Scroll Untuk Membaca

Medan

Jangan Jadikan Anak Kelinci Percobaan MBG

Jangan Jadikan Anak Kelinci Percobaan MBG
Farid Wajdi, Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020. Waspada.id/ist
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, menyoal “kasus keracunan hanya 0,00017 persen dari total penerima”.

“Presiden berusaha meredam kegelisahan publik atas rentetan kasus keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG),” kata Farid Wajdi pada Kamis (2/10/2025).

Disebutkan,secara matematis, pernyataan itu sahih. Dari puluhan juta porsi yang dibagikan, “hanya” ribuan yang bermasalah. Namun, bagi seorang anak yang tergeletak di IGD karena keracunan, angka itu sama sekali tidak menghibur. Statistik mungkin kecil di atas kertas, tetapi rasa sakit dan trauma tidak pernah sekecil itu di dunia nyata.

Pemerintah memilih cara mudah: menutupi tragedi dengan persentase. Angka dijadikan perisai, sementara wajah anak-anak korban luput dari sorotan. Padahal, psikolog sudah memberi peringatan keras. Trauma yang berulang membuat sebagian anak kini takut makan di sekolah, menolak makanan tertentu, bahkan stres hanya dengan mendengar kata “MBG.”

Program yang semestinya menumbuhkan keceriaan justru menanamkan rasa waswas. Ironi yang telak. Mengapa kasus ini terus berulang?

Pertama, karena program dipaksakan terlalu cepat. Dalam hitungan bulan, MBG diperluas ke jutaan penerima. Namun, infrastruktur dapur, distribusi, hingga sistem uji kualitas jelas tidak siap.

Akibatnya, standar kebersihan sering diabaikan dan kesalahan teknis mudah terjadi.

Kedua, soal anggaran. Misalnya biaya hanya Rp6.500 per porsi. Pertanyaan sederhana: makanan sehat dan aman apa yang bisa disajikan dengan dana semurah itu?

Realitasnya, penyedia ditekan untuk berhemat. Bahan baku murahan dipilih, higienitas terabaikan, dan standar gizi dikompromikan. Anak-anak pun membayar harga dari logika “murah meriah” ini.

Ketiga, lemahnya pengawasan. Ada dapur yang sudah dinyatakan bermasalah, tetapi tetap beroperasi sebelum evaluasi tuntas. Ini menunjukkan keselamatan anak diperlakukan sebagai variabel yang bisa dinegosiasikan.

Dalam logika proyek, yang penting target tercapai, sementara risiko dianggap bisa “dikelola.” Padahal, setiap sendok nasi yang masuk ke mulut anak mestinya diawasi ketat, bukan dibiarkan tergantung pada niat baik penyedia.

Keempat, tekanan politik. MBG adalah proyek mercusuar. Angka penerima menjadi trofi politik yang harus segera dipamerkan.

Akibatnya, pencapaian kuantitas lebih diutamakan ketimbang kesiapan teknis. Publik pun menangkap kesan kuat: MBG lebih mirip proyek pencitraan ketimbang program sosial yang sungguh berpihak pada anak.

Dampak dari semua itu jauh melampaui keracunan fisik. Anak-anak yang menjadi korban kini tumbuh dengan rasa tidak aman. Mereka bisa kehilangan kepercayaan kepada sekolah, kepada guru, bahkan kepada negara.

Pertanyaan sederhana yang bisa lahir dari mulut seorang bocah—“Kenapa makanan gratis bikin sakit?”—adalah pertanyaan moral yang menohok. Trauma psikologis yang tidak ditangani akan berimbas pada pola makan, gizi, kesehatan mental, bahkan prestasi akademik. Di sinilah letak uji moral negara.

Apakah penderitaan ribuan anak hanya akan dipandang sebagai “biaya kecil” dari sebuah program besar? Apakah pemerintah rela mengorbankan rasa aman anak demi klaim keberhasilan statistik?

Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut jawaban yang lebih jujur ketimbang sekadar angka persentase.

Koreksi mendasar tak bisa ditunda. Pemerintah harus berani menghentikan dapur bermasalah, melakukan audit independen yang transparan, menaikkan standar biaya agar kualitas benar-benar layak, serta menyediakan pendampingan psikologis bagi anak-anak korban.

Di atas itu semua, transparansi adalah syarat mutlak. Publik berhak tahu data korban, penyebab keracunan, dan langkah perbaikan nyata. Tanpa itu, kepercayaan yang sudah tergerus tak akan pulih.

Tujuan MBG sejatinya luhur: mengurangi kelaparan, memperbaiki gizi, menekan stunting. Tetapi tujuan mulia bisa berubah menjadi bumerang bila dieksekusi serampangan. Anak-anak bukanlah obyek proyek yang dipamerkan di panggung politik.

“Mereka adalah subjek yang harus dilindungi dengan segala daya. Negara yang benar-benar hadir bukan negara yang pandai menghitung persentase, melainkan negara yang tegas memastikan tidak ada satu pun anak yang perlu takut makan siang di sekolahnya,”pungkas Farid Wajdi.(id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE