MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 menyoroti kasus ASN dan Non ASN di Pemprovsu pada Minggu (2/11).
Dalam pandangannya, kasus ribuan aparatur sipil negara (ASN) di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang terseret praktik judi online bukan sekadar aib personal, melainkan kegagalan struktural. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat 1.037 ASN dan tenaga honorer terindikasi melakukan transaksi judi daring senilai lebih dari Rp2,1 miliar.
Jumlah itu bukan angka kecil, kasus itu adalah sinyal kerusakan nilai yang sistemik di tubuh birokrasi.
Mereka yang seharusnya menjadi wajah pelayanan publik kini tampil sebagai potret adiksi digital. ASN yang digaji negara untuk mengabdi, justru tergoda oleh iming-iming keuntungan instan. Fenomena ini memperlihatkan satu hal: birokrasi kita tengah kehilangan cermin moralnya.
Masalah ini tak bisa dipahami sekadar sebagai pelanggaran individu. Ia tumbuh dari ekosistem birokrasi yang longgar dalam pengawasan dan miskin keteladanan. Di banyak instansi, disiplin hanya diukur dari absensi dan laporan kerja, bukan dari integritas. Ketika pimpinan tak lagi menjadi figur panutan, maka bawahan kehilangan arah moral.
Dalam lingkungan kerja yang permisif, pelanggaran kecil dibiarkan, hingga penyimpangan besar pun terasa lumrah.
Kelemahan lain ada pada penegakan disiplin yang tak tegas dan tidak konsisten. Dari ribuan nama yang disebut PPATK, sebagian besar hanya mendapat teguran tertulis.
Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin ASN jelas menyebut pelanggaran hukum, termasuk judi, dapat berujung pada pemecatan. Ketidaktegasan seperti ini bukan pembinaan, melainkan pembiaran yang berpotensi menular.
Birokrasi yang membiarkan pelanggaran tanpa konsekuensi sejatinya sedang menggali lubang kehancurannya sendiri.
Faktor ekonomi memang tak bisa diabaikan. Di tengah tekanan hidup dan stagnasi karier, sebagian ASN mencari pelampiasan cepat.
Judi online hadir sebagai pelarian yang mudah diakses, sebab cukup lewat telepon genggam dan dompet digital. PPATK memperkirakan total transaksi judi daring di Indonesia mendekati Rp1.000 triliun dalam setahun, dengan sekitar 51 ribu pelaku berasal dari kalangan ASN di Sumatera Utara.
Angka ini mencerminkan bukan hanya kegemaran berjudi, tapi juga kelalaian sistem yang gagal mendeteksi sejak dini.
Lebih dari itu, absennya kepemimpinan yang menanamkan nilai menjadi sumber penyakit yang lebih dalam.
ASN bukan hanya kehilangan integritas, tetapi juga kehilangan sosok panutan. Ketika pejabat publik tak menampilkan ketegasan dan keteladanan, maka etika berubah menjadi formalitas administratif belaka.
Pemerintah tak boleh lagi menambal persoalan dengan teguran moral yang hampa. Diperlukan gerakan integritas struktural yang melibatkan semua lini birokrasi.
Pertama, bangun sistem deteksi dini berbasis data digital dan kerja sama dengan PPATK serta lembaga keuangan. Kedua, blokir akses platform judi di jaringan pemerintah. Ketiga, reformasi mekanisme pembinaan ASN agar menempatkan integritas sebagai kinerja utama, bukan pelengkap.
Yang terpenting, hadirkan pemimpin yang menjadi cermin moral bagi bawahannya, bukan sekadar administrator yang pandai berpidato tentang etika.
Fenomena di Sumatera Utara harus menjadi alarm nasional.
Jika lebih dari seribu ASN bisa terseret tanpa terdeteksi, berapa banyak lagi yang masih tersembunyi di balik layar ponsel di provinsi lain? Judi online di kalangan birokrasi bukan hanya soal pelanggaran hukum, melainkan tanda kehilangan nilai dasar pelayanan publik: integritas, tanggung jawab, dan keteladanan. Ketika birokrasi kehilangan cermin moralnya, publik pun akan melihat wajah negara yang kusut: tanpa wibawa, tanpa malu, tanpa arah.(id18)













