjaga tutupan hutan sebagai bagian dari sistem agroforestri.

Teknologi budidaya juga harus ditingkatkan. Penggunaan pupuk yang tepat, manajemen hama terpadu, serta irigasi efisien akan memperkuat produktivitas tanpa merusak lingkungan.

Lebih lanjut dikatakan, pelatihan berkelanjutan bagi petani—baik plasma maupun mandiri—harus menjadi agenda utama. Pendampingan, akses ke pembiayaan hijau, dan jaminan pasar akan mendorong mereka menerapkan praktik agronomi yang lebih baik.

Peran Strategis


Tahap pengolahan, imbuh Nurhayati, yang dimulai saat TBS masuk ke pabrik, memiliki peran strategis dalam menentukan keberlanjutan rantai pasok.

Pengolahan yang efisien dari segi energi dan air menjadi kewajiban, bukan pilihan. Limbah cair sawit atau POME (Palm Oil Mill Effluent) yang dulunya menjadi momok pencemaran, kini bisa diubah menjadi sumber energi terbarukan seperti biogas.

Namun, lebih dari sekadar teknologi, isu keterlacakan menjadi sorotan utama. Produk sawit yang akan dijual ke luar negeri harus bisa ditelusuri hingga ke kebun asal.

“Di sinilah peran teknologi digital seperti geolokasi, blockchain, dan sistem pelacakan berbasis satelit sangat penting. Keterlibatan petani kecil dalam sistem ini harus difasilitasi secara adil dan tidak membebani,” katanya.

Dari sisi sosial, perusahaan pengolah harus menjunjung tinggi hak-hak pekerja. Upah layak, keselamatan kerja, serta pelarangan pekerja anak dan kerja paksa adalah indikator penting dalam penilaian ESG (Environmental, Social, and Governance). Tanpa perlindungan sosial, keberlanjutan hanya menjadi slogan.

Setelah minyak sawit menjadi bahan baku produk turunan seperti sabun, kosmetik, margarin, hingga biodiesel, pertarungan reputasi dimulai di tahap hilir. Label seperti “Sustainable Palm Oil”, sertifikasi RSPO, atau klaim NDPE harus disertai dengan transparansi data dan akuntabilitas.

Kejelasan


Masih menurut Nurhayati, konsumen global, khususnya di Eropa dan Amerika Utara, kini lebih sadar akan asal-usul produk yang mereka konsumsi. Mereka menuntut kejelasan, bukan basa-basi.

Oleh karena itu, perusahaan yang tidak mampu membuktikan keberlanjutan produknya akan tersingkir dari rak-rak toko. Ini bukan ancaman, melainkan kenyataan pasar.

Namun, tanggung jawab tak hanya ada pada produsen. Konsumen juga punya peran besar. Memilih produk dengan label berkelanjutan adalah langkah kecil yang berdampak besar. Di sinilah edukasi publik dan pelabelan yang jelas menjadi instrumen penting untuk mengubah pola konsumsi secara perlahan.

:Keberlanjutan kelapa sawit tidak bisa dibebankan pada satu pihak saja. Pemerintah berperan strategis dalam regulasi dan pengawasan. ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) sebagai skema sertifikasi nasional harus diperkuat agar setara dengan standar global. Moratorium pembukaan hutan harus dikawal secara tegas, bukan sekadar seremoni,” katanya.

Ditambahkan, LSM memiliki peran penting sebagai pengawas, pendamping, dan jembatan antara komunitas dan industri. Dunia usaha harus terus berinovasi dalam teknologi hijau dan membangun kemitraan yang setara dengan petani.

Teknologi menjadi tulang punggung transformasi, mulai dari pelacakan digital, sistem pemantauan satelit, hingga verifikasi berbasis AI.

“Kita juga tak bisa menutup mata bahwa transformasi ini membutuhkan investasi besar. Di sinilah pentingnya skema pembiayaan inovatif seperti green bonds, carbon credit, atau insentif fiskal bagi perusahaan yang memenuhi standar keberlanjutan. Tanpa dukungan keuangan, banyak pelaku kecil akan tersingkir,” katanya.

Kendati demikan, di balik tantangan global yang kian ketat, tersimpan peluang besar bagi Indonesia. Bila mampu beradaptasi dan memimpin transisi ini, industri sawit Indonesia akan menjadi acuan dunia dalam praktik agroindustri yang berkelanjutan.

“Perusahaan yang visioner, petani yang berdaya, dan pemerintah yang berpihak pada masa depan bisa menjadi katalis perubahan.” tuturnya.

Transformasi ini bukan soal “bisnis hijau” semata, tetapi masa depan ekonomi nasional. Saat pasar global hanya membuka pintu untuk produk berkelanjutan, pilihan kita tinggal dua: berbenah atau tertinggal.

Kelapa sawit berkelanjutan dari hulu ke hilir adalah keniscayaan. Ini bukan sekadar tuntutan pasar, melainkan panggilan moral untuk menjaga hutan, memberdayakan petani, dan menjamin hak pekerja. Butuh kolaborasi erat antara pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, akademisi, dan konsumen agar transformasi ini berjalan adil dan menyeluruh.

“Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, industri sawit tak hanya menjadi tulang punggung ekonomi nasional, tetapi juga simbol keberhasilan Indonesia dalam membangun masa depan hijau dan inklusif,” pungkasnya. (cpb)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE