Scroll Untuk Membaca

Medan

Jerat Hukum Di Balik Dapur MBG, Pertanggungjawaban Hukum Siapa?

Jerat Hukum Di Balik Dapur MBG, Pertanggungjawaban Hukum Siapa?
Kecil Besar
14px

MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, pada Kamis(25/9/2025) menyoroti kasus keracunan massal akibat makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mencuat dan menimbulkan luka mendalam. Dari Cipongkor hingga berbagai daerah lain, ratusan bahkan ribuan siswa terkapar usai menyantap makanan yang seharusnya menyehatkan.

Catatan pemerintah menunjukkan korban sudah menembus angka ribuan, menjadikan insiden ini bukan lagi kasus sporadis, melainkan darurat nasional yang menguji keseriusan negara dalam melindungi rakyatnya.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Pertanyaan yang mengemuka adalah: siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban hukum? Apakah hanya pengelola dapur, penyedia katering, atau juga pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas berjalannya program?

Secara hukum, pengelola dapur MBG dapat dimintai pertanggungjawaban langsung. Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 secara tegas mengatur setiap penyelenggara pangan wajib menjamin keamanan, mutu, dan gizi makanan yang diproduksi maupun disajikan.

Kegagalan memenuhi kewajiban ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan bisa menjadi tindak pidana apabila mengakibatkan orang sakit atau bahkan meninggal.

Jerat hukum pidana juga dapat diperkuat dengan Pasal 359 KUHP, yang mengancam siapa pun yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka berat atau meninggal dunia.

Dengan dasar ini, pengelola dapur maupun vendor katering dapat digugat secara pidana, perdata, sekaligus administratif.

Kelalaian Struktural

Namun, membebankan seluruh kesalahan kepada penyedia makanan jelas tidak cukup.

Fakta kasus ini terus berulang menunjukkan adanya kelalaian struktural dalam pengawasan. Pemerintah daerah, dinas terkait, hingga kementerian yang menjadi penanggung jawab program, turut memikul tanggung jawab.

Mereka lalai memastikan vendor memiliki standar kelayakan, izin edar, uji laboratorium, serta mekanisme pengawasan yang ketat. Tidak adanya sistem kontrol yang konsisten membuat tragedi serupa seakan hanya menunggu waktu untuk terjadi lagi.

Mengapa masalah ini terus berulang? Pertama, pengadaan yang cenderung mengutamakan harga dibanding kualitas membuat vendor dengan standar rendah tetap lolos. Kedua, pengawasan lapangan yang lemah: dapur tidak diverifikasi secara rutin, sampel makanan tidak diuji, dan jalur distribusi tidak dikawal dengan benar.

Ketiga, kebijakan politik yang terburu-buru—program dijalankan dalam skala raksasa tanpa uji coba memadai. Kombinasi ketiganya menjadikan MBG rawan gagal sejak awal.

Mekanisme Kompensasi

Dalam situasi seperti ini, langkah Presiden Prabowo sangat ditunggu. Ia tidak bisa hanya sekadar mengirim instruksi evaluasi, melainkan perlu tindakan nyata yang tegas.

Pertama, melakukan moratorium sementara terhadap distribusi MBG di daerah-daerah rawan hingga standar keamanan pangan benar-benar dipastikan. Kedua, membentuk tim investigasi independen yang melibatkan ahli gizi, pakar keamanan pangan, dan lembaga pengawas untuk menelusuri penyebab sistemik.

Ketiga, memastikan proses hukum berjalan transparan—pengelola dapur yang lalai harus diproses pidana, kontraktor nakal dicoret, dan pejabat yang abai diberi sanksi administratif bahkan dicopot.

Selain itu, presiden juga harus menyiapkan mekanisme kompensasi cepat bagi para korban dan keluarganya. Ratusan anak yang dirawat bukan hanya membutuhkan pertolongan medis, melainkan juga jaminan bahwa negara hadir menanggung beban.

Tanpa langkah konkret seperti ini, kepercayaan publik terhadap program unggulan pemerintah akan runtuh.

Pada akhirnya, program MBG sejatinya adalah ide baik yang berniat mengatasi masalah gizi anak bangsa.

Namun, ide baik tanpa eksekusi yang aman hanya akan menjadi bumerang. Ketika dapur yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru menjelma menjadi sumber malapetaka, hukum harus bicara.

Jerat pidana, perdata, dan administratif bukanlah pilihan, melainkan keharusan untuk menegakkan keadilan! Hanya dengan itu, negara bisa membuktikan nyawa dan kesehatan rakyat lebih berharga daripada sekadar pencitraan politik.(id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE