Medan

JAMSU Sebut UU Desa Lemahkan Demokrasi Dan Timbulkan Ketimpangan Sosial

JAMSU Sebut UU Desa Lemahkan Demokrasi Dan Timbulkan Ketimpangan Sosial
JAMSU audiensi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) RI yang berlangsung pada Selasa, 21 Mei 2025. Waspada/Ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada):  Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU) menyorot tajam sejumlah pasal dalam UU No 3/2024 tentang Desa yang dinilai berpotensi melemahkan demokrasi lokal dan menimbulkan ketimpangan sosial. Karenanya, mereka mendesak dilakukan pengawasan yang ketat terhadap implementasi undang-undang yang sedang direvisi tersebut.

Hal itu disampaikan JAMSU saat beraudiensi dengan Direktur Advokasi dan Kerjasama Ditjen PDP Kemendes PDTT, Dr. Dwi Rudi H., S.Sos, M.Si., 21 Mei lalu di Jakarta.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Siaran pers yang diterima Waspada di Medan, Sabtu (7/6) menyebutkan, JAMSU yang merupakan koalisi enam lembaga masyarakat sipil BAKUMSU, Bitra Indonesia, KSPPM, YAK, PETRASA, dan YDPK menyoroti potensi dampak serius revisi UU Desa.

Sekretaris Eksekutif BAKUMSU, Juniaty Aritonang, menyebut revisi ini memuat ketentuan yang rawan disalahgunakan, khususnya soal dana konservasi dan masa jabatan kepala desa.

“Ketentuan tentang dana konservasi sangat problematik karena tidak disertai mekanisme pengawasan yang jelas. Ini berisiko menjadi alat legitimasi penguasaan wilayah, apalagi di desa-desa yang berada di kawasan konflik agraria,” ujar Juniaty.

Ia menegaskan, perpanjangan masa jabatan kepala desa hingga delapan tahun dan potensi hadirnya calon tunggal tanpa pemilihan terbuka bisa memperlemah kontrol publik dan memperbesar peluang praktik otoritarianisme di tingkat desa.

Hingga tahun 2024, setidaknya ada enam kasus korupsi dana desa di Sumatera Utara yang melibatkan kepala desa. JAMSU menilai revisi UU Desa justru memperbesar kewenangan tanpa memastikan akuntabilitas. Di wilayah-wilayah konflik seperti Simalungun, Tapanuli Utara, Toba, Deli Serdang, dan Dairi, hal ini dinilai sangat berbahaya.

JAMSU juga menuntut pengakuan lebih tegas terhadap desa adat yang selama ini terpinggirkan dalam regulasi daerah, sehingga banyak masyarakat adat tidak bisa mengakses program pembangunan dan konservasi.

Sorotan Kritis

Lesma Peranginangin dari Yayasan Ate Keleng (YAK) menyoroti potensi benturan antara program Koperasi Merah Putih yang digagas pemerintah pusat dengan koperasi komunitas yang telah lama berkembang seperti Credit Union (CU).

“Kalau program koperasi dijalankan secara top-down dan sentralistik, akan mematikan koperasi lokal yang tumbuh dari partisipasi warga. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keberlanjutan solidaritas komunitas,” tegas Lesma.

Menanggapi masukan dari JAMSU, pihak Ditjen PDP Kemendes PDTT mengakui bahwa unsur politik dalam revisi UU Desa tidak bisa dihindari. Mereka menyebut bahwa peningkatan masa jabatan kepala desa hingga delapan tahun adalah bentuk variasi kebijakan sesuai konteks lokal.

Terkait dana konservasi, Kemendes menyebut skema ini hadir sebagai kompensasi bagi desa yang berada di kawasan konservasi dan tidak dapat mengakses dana desa secara bebas. Soal Koperasi Merah Putih, pemerintah mendorong agar koperasi rakyat bergabung dalam holding usaha desa agar dapat berkembang lebih besar.

“Ada 17.000 BUMDes berbadan hukum, dan program Koperasi Merah Putih merupakan inisiatif Presiden Prabowo. Pilihannya adalah bergabung atau bersaing,” ujar Dwi Rudi.

6 Tuntutan

Dalam pertemuan tersebut, JAMSU menegaskan enam tuntutan utama, yaitu:

1. Menolak normalisasi unsur politik sebagai pembenar dalam revisi UU Desa.

2. Mendorong dialog terbuka soal masa jabatan kepala desa dan sistem calon tunggal.

3. Memperkuat pengawasan dana desa dengan melibatkan masyarakat dan akademisi.

4. Melibatkan masyarakat sipil dalam peraturan turunan dana konservasi dan menjamin keadilan ekologis.

5. Memperkuat peran BPD agar sinergis dengan kepala desa, bukan konfrontatif.

6. Mengintegrasikan koperasi rakyat dalam program Koperasi Merah Putih secara sukarela dan menghormati inisiatif lokal.

JAMSU menegaskan pentingnya membangun kebijakan desa yang benar-benar berpihak kepada rakyat, memperkuat demokrasi partisipatif, serta menjunjung prinsip keadilan sosial.

“Kami ingin desa menjadi subjek pembangunan, bukan hanya objek kebijakan. UU Desa harus dikawal bersama, bukan dijadikan alat politik sesaat,” pungkas Juniaty.  (cpb/rel)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE